Peranan Pemerintah dalam Pengembangan Pendidikan Inklusif di Indonesia melaui Individualized Educational Program




Oleh:
 Lilis Kholisoh
Dosen STAI Al-Ma’arif Ciamis
Prodi Manajemen Pendidikan Islam

ABSTRAK
Sebagai bangsa yang memiliki kuantitas penduduk besar di dunia dengan Indonesia telah memposisikan dirinya menjadi negeri yang pluralistik. Keunikan bangsa ini menjadi posisi strategis dalam mengawal dunia pendidikan. Pendidikan memegang peran mendasar dalam pembangunan bangsa Indonesia, terutama tarap kesejahteraan yang berkeadilan bagi setiap warga negara. Pendidikan di Indonesia telah melewati berbagai dinamisasi dan pembaharuan, hal ini tercermin dari esensi kurikulum yang pernah direalisasikan, baik kurikulum subjek akademis klasik maupun kurikulum berbasis kompetensi hingga kurikulum kualifikasi nasional Indonesia yang digagas profesional pendidikan. Pergeseran paradigma pendidikan dari yang klasik hingga yang beraliran pribadi dan aliran pendidikan teknologi, diwarnai oleh pandangan dan kesadaran warganya, khususnya para terdidik. Dalam perspektif pendidikan klasik, diasumsikan bahwa seluruh pengetahuan, ide, nilai-nilai telah ditemukan oleh ahli-ahli terdahulu, sementara percikan pemikiran pendidikan pribadi berawal dari gagasan bahwa manusia sejak dilahirkan telah dianugerahi potensi-potensi. Sedangkan paradigma pendidikan teknologi menekankan kepada pembentukan dan penguasaan kompetensi. Dalam keanekaragaman ini penting sekali dimunculkannya gagasan dan pemikiran pendidikan yang inklusif, guna menjaring, mengawal dan menumbuhkembangkan seluruh potensi sumber daya manusia Indonesia secara integral kolaboratif.


A. PENDAHULUAN
Indonesia adalah bangsa yang memiliki kuantitas penduduk besar di dunia. Warna budaya yang begitu unik dan khas telah memposisikannya menjadi negeri yang pluralistik. Keunikan bangsa ini mengawal dan menjadikan dunia pendidikan amat sangat strategis. Pendidikan memegang peran transendental dalam pembangunan bangsa Indonesia, terutama tarap kesejahteraan yang berkeadilan bagi setiap warga negara. Pendidikan di Indonesia telah melewati berbagai dinamisasi dan pembaharuan, hal ini tercermin dari esensi kurikulum yang pernah direalisasikan, baik kurikulum subjek akademis yang digagas oleh para ahli pendidikan klasik maupun kurikulum berbasis kompetensi hingga kurikulum kualifikasi nasional Indonesia yang digagas profesional pendidikan negeri ini. Pergeseran paradigma pendidikan dari yang klasik hingga yang beraliran pribadi dan aliran pendidikan teknologi, diwarnai oleh pandangan dan kesadaran warganya, khususnya para terdidik.
Dalam perspektif pendidikan klasik, diasumsikan bahwa seluruh pengetahuan, ide, nilai-nilai telah ditemukan oleh ahli-ahli terdahulu, sementara percikan pemikiran pendidikan pribadi berawal dari gagasan bahwa manusia sejak dilahirkan telah dianugerahi potensi-potensi. Sedangkan paradigma pendidikan teknologi menekankan kepada pembentukan dan penguasaan kompetensi.
Pergeseran paradigma pendidikan tersebut yakni pendidikan klasik yang subektif, akademik yang humanis, dan pendidikan teknologi teknologis, serta yang pendidikan interaksional dengan kurikulum rekonstruksi sosial, berimplikasi terhadap pengelolaan proses pengembangan pendidikan nasional, salah satunya terhadap fungsi dan peran strategis pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan tentang pendidikan dan pembelajaran yang dilakukan guru, mulai dari model mengajar yang berpusat pada guru, yaitu dari pengajaran yang didominasi guru (teacher centre) yang dianggap sebagai pembelajaran konvensional kepada pembelajaran yang didominasi siswa (child centre) dengan menekankan kepada pembelajaran aktif, kreatif dan menyenangkan. Pembelajaran konvensional (teacher centre) dan pembelajaran yang tidak konvensional (child centre) dapat dilihat pada sisi aktivitas guru, isi mata pelajaran, organisasi kelas, dan ruang belajar, serta sarana pendukung lainnya.
Pembelajaran yang didominasi siswa sangat menekankan terhadap perkembangan intelektual, keutuhan pribadi, perkembangan emosi dan sosial, kejujuran, kebenaran, ketulusan, penguasaan kompetensi yang berorientasi masa kini dan yang akan datang, serta menekankan interaksi dengan berbagai pihak (siswa dengan guru, lingkungan dan pemikiran siswa dengan kehidupannya). Pengembangan pembelajaran di Indonesia dalam operasional pengembangannya, berdasarkan paradigma pendidikan tersebut masih digunakan, yaitu memberikan penguasaan sejumlah pengetahuan, pengembangan potensi individu dan penguasaan sejumlah kompetensi yang diharapkan dapat bermanfaat di kemudian hari serta mengembangkan keterampilan melakukan interaksi, hanya penekanannya dalam pengembangan kurikulum dan pengajaran yang dikembangkan saat ini lebih diarahkan kepada kondisi riil bangsa Indonesia yang berbasis kebinekaan dan heterogenitas yang menghimpun keragaman dalam sebuah kebersamaan.
Pengembangan kurikulum tersebut merupakan landasan penting dalam menciptakan situasi pendidikan inklusif, ramah terhadap pembelajaran. Lingkungan yang inklusif, dan ramah terhadap pembelajaran adalah lingkungan yang menerima, merawat dan mendidik semua anak tanpa memandang perbedaan jenis kelamin, fisik, intelektual, sosial, emosional, linguitik atau karakteristik tertentu. Meskipun mereka adalah anak-anak yang cacat atau berbakat, anak jalanan atau pekerja, anak-anak dari orang desa atau nomadik, anak dari minoritas budayanya atau etnisnya, anak-anak yang terjangkit penyakit berat sekalipun. Pengembangan pendidikan inklusif melalui eksistensi pemerintah yang diindividualisasikan dapat dilakukan apabila didukung seluruh komponen internal dan eksternal persekolahan serta ada komitmen untuk mengoptimalikan potensi siswa sesuai dengan bakat, minat dan karakteristiknya.
Pendidikan inklusif adalah sekolah yang melayani semua anak tanpa terkecuali baik karena perbedaan kondisi fisik, inytelektual, sosial, emosi, bahasa maupun kondisi lainnya. Ini termasuk anak-anak yang cacat, cerdas, bakat dan anak-anak yang tinggal di daerah terpencil/pedalaman, anak jalanan, pekerja anakdll. (Downing, J.E. Eichinger, J. & Williams. L.J., 1997).
Sekolah penyelenggara pendidikan inklusif adalah sekolah yang menampung semua murid di kelas yang sama. Sekolah ini menyediakan program pendidikan yang layak, menantang, tetapi disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan setiap murid mmaupun bantuan dan dukungan yang dapat diberikan oleh para guru, agar anak-anak dapat tercapai (Stainback, 1995).
Sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya (Permendiknas No. 70/2009). Setidaknya tipologinya ada dua, sebagai berikut:
  1. Mainstream adalah sistem pendidikan yang menempatkan anak-anak berkebutuhan khusus di sekolah-sekolah umum, mengikuti kurikulum akademis yang berlaku, dan guru juga tidak harus melakukan adaptasi kurikulum.
  2. Integrasi berarti menempatkan siswa yang berkebutuhan khusus dalam kelas anak-anak normal dimana anak-anak berkebutuhan khusus hanya mengikuti pelajaran-pelajaran yang dapat mereka ikuti dari gurunya.
Padasl 32 UU NO. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas menginformasikan bahwa: ayat (1) : PENDIDIKAN KHUSUS merupakan pendidikan bagi  peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena KELAINAN fisik,emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi KECERDASAN dan BAKAT ISTIMEWA. Sementara dalam ayat  (2): PENDIDIKAN LAYANAN KHUSUS merupakan pendidikan bagi peserta didik di daerah terpencil atau terbelakang, masyarakat adat yang terpencil, dan/atau mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi.

B. PERAN PEMERINTAH DALAM PENDIDIKAN INKLUSIF
Orientasi perubahan inklusi merupakan perubahan praktis yang memberi kesempatan kepada anak dengan latar belakang dan kemampuan yang heterogen, dapat berhasil dengan baik dalam proses belajar. Pembaharuan ini tidak hanya menguntungkan anak yang sering tersisihkan, seperti anak berkebutuhan khusus (child with special needs), tetapi semua anak dan orangtuanya, semua guru dan administrator sekolah, dan setiap anggota masyarakat. Inklusi berarti bahwa sebagai guru bertanggungjawab untuk mengupayakan bantuan dalam menjaring dan memberikan layanan pendidikan bermutu pada semua anak yang ada di masyarakat, keluarga, lembaga pendidikan, layanan kesehatan, pemimpin masyarakat. Dan yang tidak kalah pentingnya adalah posisi pemerintah yang memiliki kewenangan publik dalam mengeluarkan dan mengawal laju pendidikan yang inklusif.

Makna Inklusi
Term inklusi diartikan dengan mengikutsertakan anak berkebutuhan khusus (child with special needs) di kelas umum dengan anak-anak lainnya. Sementara inklusi dalam tulisan ini dimaknai dengan pemaknaan yang lebih luas. Inklusi berarti mengikutsertakan anak berkelainan seperti anak yang memiliki kesulitan melihat, mendengar, tidak dapat berjalan, lamban dalam belajar.
Di beberapa tempat, semua anak mungkin masuk sekolah, tetapi masih terdapat beberapa anak yang terpisahkan dari keikutsertaaan dalam pembelajaran di kelas. Sekolah yang ramah terhadap anak merupakan sekolah dimana semua anak memiliki hak untuk belajar mengembangkan semua potensi yang dimilikinya secara optimal di dalam lingkungan yang nyaman dan terbuka. Menjadi “ramah” apabila keterlibatan dan partisipasi semua pihak dalam pembelajaran tercipta secara alami dengan baik. Sekolah bukan hanya tempat anak belajar, tetapi guru pun juga ikut belajar dari keberagaman anak didiknya Lingkungan pembelajaran yang ramah berarti ramah kepada anak dan guru, artinya:
1.    Anak dan guru belajar bersama sebagai suatu komunitas belajar;
2.    Menempatkan anak sebagai pusat pembelajaran;
3.    Mendorong partisipasi aktif anak dalam belajar, dan
4.    Guru memiliki minat untuk memberikan layanan pendidikan yang terbaik
Model pembelajaran pendidikan inklusif bertujuan memberikan layanan pembelajaran optimal terhadap semua anak dalam mengembangkan potensinya. Dalam pengembangan pembelajarannya, model pembelajaran inklusif bertitik tolak dari kondisi realita potensi anak yang sangat beragam, yaitu dengan mengembangkan program pendidikan (pembelajaran) yang diindividualisasikan (Individalized Educational Program).
Dalam pengembangan program ini, anak dapat belajar secara klasikal atau individual sesuai dengan potensi dan kapasitasnya Esensi Program Pembelajaran yang Diindividualisasikan (PPI) Program pembelajaran yang diindividualisasikan diadopsi dari istilah Individualized Educational Program, diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi Program Pembelajaran Individual.
Tendensi ini didasarkan kepada kenyataan dimana secara operasional inti persoalan dalam Individualized Educational Program pada dasarnya lebih menyangkut kepada kepentingan proses pembelajaran di dalam kelas. Selanjutnya dalam tulisan ini akan digunakan istilah Program Pembelajaran Individual, dan bukan program pendidikan yang diindividualisasikan sebagai alih bahasa dari Individualized Educational Program. PPI merupakan dokumen tertulis yang dikembangkan dalam suatu rencana pembelajaran bagi anak berkebutuhan khusus (child with special need). Mercer and Mercer (1989), mengemukakan bahwa “program individualisasi merujuk kepada suatu program pengajaran dimana siswa bekerja dengan tugas-tugas yang sesuai dengan kondisi dan motivasinya”. Sejalan dengan pendapat tersebut dikemukakan oleh Lynch (1994) mengemukakan bahwa Individualized Educational Program  merupakan suatu kurikulum atau suatu program pembelajaran yang didasarkan kepada gaya, kekuatan dan kebutuhan-kebutuhan khusus anak dalam belajar.
Hal ini menunjukkan bahwa Program Pembelajaran Individual pada prinsipnya adalah suatu program pembelajaran yang didasarkan kepada setiap kebutuhan individu (anak). Kedua pandangan di atas mengandung pengertian bahwa siswalah yang harus mengendalikan program, bukan program yang mengendalikan siswa. Para ahli pendidikan sepakat bahwa salah satu pijakan dalam penyusunan program hendaknya bertitik tolak dari kebutuhan anak, karena anak yang akan dibelajarkan. Untuk itu, masalah kebutuhan, perkembangan dan minat anak menjadi orientasi dalam mempertimbangkan penyusunan program.
Program Pembelajaran Individual bertolak dari suatu pandangan yang mengakui manusia merupakan makhluk individu atau suatu kesatuan dari jiwa dan raga (a whole being) yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain yang dikenal sebagai organisme. Dalam organisme terdapat dorongan (drives) yang bersumber pada kebutuhan-kebutuhan dasar (basic need) dan merupakan daya penggerak (motivation) untuk mempertahan kebutuhan hidupnya (survive). Dorongan, kebutuhan dan motivasi inilah sifatnya berbeda-beda, atau memiliki ciri khas tersendiri antara organisme yang satu dengan organisme yang lainnya. Pandangan pandangan tersebut intinya menghendaki agar kegiatan proses pembelajaran lebih bersifat individual. Kebutuhan merupakan dasar timbulnya tingkah laku individu. Pemenuhan kebutuhan untuk kelangsungan hidup individu merupakan hal yang sangat mendasar, dan kebutuhan belajar pada hakekatnya merupakan salah satu cara untuk memenuhi kebutuhan. Untuk itu, Program Pembelajaran Individual merupakan cara yang tepat di dalam proses pembelajaran anak berkebutuhan khusus. Anak berkebuhan khusus, permasalahan dan hambatan belajarnya sangat kompleks serta perbedaan satu sama lainnya sangat tajam, ini membawa konsekuensi kepada kompetensi guru didalam menyusun rencana pembelajaran yang dapat mengakomodasi kebutuhan mereka. Kegagalan-kegagalan dalam mengakomodasi kebutuhan anak dapat berakibat buruk terhadap proses pembelajaran lebih lanjut. Oleh karena itu didalam pendidikan anak berkebutuhan khusus, keberadaan Program Pembelajaran Individual sangat penting, karena merupakan cara yang senantiasa berupaya mengakomodasi kebutuhan dan masalah-masalah yang dihadapi anak berkebutuhan khusus.
Banyak fakta menunjukkan bahwa perbedaan individu pada anak berkebutuhan khusus sangat besar walaupun dalam tingkat IQ yang sama. Misalnya: anak tunagrahita yang memiliki IQ sama (70), tingkat kelas dan pelajaran sama pula, dan keduanya sama-sama belajar aritmatika, merujuk kepada kurikulum, kedua anak tersebut akan sama-sama menyelesaikan/mempelajari masalah pengurangan, tetapi ternyata kedua anak tersebut memiliki kemampuan yang sangat berbeda, yang satu sudah sampai masalah pengurangan sedangkan yang satunya baru memahami konsep bilangan. Apabila kepada kedua anak tersebut diperlakukan sama sudah dapat dipastikan pembelajarannya akan menemukan kegagalan dan akan menimbulkan permasalahan baru, karena tidak sesuai dengan kebutuhan mereka. Program Pembelajaran Individual pada dasarnya untuk menghindari kegagalan kegagalan dalam proses pembelajaran dan untuk meningkatkan kemampuan anak sesuai dengan potensinya.  
Hasil penelitian Arravey (dalam Lynch, 1994) menunjukkan bahwa kelompok eksperiment (treatment) pada 32 orang anak dengan menggunakan Individualized Educational Program secara signifikan lebih tinggi dari kelompok kontrol. Anak anak pada kelompok eksperimen lebih interes dalam belajar. Ini dapat difahami bahwa proses pembelajaran yang didasarkan kepada masalah dan kebutuhan anak lebih membantu pencapaian tujuan pembelajaran anak Langkah-langkah Operasional Penyusunan Program Pembelajaran Individual untuk memenuhi kebutuhan pembelajaran setiap anak dalam upaya mengembangkan potensinya. Menurut Kitano and Kirby (1986) ada lima langkah yang harus dilakukan untuk mengembangkan program pembelajaran yang diindividualisasikan, yaitu: 1) pembentukan tim Program Pembelajaran Individual, 2) asesmen (menilai) kebutuhan khusus anak, 3) mengembangkan tujuan jangka panjang dan pendek, 4) merancang metode dan prosedur pembelajaran, dan 5) melakukan evaluasi kemajuan belajar anak.

1. Pembentukan Tim Program Pembelajaran Individual
Penyusunan program diawali dengan membentuk tim, tim ini disebut Tim Program Pembelajaran Individual. Tim ini memiliki tugas merancang dan menyusun program pembelajaran yang akan dikembangkan di kelas. Anggota tim terdiri dari berbagai disiplin ilmu yang bekerja dan memiliki informasi untuk dapat dikembangkan lebih lanjut dalam penyusunan program, misalnya: guru, kepala sekolah, psikolog, orangtua, konselor, speech therapist, pediatris dan konselor. Kepala sekolah dalam hal ini memegang posisi sentral karena bertugas sebagai koordinator dan konsultan bagi anggota tim yang lainnya. Mendudukkan kepala sekolah dalam posisi sebagai koordinator dan konsultan dimaksudkan agar para anggota khususnya orangtua dan guru memiliki kebebasan dalam mengemukakan pendapat dan temuannya. Tim ini duduk bersama dan mendiskusikan serta mencari kesepakatan-kesepakatan serta solusi atas program yang akan dikembangkan. Dua hal penting yang harus disiapkan sekolah sebelum membentuk tim yang akan menyusun (mendiskusikan) program, yaitu:
a. Sekolah harus sudah menyiapkan gambaran umum masing-masing anak yang diperoleh berdasarkan hasil asesmen, untuk dikonfirmasikan lebih lanjut kepada orangtua. Ini sangat penting untuk mencocokan dan melengkapi temuan orangtua dan hasil asesmen yang dilakukan sekolah. Informasi orangtua sangat penting sekali, karena orangtua yang paling memahami secara detil tentang prilaku, kemampuan dan kelemahan anaknya. Memberikan informasi tentang alasan-alasan perlu dibentuknya tim Program Pembelajaran Individual berikut tujuan, sasaran, serta posisi orangtua dalam tim tersebut sangat penting.
b. Menyiapkan angket mengenai harapan-harapan orangtua dan gambaran mengenai anak-anaknya, sehingga pada akhir pertemuan diharapkan tercapai kesepakatan-kesepakatan mengenai prioritas dan sasaran yang akan ditetapkan dalam Program Pembelajaran Individual.

2. Menilai Kebutuhan
Langkah awal tim Program Pembelajaran Individual yaitu melakukan penilaian terhadap kekuatan dan kelemahan anak. Informasi ini akan menjadi data penting dan pertama yang harus ditemukan untuk selanjutnya dikonfirmasikan dengan hasil asesmen yang telah dilakukan oleh sekolah, dan hasil penilaian ini akan dijadikan dasar-dasar dalam merumuskan tujuan pembelajaran. Kegiatan awal ini biasanya dilakukan oleh guru sebagai tim Program Pembelajaran Individual, dan dalam pelaksanaan pengumpulan datanya dapat dilakukan melalui kegiatan observasi, wawancara, atau dengan daftar pertanyaan yang berbentuk format-format, misalnya format untuk riwayat hidup, perkembangan bahasa, perkembangan motorik, prilaku dll.

3. Mengembangkan Tujuan Pembelajaran
Proses mengembangkan tujuan pembelajaran dilakukan dengan cara menyelaraskan standar kompetensi dalam kurikulum dengan temuan tim Program Pembelajaran Individual dengan hasil asesmen yang dilakukan oleh sekolah. Hasil asesmen dapat ditempatkan di atas, di tengah atau di bawah kompetensi yang terdapat dalam buku kurikulum. Hal tersebut akan bergantung kepada kondisi kemampuan anak. Dalam Individualized Educational Program, tujuan pembelajaran disebut dengan istilah tujuan jangka pendek dan jangka panjang. Tujuan jangka panjang identik dengan tujuan instruksional umum dan tujuan jangka pendek identik dengan tujuan instruksional khusus. Tujuan jangka panjang adalah tujuan yang harus dicapai dalam waktu yang relatif lama, seperti: tujuan akhir semester, akhir program atau tujuan akhir setelah belajar di sekolah itu. Sedangkan tujuan jangka pendek adalah tujuan yang menuntut terjadinya perubahan prilaku yang diharapkan dalam waktu yang relatif singkat, misalnya tujuan setelah proses pembelajaran (TIK) atau tujuan setelah satu atau dua kali pertemuan. Untuk itu, rumusan tujuan jangka pendek harus spesifik dan operasional serta mudah diukur.

4. Merancang Metode dan Prosedur Pembelajaran
Proses pembelajaran dalam rancangan PPI harus betul-betul dapat menggambarkan setiap tujuan pembelajaran dapat dikerjakan dan diselesaikan, serta penilaian yang dikembangkan betul-betul dapat menggambarkan prilaku anak atau keberhasilan pembelajaran anak. Pelaksanaan proses pembelajarannya mungkin dirancang dengan cara mengelompokkan anak berdasarkan kondisi dan karakteristik bahan yang akan diproses secara kooperatif, mungkin sangat heterogen dan dikelola lebih individual.
Proses pembelajaran secara kooperatif harus dikelola guru sesuai dengan kondisi dan situasi peserta didik yang dihadapinya. Perubahan strategi atau metodesangat mungkin terjadi. Untuk itu, dalam mengelola proses pembelajaran, kreativitas guru menjadi sangat menentukan.
5. Menentukan Evaluasi Kemajuan
Evaluasi kemajuan kemajuan belajar dimaksudkan untuk mengukur derajat pencapaian tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan dalam setiap tujuan jangka pendek. Hal penting dalam melakukan evaluasi keberhasilan siswa adalah melihat terjadinya perubahan prilaku pada diri siswa sendiri sebelum dan sesudah pembelajaran berlangsung, dan bukan membandingkan keberhasilan tingkat pencapaian tujuan belajar siswa satu dengan lainnya di kelas itu. Metodenya dapat dilakukan dengan berbagai macam bentuk (lisan, tulisan, perbuatan, observasi saat proses berlangsung). Evaluasi keberhasilan dilakukan dengan dua sisi, yaitu evaluasi proses dan evaluasi hasil. Kedua evaluasi ini memiliki tujuan dan kepentingan yang berbeda-beda. Evaluasi proses, penting dalam kaitannya dengan melakukan berbagai perubahan dalam strategi pembelajaran, sedangkan evaluasi hasil untuk melihat tingkat pencapaian keberhasilan tujuan pembelajaran yang telah ditentukan laporan evaluasi kemajuan siswa hendaknya bersifat kualitatif, melalui cara penilaian ini akan memberi gambaran yang nyata, riil dan tidak akan mengaburkan gambaran kemampuan yang sesungguhnya dicapai siswa.
Laporan kemajuan siswa secara kuantitatif sering membingungkan orangtua karena memberikan gambaran yang tidak jelas. Misalnya, pemberian angka 8 tidak memberikan makna apa-apa, bahkan mungkin menyesatkan. PPI dalam pelaksanaannya sebaiknya diperbaiki secara terus menerus, setiap perubahan hendaknya merujuk kepada pencapaian tujuan yang telah dan sedang dicapai serta temuan-temuan yang diperoleh berdasarkan observasi selama proses pembelajaran berlangsung.

C. Sistem Pendukung (Support System)
Beberapa sistem pendukung yang diperlukan guna memperlancar model pembelajaran pendidikan inklusif melalui program pendidikan yang diindividualisasikan, yaitu:
1. Sekolah dan Guru Ramah
Sekolah ramah (welcoming school) dan guru yang ramah (welcoming teacher) merupakan syarat utama dalam mengembangkan model layanan pembelajaran pendidikan inklusif melalui program pembelajaran yang diindividualisasikan. Sekolah dan guru ramah adalah sekolah dan guru yang tidak diskriminatif terhadap kondisi kecerdasan, fisik, sosial, emosi, kepercayaan, ras atau suku, golongan keyakinan, serta memahami dan menerima kebegaraman, mengutamakan pengembangan potensi siswa sesuai dengan bakat, minat dan karakteristiknya. Sekolah dan guru ramah merupakan sekolah dan guru yang mengakui keberagam manusia sebagai anugerah Allah Yang Maha Kuasa, sekolah dan guru yang mengakui eksistensi manusia, sekolah dan guru dan memiliki keyakinan bahwa semua individu manusia memiliki potensi yang dapat dikembangkan dan memahami bahwa setiap individu manusia memiliki harapan, bakat, minat yang berbeda-beda. Sekolah dan guru demikian akan melayani dan memperlakukan siswa dalam pembelajarannya sesuai dengan harapan, bakat, minatnya.

2. Pusat Sumber (Resource Center) dan sarpras
Sekolah ramah (welcoming school) dan guru ramah (welcoming teacher) sebagai syarat utama layanan pembelajaran pendidikan inklusif melalui program pengajaran yang diindividualisasikan, pelayanan pembelajaran akan berjalan semakin mulus apabila didukung oleh pusat sumber yang dapat membantu memberikan bantuan teknis kepada sekolah yang didalamnya ada anak berkebutuhan khusus. Tugas dan fungsi pusat sumber adalah menyediakan guru pendidikan kebutuhan khusus yang professional yang disebut sebagai guru kunjung (iteneran teacher). Tugas guru kunjung membantu guru sekolah reguler dalam membantu melakukan asesmen dan merancang pembelajaran serta memberikan layanan pendidikan kepada anak berkebutuhan khusus, disamping itu, pusat sumber mempunyai tugas disamping menyediakan guru kunjung, juga menyediakan alat/media belajar yang diperlukan anak berkebutuhan khusus, seperti penyediaaan buku teks braille bagi tunanetra, memberikan pelatihan dan pendampingan tertentu bagi guru sekolah reguler, orangtua maupun anak berkebutuhan khusus. Pusat sumber merupakan tempat berkumpulnya para professional. Sekolah dan guru ramah adalah sekolah yang memiliki dan menyediakan prasarana asesibilitas yang memadai sehingga memudahkan anak dalam melakukan mobilitas, misalnya: tersedia jalan untuk anak yang menggunakan kursi roda, tersedia jalan yang tidak membahayakan anak yang mengalami gangguan penglihatan, penggunaan huruf-huruf braile pada setiap pintu ruangan.

3. Pengembangan Fungsi dan Peran SLB
Dalam perspektif layanan pendidikan inklusif melalui model pembelajaran yang diindividualisasikan, peran dan tugas SLB adalah sebagai pusat sumber bagi sekolah-sekolah yang mengembangkan pendidikan inklusif. Untuk itu, dalam pelaksanaannya, pemerintah propinsi atau kabupaten kota harus dapat mengkoordinasikan antara sekolah reguler yang mengembangkan pendidikan inklusif dengan SLB. Misalnya, pembuatan SK guru SLB untuk melakukan sebagian waktu tugasnya di sekolah reguler yang mengembangkan pendidikan inklusif atau menugaskan untuk menjadi iteneran teacher. Perluasan peran dan tugas SLB dibangun melalui kemitraan dengan sekolah-sekolah yang mengembangkan pendidikan inklusif. Dengan demikian, tugas SLB tidak hanya melayani pendidikan anak-anak berkebutuhan khusus di sekolahnya (SLB), tetapi juga melayani pendidikan di sekolah-sekolah reguler yang mengembangkan pendidikan inklusif.

4. Kemitraan dengan lembaga berkait (Dinas Kesehatan, Dinsos, Kemenag, Perindustrian, Hukum dan HAM)
Penyelenggaraan pendidikan inklusif akan semakin mulus dalam pelaksanaannya apabila sekolah mengembangkan kemitraan dengan lembaga-lembaga berkait atau departemen-departemen terkait, misalnya dengan departemen kesehatan dalam pemeriksaan kesehatan fisik, depertemen sosial dalam bantuan asesibililitas, departemen perindustrian dalam mengembangkan kecakapan vokasional, departemen hukum dan HAM dalam perlindungan hukum.



5. Dukungan orangtua
Dukungan orangtua dan kerjasama dengan sekolah sangat diperlukan dalam melayani kebutuhan belajar anak di sekolah dalam upaya optimalisasi potensi anak, kerjasama yang erat antara orangtua dan guru dapat menghasilkan solusi terbaik dalam melayani kebutuhan belajar anak di sekolah (Kremer, 1991). Keterlibatan orangtua secara aktif terhadap pendidikan anak di sekolah, sangat penting dalam kaitannya dengan negosiasi dalam mencari solusi berkenaan dengan pendidikan anak, baik di sekolah maupun di rumah. Keterlibatan orangtua dalam pendidikan, biasanya terbatas pada urusan pembiayaan operasional sekolah, kurang menyentuh pengembangan kebutuhan pembelajaran anak. Oleh karena itu, keterlibatan atau dukungan orangtua perlu dikembangkan terhadap persoalan pendidikan yang lebih luas, apabila akses orangtua ke sekolah lebih terbuka, permasalahan-permasalahan dan kebutuhan-kebutuhan yang dihadapi anak segera dapat ditanggulangi.

6. Kebijakan Pemerintah Pusat, Propinsi dan Kabupaten/Kota.
Kebijakan-kebijakan pemerintah baik pusat, propinsi maupun kabupaten/kota sangat diperlukan sebagai payung hukum dalam mengembangkan layanan pendidikan model pendidikan inklusif. Misalnya, pemerintah membuat regulasi yang mengatur sistem penerimaan siswa baru (PSB) bagi anak berkebutuhan khusus melalui satu pintu masuk, yaitu melalui sekolah reguler yang terdekat dengan lingkungan anak. Pemerintah membuat kebijakan untuk mendekatkan anak dengan sekolah. Kebijakan-kebijakan pemerintah, baik pemerintah pusat, propinsi maupun kabupaten kota sebagai payung kekuatan yang dapat dijadikan lanndasan bergerak bagi sekolah, guru dan staff dalam memperlancar dan memuluskan pengembangan pembelajaran model pendidikan inklusif melalui program pembelajaran yang diindividualisasikan.

D. Kesimpulan
Pendidikan inklusif adalah pendidikan yang tidak diskriminatif terhadap kondisi perbedaan-perbedaan anak, pendidikan yang ramah terhadap semua perbedaan anak, pendidikan yang merangkul semua perbedaan untuk belajar dalam komunitasnya. Model pembelajaran pendidikan inklusif melalui program pembelajaran yang diindividualisasikan, merupakan sebuah rancangan pembelajaran yang akodatif terhadap perbedaan individu, atau suatu program pembelajaran yang didasarkan kepada gaya, kekuatan dan kebutuhan-kebutuhan khusus anak dalam belajar. Langkah-langkah operasional model pembelajaran pendidikan inklusif melalui program pembelajaran yang diindividualisasikan dilakukan melalui tahapan pembentukan tim, penilaian kebutuhan pembelajaran peserta didik, menuentukan tujuan pembelajaran, merancang metode dan prosedur pembelajaran dan menetapkan evaluasi kemajuan. Model pembelajaran pendidikan inklusif melalui program pembelajaran yang diindividualisasikan akan berjalan dengan mulus apabila didukung oleh sekolah dan guru yang ramah, pusat sumber (reseource centre) dan sarana prasarana yang memadai, perluasan peran dan tugas SLB, kemitraan dengan berbagai lembaga berkait, orangtua, serta adanya kebijakan pemerintah pusat, propinsi dan kabupaten/kota yang memayungi gerak dan langkah sekolah dan guru dalam mengembangkan dan merefleksikan pendidikan dan pembelajaran bersama peserta didiknya.


DAFTAR PUSTAKA


Departemen Pendidikan Nasional at all, (2007), Merangkul Perbedaan: Perangkat untuk Mengembangkan Lingkungan Inklusif, Ramah terhadap Pembelajaran, Jakarta.

Endang Rochyadi, (2001), Penerapan Program Pembelajaran Individual bagi Anak Tunagrahita, Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional.

Johnsen, B.H. & Skjorten, M.D., (2003), Pendidikan Kebutuhan Khusus, Sebuah Pengantar, judul Asli Education-Special Needs Education An Introduction. Bandung.

Lynch, James, (1994), Proyection for Children with Special Need Education in Asian Region, USA: The World Bank Mercer.

Cecil D & Mercer, Ann R., (1989), Teaching Student with Learning Problems, Aus: Merill Publishing Company A Bell & Howel Information Company.






STAI ALMAARIF CIAMIS

STAI ALMAARIF CIAMIS

GALERI WISUDA KAMPUS