KATA PENGANTAR
﴿بِسْمِ ٱللهِ ٱلرَّحْمَـٰنِ ٱلرَّحِيْمِ﴾
اَلْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ, وَبِهِ
نَسْتَعِيْنُ عَلَى اُمُوْرِ الدُّنْيَا وَالدِّيْنِ, وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ
عَلَى اَشْرَفِ اْلاَنْبِيَآءِ وَالْمُرْسَلِيْنَ, سَيِّدِنَا وَمَوْلَانَا مُحَمَّدٍ
وَعَلَى اَلِهِ وَصَحْبِهِ اَجْمَعِيْنَ. اَمَّا بَعْدُ:
Segala puji
bagi-Mu ya Allah Sang Maha Penguasa Langit dan Bumi, yang dengan kekuasaan dan
izin-Mu ya Allah, Alhamdulillah penulis dapat menyelesaikan penyusunan
buku Tata Cara
Pemulasaraan Jenazah ini. Yang mudah-mudahan bermanfaat bagi para peserta khususnya dan umumnya bagi para pembaca
serta mampu
mengamalkannya. Amiin.....ya Robbal’aalamiin.
Diri ini sadar
akan ketidak adaan ilmu, kebodohan dan kelemahan diri karena pada hakikatnya
hanya milik Allah Azza Wajalla lah segala keagungan dan kecerdasan. Ketulusan hati guna meraih ilmu ikhlas lah yang mendorong
penyusun untuk selalu berbagi. Semoga Allah Ta'ala selalu memberikan
keberkahannya bagi kita semua. Aamii.
Shalawat serta
salam semoga selalu terlimpah kepada junjunan kita Nabi Muhammad SAW yang tidak
terlupa kepada para keluarganya, para sahabatnya dan sampai kepada kita selaku
umatnya yang mudah-mudahan selalu ta’at dan patuh pada ajarannya sampai akhir
zaman.
Sebagaimana manusia semasa
hidupnya, manusia memiliki aturan-aturan tertentu yang harus diketahui dan
dilaksankan, maka setelah kematian merekapun memiliki aturan-aturan tertentu
yang harus diketahui dan dilaksanakan.
Setiap yang hidup pasti akan
mengalami kematian, sebagaimana Allah SWT berfirman:
كُلُّ
نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ (ال عمران: 185) [1]
Artinya:
“Tiap-tiap yang bernyawa pasti akan mengalami kematian (Q.S.
Ali-Imran: 185)”
Kematian adalah sesuatu yang pasti
akan datang. Meskipun seorang berupaya untuk lari darinya, namun niscaya
kematian akan datang menghampirinya. Sebagaimana Allah SWT berfirman:
قُلْ
إِنَّ ٱلْمَوْتَ ٱلَّذِى تَفِرُّونَ مِنْهُ فَإِنَّهُۥ
مُلَٰقِيكُمْۖ
ثُمَّ تُرَدُّونَ إِلَىٰ عَٰلِمِ ٱلْغَيْبِ وَٱلشَّهَٰدَةِ فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ
تَعْمَلُونَ
Artinya: “Katakanlah:"Sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada
[1] QS. Ali ‟Imran : 185.
( Allah ), yang mengetahui yang ghaib
dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa-apa yang telah kamu
kerjakan".
Oleh karena itu Rasulullah saw
memerintahkan untuk banyak mengingat kematian, agar seorang Muslim bergegas
untuk mempersiapkan bekalnya. Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA bahwa
Rasulullah SAW bersabda;
أَكْثِرُوْا
ذِكْرُ هَاذِمِ اللَّذَّاتِ الْمَوْتِ
Artinya:”
“Perbanyaklah mengingat pemutus (segala) kenikmatan, (yaitu) kematian.”
Ketika
seorang Muslim telah meninggal dunia, maka muslim yang lainnya berkewajiban
untuk mengurus jenazahnya. Dan hukum pengurusan jenazah adalah fardhu
kifayah. Fardu kifayah bagi orang-orang yang masih hidup untuk
menyelenggarakan 4 kewajiban. Empat kewajiban yang hidup kepada yang mati itu
adalah memandikan, mengkafani, menshalatkan dan menguburkan. Kewajiban kifayah
memiliki pengertian gugur kewajiban jika telah ada yang melaksanakan.
Hal
ini sebagaimana yang diisyaratkan dalam hadits yang diriwayatkan dari Abu
Hurairah RA Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda;
حَقُّ
الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ سِتٌّ - وَذَكَرَ مِنْهَا وَإِذَا مَاتَ فَاتْبَعْهُ
Artinya:
“Hak seorang muslim atas muslim (lainnya) ada enam –di antaranya adalah jika
ia meninggal dunia, maka iringilah (jenazah)nya.”
Kata jenazah sendiri diambil dari
bahasa Arab yang berarti orang yang telah meninggal. Adapun kata jinazah
berarti keranda yang digunakan untuk membawa jenazah kepemakaman.
Buku Tata Cara Pemulasaraan Jenazah ini
membahas tentang hal-hal yang berkaitan dengan pengurusan jenazah, dimulai dari
hal-hal yang dilakukan ketika ada yang meninggal, memandikan jenazah,
mengkafaninya. Menshalatkan, dan memakamkannya.
Yang harapannya semoga dengan buku
ini, memberikan sedikit pedoman kepada para petugas yang akan mengurusi jenazah
baik dalam mentalqin, memandikan, menshalatkan, dan lain sebagainya.
Akhir kata, penulis meminta ma’af
jika ada penulisan kata atau bahasa yang kurang tepat dan akurat. Kebenaran
hanya milik Allah SWT semata. Perbaikan dan keritikan yang bertujuan membangun
sangat penulis harapkan dari para pembaca buku singkat ini.
Penulis,
Deni Supriadi
PANDUAN
RINGKAS
PEMULASARAAN/
PERAWATAN JENAZAH
- Hal-hal
Yang Dilakukan Ketika Ada yang Meninggal
1.
Mentalqinkan
orang yang akan meninggal dunia (sedang sakaratul maut)
Kata talqin menurut bahasa adalah shighat masdar berasal dari akar kata bahasa arab laqqana-yulaqqinu yang berarti mendikte, mengajarkan dan memahamkan secara lisan sedang menurut istilah talqin adalah bimbingan mengucapkan 2 kalimat syahadat atau kalimat yang baik yang dibisikkan kepada seorang mukmin yang telah menampakkan tanda-tanda kematian atau dalam keadaan sakaratul maut.
Tujuan
bimbingan itu adalah untuk mengingatkan kepada orang yang akan meninggal
tersebut dengan tauhid, sehingga akhir ucapan yang keluar adalah kalimat
tauhid, yakni La Ilaha Illallah.
Para
ulama’ telah bersepakat bahwa talqin dilakukan sebelum seseorang meninggal
dunia. Diriwayatkan dari Abu Hurairah Ia berkata, Rasulullah SAW bersabda:
لَقِّنُوْا مَوْتَكُمْ لَا إِلَهَ
إِلاَّ اللهُ.
Artinya:
Talqinkanlah (bimbing lah) orang yang akan meninggal (orang diantara) dengan
kalimat “Laa ilaha illallah” ( tidak ada sesembahan yang berhak untuk disembah
sealin Allah ) [1]
Karena
seseorang yang mengakhiri hidupnya dengan mengucapkan Laa ilaha illallah,
maka ia akan masuk surga. Hal ini sebagaimana diriwayatkan dari Mu’adz bin
Jabal, ia berkata rosulullah SAW bersabda:
مَنْ كَانَ آخِرُ كَلَامِهِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ
Artinya
: “Barang siapa yang akhir ucapannya “Laa ilaha illallah”, maka ia akan
masuk surga.[2]
Perlunya
talqin untuk melafalkan kalimat tauhid adalah karena pada saat menjelang
kematian merupakan saat yang menentukan, saat paling kritis bagi iman
seseorang. Karena, setiap orang selalu berharap mati husnul khatimah, akhir
kehidupan yang baik. Ini maknanya bahwa setiap orang memang berharap mati dalam
keadaan iman kepada Allah.
Namun
dimakruhkan terlalu banyak mentalqin, karena hal tersebut akan
memberatkan hati dan akan memunculkan rasa kejenuhan.[3]
Dalam
perkembangannya, talqin ternyata juga memiliki pengertian lain ketika
dipraktekkan kepada orang yang sudah meninggal (pasca sakaratul maut). Itu
dilakukan diatas kubur, setelah mayit dikebumikan.
Dalam pengertian tersebut, talqin dipahami sebagai kegiatan membaca
beberapa ayat al-Quran, hadits, pertanyaan-pertanyaan yang akan ditanyakan
malaikat Mungkar-Nakir di dalam kubur serta memanjatkan doa kepada mayat agar
diampuni dosanya dan dirahmati.
Amalan talqin yang demikian disandarkan pada sebuah hadist dari Abu
Umamah al-Bahily. Ia berpesan agar mayatnya nanti diperlakukan sebagaimana yang
diperintahkan Nabi saw, yaitu diseru nama jenazahnya dan diberi peringatan
(pengajaran) tentang syahadat, tentang Islam sebagai agama dan sebagainya.
[3] Mentalqin disesuaikan dengan keadaan seseorang yang sedang sakaratul maut bisa dengan ucapan Laa ilaa ha illahlah secara sempurna atau cukup dengan lafal Allah. Allah, Allah sampai seseorang tersebut bisa mengikuti, ketika sudah bisa mengikuti dan mampu melafalkannya sendiri maka berhenti tidak ditalqin terus tapi bila ucapannya mengarah kepada lafal yang lain maka bisa mentalqinnya kembali.
Dari
Abu Umamah R A. “Apabila salah seorang di antara saudaramu meninggal dunia dan
tanah telah diratakan di atas kuburannya, maka hendaklah salah seorang diantara
kamu berdiri di arah kepala, lalu ucapkanlah, ‘Hai Fulan bin fulanah (nama
mayat dan nama ibunya). ‘Sesungguhnya si mayat itu mendengar, namun tidak dapat
menjawab. Kemudian ucapkan ‘Hai fulan bin fulanah, ‘Sesungguhnya dia duduk.
Lalu ucapkan lagi, ‘hai fulan bin fulanah, maka si mayat berkata, ‘Bimbinglah
kami, semoga Allah merahmatimu. Kemudian katakanlah “ingatlah apa yang kamu
pertahankan saat meninggal dunia berupa kalimat syahadat dan kerelaanmu terhadap
Allah sebagai Tuhan, Islam sebagai agama, Muhammad sebagai Nabi, dan al-Quran
sebagai panutan. Sesungguhnya malaikat Munkar dan Nakir saling berpegangan
tangan dan berkata, ayo pergi. Tidak perlu duduk di sisi orang yang diajarkan
kepadanya jawabannya. Allah-lah yang dapat memintainya jawaban, bukan malaikat
Munkar dan Nakir. Lalu ada seorang laki-laki bertanya, ya Rasulullah bagaimana
jika ibu si mayat tidak diketahui? Beliau menjawab, sambungkan nasabnya ke ibu
Hawa. (HR. at-Thabrani)
Jika
talqin dalam pengertian pertama memiliki fungsi mengingatkan kepada si
sakit yang akan meninggal dunia kepada kalimat tauhid, maka talqin dalam
jenis kedua diamalkan sebagai sarana memberikan peringatan kepada orang masih
hidup agar ingat kepada siksa kubur.
1.
Memejamkan kedua mata jenazah [1]
Para
ulama sepakat atas disunnahkannya memejamkan kedua mata jenazah. Hikmahnya agar
jenazah tersebut tidak terlihat buruk karena pandangannya, jika dibiarkan tetap
terbuka. Diriwayatkan dari Ummu Salamah, ia berkata Rosulullah SAW bersabda:
إِنَّ الرُّوْحَ إِذَا قُبِضَ
تَبِعَهُ اْلبَصَرُ
Artinya:”
Sesungguhnya ruh ( ketika dicabut ), maka mata akan mengikutinya “ [2]
Disunnahkan
bagi yang hidup untuk mengucapkan do’a keika memejamkan mata jenazah,
اَللَّهُمَّ الْغْفِرْ لِفُلَانٍ
وَارْفَعْ دَرَجَتَهُ فِى الْمَهْدِيِّيْنَ وَافْسَحْ لَهُ فِيْ قَبْرِهِ وَنَوِّرْ
لَهُ فِيْهِ وَاخْلُفْهُ فِيْ أَقِبِهِ فِي اْلغَابِرِيْنَ وَاغْفِرْلَناَ وَلَهُ
يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ.
Artinya:
“Ya Allah, ampunilah Fulan, angkat derajatnya dikalangan orang-orang yang
diberi petunjuk, lapngkanlah kuburnya, terangilah kuburnya, gantilah setelahnya
untuk anak keturunannya, ampunilah kami dan dia, wahai Rabb Semesta Alam.” [3]
Atau
bisa juga dengan do’a
بِسْمِ اللهِ وَعَلَى مِلَّةِ
رَسُوْلِ اللهِ
Artinya:
“Dengan menyebut nama Allah dan atas agama Rasulullah” (HR. Abu Dawud).
Atau
membaca:
[3] HR. Muslim Juz 2 : 920.
بِسْمِ اللهِ وَعَلَى سُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ
Artinya:
“Dengan menyebut nama Allah dan atas sunnah (jalan) Rasulullah (HR. Abu
Dawud).
1.
Menutup seluruh badan jenazah
dengan Kain
Diriwayatkan
dari ‘Aisyah Radiallahu Anha, Ia berkata,
سُجِيَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِيْنَ مَاتَ بِثَوْبٍ
حِبَرَةٍ
Artinya:
“Ketika Rosululloh SAW wafat, beliau ditutupi dengan kain bergaris” [1]
Catattan:
- Bagi kerabat yang ditinggalkan
disunnahkan untuk mengucapkan :
إِنَّ للهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ
رَاجِعُوْنَ. اَللَّهُمِّ أْجُرْنِيْ فِيْ مُصِيْبَتِيْ وَأَخْلُفْ لِيْ خَيْرًا مِنْهَا.
Artinya:
“Sesungguhnya kami milik Allah dan sesungguhnya kami akan kembali
kepada-Nya. Ya Allah, berilah aku pahala atas musibah yang menimpaku dan
berilah ganti dengan sesuatu yang lebih baik darinya.” [2]
Niscaya
Allah akan memberinya pahala atas musibahnya tersebut dan akan menggantinya
dengan yang lebih baik.
- Diperbolehkan bagi seseorang untuk
mencium jenazah. Sebagaimana diriwayatkan oleh ‘Aisyah dan Ibnu Abbas;
أَنَا أَبَا بَكْرٍ رَضِيَ
اللهُ تَعَالَى عَنْهُ قَبَلَ النَّبِيَ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْدَ مَوْتِهِ.
Artinya:
“Sesungguhnya Abu Bakar RA mencium Nabi SAW, setelah Nabi Muhammad SAW
meninggal” [3]
-
Diperbolehkan menangisi jenazah
tanpa diiringi dengan niyahah (ratapan) atau teriakan. Dan para ‘ulama
telah sepakat atas haramnya niyahah. Diriwayatkan dari Anas bin Malik
yang Artinya:
“Kami bersama Rosululloh SAW masuk ke (rumah) Abu Saif, dimana Ia adalah seorang yang mengasuh Ibrahim (putra Rasululloh SAW). Kemudian Rosululloh SAW mengambil Ibrahim, beliau mencium dan mengecupnya. Lalu kami masuk setelah itu dan Ibrahim telah meninggal dunia, maka kedua mata Rosulluh SAW berlinang. Abdurrahman bin ‘Auf berkata kepada Rosululloh SAW, dan engkau (juga menangis) ya Rosululloh SAW? beliau menjawab, Wahai ibnu ‘Auf, “Sesungguhnya (tetesan air mata ini) adalah kasih sayang.” Kemudian beliau melanjutkan dengan beberapa kata lainnya. Lalu beliau bersabda, “Sesungguhnya mata berlinang dan hati bersedih, (akan tetapi) kami tidak mengatakan sesuatu, melainkan yang diridhai oleh Rabb kami. Dan sesungguhnya kami sangat sedih berpisah denganmu wahai Ibrahim.” [4]
[4] HR. Bukhari Juz 1 : 1241.
- Hendaknya ahli waris jenazah segera
menyelesaikan tanggungan yang terkait dengan jenazah. Baik dibayar dari harta
Peninggalannya atau dari pertolongan keluarganya sendiri.[1] Sebagaimana
yang diriwayatkan dari Abu Hurairah, sesungguhnya rosululloh SAW bersabda:
لَتُؤَدُّنَّ الْحُقُوْقَ إِلَى
أَهْلِهَا يَوْمَ اْلقِيَامَةِ حَتَّى يُقَادَ لِلشَّاةِ الْجَلْحَاءِ مِنَ الشَّاةِ
الْقَرْنَاءِ
Artinya:
“Sesungguhnya kalian akan menunaikan setiap hak kepada pemiliknya pada hari
kiamat, hingga kambing tidak bertanduk akan diambil haknya dari kambing yang
bertanduk.” [2]
Di
antara tanggungan yang terkait dengan jenazah adalah membayarkan
hutangnya, menunaikan nadzarnya ( baik berupa puasa, haji atau yang lainnya ),
membayarkan zakatnya, dan semisalnya.
Diriwayatkan
dari Abu Hurairah ia berkata, Rosululloh SAW bersabda:
نَفْسُ الْمُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ
بِدَيْنِهِ, حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ.
Artinya:
“Ruh orang mukmin ( yang meninggal dunia itu ) tergantung dengan hutangnya,
sampai hutang tersebut dilunasi.” [3]
Diriwayatkan
pula dari Ibnu Abbas
أَنَّ سَعْدَ بْنَ عُبَادَةَ
رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهَ اِسْتَفْتَى رَسُوْلَ اللهِ صَلىَ اللهً عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَقَالَ إِنَّ أُمِّيْ مَاتَتْ وَ عَلَيْهَا نَذَارٌ فَقَالَ اِقْضِهِ عَنْهَا.
Artinya: “Sesungguhnya Sa‟ad bin ‘Ubadah meminta
fatwa kepada Rasulullah SAW. Ia mengatakan, “Sesungguhnya ibuku meninggal
dunia, sedangkan ia mempunyai nadzar.” Maka Rasulullah a bersabda, “Tunaikanlah
( nadzar ) untuknya.” [4]
- Disunnahkan bagi kaum muslimin,
baik laki-laki maupun wanita untuk berta’ziyah kepada
keluarga jenazah. Ta’ziyah
dilakukan untuk menghibur keluarga jenazah, meringankan kesedihannya,
dan mengingatkan keluarga jenazah tersebut agar bersabar dan ridha
terhadap taqdir Allah SWT. Di antara ucapan yang dianjurkan ketika ta’ziyah
adalah;
إِنَّ
للهَ مَا أَخَذَ وَلَهُ مَا اَعْطَى وَ كُلُّ شَيْئٍ عِنْدَهُ بِأَجَلٍ مُسَمَّى,
فَلْتَصْبِرْ وَ لْتَحْسِبُ
Artinya:
“Sesungguhnya apa yang Allah ambil itu adalah milik-Nya, apa yang Allah
berikan itu juga milik-Nya. Segala sesuatu disisi-Nya memiliki ajal yang telah
ditentukan. Bersabarlah dan berharaplah pahala ( dari Allah ).[5]
[1] H.
Sulaeman, Fiqih Islam, Hal. 163
[2] HR.
Muslim Juz 4 : 2582.
[3] HR.
Tirmidzi Juz 3 : 1078. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam
Shahihul Jami‟ : 6779.
[4] Muttafaq
„alaih. HR. Bukhari Juz 3 : 2610, lafazh ini miliknya dan Muslim Juz 3 :
1638.
[5] Muttafaq ‟alaih. HR. Bukhari Juz 1 : 1224 dan Muslim Juz 2 : 923, lafazh ini miliknya.
- Hendaknya ahli waris jenazah segera menyelesaikan tanggungan yang terkait dengan jenazah. Baik dibayar dari harta Peninggalannya atau dari pertolongan keluarganya sendiri.[1] Sebagaimana yang diriwayatkan dari Abu Hurairah, sesungguhnya rosululloh SAW bersabda:
لَتُؤَدُّنَّ الْحُقُوْقَ إِلَى
أَهْلِهَا يَوْمَ اْلقِيَامَةِ حَتَّى يُقَادَ لِلشَّاةِ الْجَلْحَاءِ مِنَ الشَّاةِ
الْقَرْنَاءِ
Artinya:
“Sesungguhnya kalian akan menunaikan setiap hak kepada pemiliknya pada hari
kiamat, hingga kambing tidak bertanduk akan diambil haknya dari kambing yang
bertanduk.” [2]
Di
antara tanggungan yang terkait dengan jenazah adalah membayarkan
hutangnya, menunaikan nadzarnya ( baik berupa puasa, haji atau yang lainnya ),
membayarkan zakatnya, dan semisalnya.
Diriwayatkan
dari Abu Hurairah ia berkata, Rosululloh SAW bersabda:
نَفْسُ الْمُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ
بِدَيْنِهِ, حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ.
Artinya:
“Ruh orang mukmin (yang meninggal dunia itu) tergantung dengan hutangnya,
sampai hutang tersebut dilunasi.” [3]
Diriwayatkan
pula dari Ibnu Abbas
أَنَّ سَعْدَ بْنَ عُبَادَةَ
رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهَ اِسْتَفْتَى رَسُوْلَ اللهِ صَلىَ اللهً عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَقَالَ إِنَّ أُمِّيْ مَاتَتْ وَ عَلَيْهَا نَذَارٌ فَقَالَ اِقْضِهِ عَنْهَا.
Artinya: “Sesungguhnya Sa‟ad bin ‘Ubadah meminta fatwa kepada Rasulullah SAW. Ia mengatakan, “Sesungguhnya ibuku meninggal dunia, sedangkan ia mempunyai nadzar.” Maka Rasulullah a bersabda, “Tunaikanlah ( nadzar ) untuknya.” [4]
- Disunnahkan bagi kaum muslimin, baik laki-laki maupun wanita untuk berta’ziyah kepada keluarga jenazah. Ta’ziyah dilakukan untuk menghibur keluarga jenazah, meringankan kesedihannya, dan mengingatkan keluarga jenazah tersebut agar bersabar dan ridha terhadap taqdir Allah SWT. Di antara ucapan yang dianjurkan ketika ta’ziyah adalah;
إِنَّ
للهَ مَا أَخَذَ وَلَهُ مَا اَعْطَى وَ كُلُّ شَيْئٍ عِنْدَهُ بِأَجَلٍ مُسَمَّى,
فَلْتَصْبِرْ وَ لْتَحْسِبُ
Artinya:
“Sesungguhnya apa yang Allah ambil itu adalah milik-Nya, apa yang Allah
berikan itu juga milik-Nya. Segala sesuatu disisi-Nya memiliki ajal yang telah
ditentukan. Bersabarlah dan berharaplah pahala ( dari Allah ).[5]
[1] H.
Sulaeman, Fiqih Islam, Hal. 163
[2] HR.
Muslim Juz 4 : 2582.
[3] HR. Tirmidzi Juz 3 : 1078. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam
Shahihul Jami‟ : 6779.
[4] Muttafaq „alaih. HR. Bukhari Juz 3 : 2610, lafazh ini miliknya dan Muslim Juz 3 : 1638.
[5] Muttafaq ‟alaih. HR. Bukhari Juz 1 : 1224 dan Muslim Juz 2 : 923, lafazh ini miliknya.
- Adapun bagi kaum laki-laki, maka tidak diperbolehkan berkabung karena kematian kerabatnya atau selainnya. Ini adalah pendapat Syaikh ‟Abdul ‟Aziz bin ‟Abdullah bin Baz.
- Apabila seorang wanita meninggal dunia yang di perutnya terdapat janin dan janin tersebut masih dapat diharapkan untuk hidup, maka diperbolehkan membelah perutnya untuk mengeluarkan janin tersebut. Namun jika tidak dapat diharapkan untuk hidup, maka tidak diperbolehkan untuk membelah perutnya. Ini adalah madzhab Hanafi dan Asy-Syafi’i, serta pendapat yang dipilih oleh ulama‟-ulama‟ Hambaliyah dan Malikiyah.
- Diperbolehkan membedah ( otopsi ) jenazah seorang Muslim, jika tujuannya untuk pembuktian tuntutan kejahatan atau pembuktian wabah penyakit, karena hal tersebut mengandung kemaslahatan.Namun jika pembedahan untuk tujuan belajar dan pendidikan, maka, cukuplah melakukan pembedahan jenazah non muslim, karena seorang muslim memiliki kehormatannya ketika hidup dan setelah meninggal dunia. Ini adalah pendapat Syaikh Muhammad bin Ibrahim At- Tuwaijiri.[1]
B. Hal-hal
yang berhubungan dengan harta mayyit.
Ketika
seseorang meninggal dunia, maka harta yang ditinggalkan berkaitan
dengan lima hal:
1. Apabila
pada massa hidupnya si mayyit tidak membayar zakat, padahal ia terkena
kewajiban zakat, maka segerakanlah dikeluarkan zakatnya. Tetapi apabila dia
tidak ada hutang zakat, Maka tidak usah dikeluarkan.
2. Hutang:
apabila si mayyit mempunyai hutang kepada orang lain, maka segerakanlah
membayar hutangnya dengan mengambil dari harta yang ditinggalkannya.
3.Wasiat:
apabila sebelum meninggal si mayyit pernah berwasiat untuk menginfakkan
sebagian hartanya, maka wajib bagi kita melaksanakan wasiat tersebut dengan
syarat “harta yang diinfaqkan tersebut di bawah 1/3 ( sepertiga dari
keseluruhan harta ).
4.Biaya
perawatan jenazah: si mayyit berhak mendapatkan perawatan jenazah yang layak,
apabila harta yang ditinggalkan mencukupi.
5.Untuk
pembagian waris: setelah empat hal di atas sudah dibayar, maka
bolehlah sisa hartanya tersebut dibagikan kepada ahli warisnya, sesuai
ketentuan hukum waris agama Islam.
B. Kewajiban Seorang Muslim ( bagi yang hidup ) Kepada yang Meninggal dunia ada empat perkara:
1. Memandikan
2. Mengkafani
3. Menshalati
4. Menguburkan
[1] Lihat Ensiklopedi Fiqih Islam tentang Bab Jenajah hal. 538
MEMANDIKAN
JENAZAH
A. Kadar
Minimal Memandikan Mayyit
Mandi
yang dianggap sah paling minimal adalah: “meratakan seluruh badan
mayyit dengan air”. Secara singkat Syekh Salim bin Sumair Al-Hadlrami
menuturkan dalam kitabnya Safînatun Najâh (Beirut: Darul Minhaj, 2009):
أقل الغسل تعميم بدنه بالماء
Artinya:
“Paling sedikit memandikan mayat adalah dengan meratakan air keseluruh tubuh
anggota badan”
Syarat wajib mandi bagi mayit:
a. Mayat orang Islam
b. Ada tubuhnya walaupun sedikit
c. Mayit itu bukan mati syahid (mati dalam peperangan untuk membela agama Allah)
Mandi untuk melepaskan kewajiban itu sekurang-kurangnya dilakukan satu kali, merata keseluruh tubuh, sesudah najis yang ada pada badannya dihilangkan dengan berbagai macam cara yang baik.[1]
Syarat
Orang yang Akan memandikan Jenazah adalah Muslim, berakal, balig, jujur, sholeh,
terpercaya dan amanah, tahu cara dan hukum memandikan jenazah serta Ma’munun ( مَأمُوْنُونَ
) mampu menutup aib si mayyit. Sebagaimana Rosululloh SAW bersabda:
لِيَغْسِلْ مَوْتَكُمْ
الْمَأْمُوْنُوْنَ
Artinya:
“Hendaklah jenazah-jenazah kalian dimandikan oleh orang yang dapat
dipercaya” ( HR. Ibnu Majah )
B. Sunnah-sunnah
dalam Memandikan mayyit,
Adapun
kalau kita ingin memandikan mayyit secara sempurna, maka kita melakukan
hal - hal berikut:
1. Niat:
sunnah bagi yang memandikan mayyit untuk berniat. ( niat bukan merupakan
rukun dari memandikan mayyit, menurut mayoritas ulama mahzab Syafi’i,
tetapi hanya sunnah saja. Berdasarkan keterangan Imam An-Nawawi dalam
kitabnya Minhajuth -Thalibin ). Yang dimaksud dengan niat disini adalah
hadirnya niat di dalam hati ketika dia akan memandikan mayyit. Dengan maksud
ketika seseorang memandikan mayyit, maka hati berniat bahwa dia sedang
memandikan mayyit si pulan, maka hal tersebut sah dalam niatnya.
Adapun
lafadz niatnya menurut Imam Hajar adalah:
نَوَيْتُ اَدَاءَ الْغُسْلِ عَنْ هَذَا الْمَيِّتِ فَرْضَ
كِفَايَةٍ للهِ تَعَالَى
Artinya:
“Sengaja aku menunaikan memandikan mayyit ini sebagai fardu
kifayah karena Allah”.
Catatan:
[1] H.Sulaeman Rasjid, Fiqih Islam. Hal. 165
- Kata mayyit bermakna: orang
yang mati, baik untuk laki-laki maupun perempuan atau untuk anak-anak atau
orang dewasa.
-
Lafadz niat di atas sebagai contoh
saja, kalaupun ada lafadz-lafadz yang lain, misalnya ada penggantian kata ganti
(dhomir) laki-laki atau perempuan [1]
maka hukumnya tidak masalah, yang penting pada lafazd itu ada isyarat berniat
memandikan mayyit.
2. Meletakkan
badannya di tempat yang tinggi ( maksudnya tidak sejajar dengan lantai ).
3. Melepaskan bajunya, lalu menutupi tubuhnya dengan kain atau baju gamis, hingga
nanti ketika dimandikan ia tetap menggunakan gamis tersebut dan yang memandikan
memasukkan tangannya dari balik gamis. (Karena nabi saw ketika
meninggal dimandikan dengan memakai gamis sebagaimana hadits riwayat Abu Dawud)
dan diriwayatkan dari ‘Aisyah Radiallahu Anha, Ia berkata,
سُجِيَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِيْنَ مَاتَ
بِثَوْبٍ حِبَرَةٍ
Artinya:
“Ketika Rosululloh SAW wafat, beliau ditutupi dengan kain bergaris” [2]
4. Memandikan
mayyit di tempat tertutup dan tidak ada yang masuk kecuali yang berkepentingan
dalam memandikan.
5. Yang
memandikan menggunakan sarung tangan, hingga tidak langsung menyentuh aurat
mayyit.
6. Orang
yang memandikan harus orang yang dipercaya (Ma’munun).
7. Menundukan
mayit dengan menyandarkan punggung mayyit dengan lutut kanannya ( yang
memandikan ), lalu memegang kepala mayyit agar tidak miring.
8. Menekan
dengan perlahan perut mayyit, agar kotoran yang ada di dalam perut mayyit keluar.
Yang dalam bahasa sunda disebut ngawerdonan.
9. Lalu mengistinjakkannya (membersihkan kubul dan dubur nya) dengan menggunakan sarung tangan
( Catatan: tidak perlu berniat dalam mengistinja’kan mayyit ).
10. Membersihkan
kotoran di telinga, hidung dan mulut mayyit dengan menggunakan jari-jari dan
sarung tangan yang baru ( bukan yang bekas digunakn bekas istinja’ ).
11. Mewudhukan
mayyit sebelum memandikannya.
Diriwayatkan
dari Ummu Athiyah ia berkata, Nabi SAW bersabda kepada mereka ketika mereka
memandikan jenazah putri beliau,
اِبْدَأْنَ بِمَيَامِنِهَا وَمَوَضِعِ
الْوُضُوْءِ مِنْهَا
Artinya:
“Mulailah dari anggota ( badan yang ) sebelah kanan dan anggota ( badan
yang
dibasuh ketika ) wudhu.” [3]
[1]
Misalnya Mengganti Lapadzهذا Hadza) menjadi (Hadihi) هذه atau هُ
(Hu) menjadi ها (Ha) atau
lafadz الميت (Almayyiti) menjadi الميتة (Almayyitati)
[2] HR.
Muslim Juz 2 : 942.
[3] Muttafaq „alaih. HR. Bukhari Juz 1: 165 dan Muslim Juz Juz 2 : 939.
Lafazd
niatnya: (menurut ulama mahzzb syafi’i).
نَوَيْتُ اَدَاءَ الْوُضُوْءِ
عَنْ هَذَا الْمَيِّتِ فَرْضَ للهِ تَعَالَى
Artinya:”
Sengaja aku menunaikan mewudukan atas mayit ini fardlu lillahi ta’ala”
12.
Ketika memandikan mayyit hendaknya mendahulukan bagian sebelah kanan.
Setelah
diwudlukan kemudian membasuh kepala jenazah dengan air yang telah dicampur
dengan daun bidara atau sabun. Dan para ulama telah bersepakat atas
disunnahkannya menggunakan daun bidara ketika memandikan jenazah. Tidak perlu
memasukkan air ke mulut dan hidung jenazah, namun cukup orang yang memandikan
memasukkan dua jarinya yang basah ke dalam mulut dan hidung jenazah tersebut.
13. Membasuh
badan mayyat hendaknya basuhan dilakukan beberapa kali hingga benar-benar
bersih. Pengulangan basuhan dimulai dari membasuh kepala, membasuh bagian tubuh
jenazah yang kanan, dan membasuh bagian tubuh jenazah yang kiri. Hendaknya
pengulangan basuhan dilakukan dengan hitungan ganjil; tiga, lima, tujuh, dan
seterusnya. Basuhan yang kedua dan setelahnya dilakukan seperti basuhan yang
pertama.
14.
Pada basuhan yang pertama [1] menggunakan
air dan daun sidr ( berupa daun yang kesat ) (kalau tidak ada, maka sabun pun
bisa), lalu pada basuhan terakhir berikan kapur barus (atau jenis
harum-haruman). [2]
Penggunaan
air kapur barus ini termasuk dalam hitungan ganjil di atas, sehingga air kapur
barus ini menggantikan posisi air daun bidara/air sabun. Dalilnya adalah hadits
Ummu ‘Athiyyah dimana Rasulullah
SAW bersabda kepada para wanita yang memandikan jenazah putri beliau;
إِغْسِلْنَهَا ثَلَاثًا أَوْ
خَمْسًا أَوْ أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ إِنْ رَاَيْتُّنَّ ذَلِكَ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ وَاجْعَلْنَ
فِيْ الآخِرَةِ كَفُوْرًا أَوْ شَيْئًا مِنْ كَفُوْرٍ.
Artinya:
“Mandikanlah ia tiga kali, lima kali, atau lebih dengan air dan bidara jika
menurut kalian perlu. Dan jadikan (basuhan) terakhir dengan kapur barus atau
sedikit dengannya.”
15. Ikatan
rambut mayyit dibuka apabila rambut mayyit panjang
16.
Mengeringkan jenazah dengan handuk
17.Khusus wanita, rambutnya dikepang menjadi tiga lalu diletakkan
dibelakangnya, Dari Ummu ‘Athiyah, ia berkata;
فَضَفَرْنَا شَعْرَهَا ثَلَاثَةَ قُرُوْنٍ وَأَلْقَيْنَاهَا خَلْفَهَا
[1] Disunahkan
basuhan pertama dengan daun bidara, basuhan kedua menghilangkan daun bidara
tersebut, dan basuhan ketiga dengan air bersih yang diberi sedikit kapur barus
yang sekiranya tidak sampai merubah air. Ketiga basuhan ini dianggap sebagai
satu kali basuhan dan disunahkan mengulanginya dua kali lagi seperti
basuhan-basuhan tersebut.
[2] Catatan; kalau
ada orang yang meninggal orang yang sedang ihram haji, maka tidak boleh
diberikan sabun dan wangi-wangian.
Artinya:”Maka
kami jalin rambut (jenazah Zainab i menjadi) tiga kepang dan kami julurkan ke
belakang.
18. Menyisir
rambut mayyit.
C. Hal-hal
yang Diperhatikan dalam Memandikan Jenazah
1. Apabila mayyit adalah perempuan yang bersuami, maka yang paling berhak memandikannya adalah suaminya, berdasarkan nabi kepada ‘Aisyah: “Kalau Seandainya kau meninggal sebelum aku, maka akulah yang memandikanmu dan mengkafanimu” (H.R Al- Baihaqi dan daruquthni). Begitu juga ketika putri nabi yang bernama Fatimah wafat, yang memandikannya adalah suaminya (Ali bin Abi Thalib).
Dan
juga di antara dalil tentang bolehnya seorang suami memandikan jenazah
isterinya adalah hadits yang diriwayatkan dari Aisyah ia berkata, Rasulullah saw bersabda
kepadanya;
لَوْمُتِّ قَبْلِيْ فَغَسَّلْتُكِ
Artinya
: Jika engkau meninggal sebelumku, maka aku akan memandikanmu.” [1]
2. Jika
yang meninggal suami, maka yang paling berhak memandikannya ialah
istrinya berdasarkan ijma’ (kesepakatan) ulama sesuai dengan perkataan ‘Aisyah
bahwa kalau bukan karena wasiat dari nabi saw agar beliau jika wafat
dimandikan oleh Ali, maka yang paling berhak memandikan nabi saw adalah istri-istrinya
(H.R An-Nasa’I dan Ibnu Hibban).
Adapun
dalil yang membolehkan seorang isteri memandikan jenazah suaminya adalah hadits
yang diriwayatkan dari Aisyah, ia berkata:
لَوْ
كُنْتُ اسْتَقْبَلْتُ مِنْ أَمْرِيْ مَا اسْتَدْبَرْتُ مَا
غَسَّلَ النَّبِيَ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَيْرُ نِسَائِهِ
Artinya:
“Seandainya pendapatku ini dahulu terlintas di benakku, maka sungguh dahulu
tidak ada yang memandikan (jenazah) Nabi SAW kecuali isterinya.”[2]
3. Apabila
mayyit ketika meninggal tidak mempunyai suami/istri maka yang berhak
memandikannya, jika mayyit perempuan, maka yang memandikannya adalah perempuan
dan jika laki-laki, maka yang memandikannya juga laki-laki.
4. Yang
paling berhak memandikan mayyit selain suami/istri adalah anak laki-lakinya
terus berikutnya berdasarkan kedekatan dari hubungan nasab atau kerabat.
5. Laki-laki
dan wanita diperbolehkan untuk memandikan jenazah anak-anak laki-laki maupun
perempuan yang berusia tujuh tahun atau usia yang di bawahnya. Ini adalah
pendapat Syaikh Muhammad bin Ibrahim At-Tuwaijiri [3].
6. Apabila mayyit perempuan, lalu tidak ada keluarga juga tidak ada perempuan di daerah tersebut, maka mayyit tersebut ditayammumkan, juga sebaliknya. Maksudnya adalah apabila
[1] HR.
Ahmad, lafazh ini miliknya dan Ibnu Majah : 1465. Hadits ini Shahih li
Ghairihi.
[2] HR.
Ibnu Majah : 1464.
[3] Lihat
Ensiklopedi Fiqih Islam tentang Bab Jenajah hal. 542
seorang
laki-laki meninggal ditengah-tengah kaum wanita (yang tidak ada laki-lakinya)
atau seorang wanita yang meninggal ditengah-tengah kaum laki-laki (yang tidak
ada wanitanya), maka cukup ditayammumkan dan tidak dimandikan. Sebagaimana
diriwayatkan dari Sinan bin Gharfah, dari Nabi saw
فِيْ الرَّجَالِ يَمُوْتُ مَعَ
النِّسَاءِ وَالْمَرْأَةُ تَمُوْتُ مَعَ الرِّجَالِ لَيْسَ لِوَاحِدٍ مِنْهُمَا مَحْرَامًا
يُتَيَمَّمَانِ بِالصَّعِيْدِ وَلَا يَغْسِلَانِ
Artinya:”Tentang
laki-laki yang meninggal di tengah-tengah kaum wanita dan wanita yang meninggal
ditengah-tengah kaum laki-laki, sementara tidak ada mahram bagi mereka berdua.
(Beliau bersabda),”Keduanya ditayammumkan dan tidak dimandikan." [1]
7. Jika yang memandikan
mayyit melihat hal-hal aneh yang betrsifat buruk pada mayyit ketika dimandikan,
maka haram baginya untuk menceritakan hal tersebut kepada orang lain,
berdasarkan sabda nabi saw yang diriwayatkan dari Abu Rafi, sesungguhnya
Rasulullah SAW bersabda;
مَنْ غَسَلَ مُسْلِمًا فَكَتَمَ
عَلَيْهِ غَفَرَ اللهُ لَهُ أَرْبَعِيْنَ مَرَّةً
Artinya
“Barang siapa yang memandikan mayyit lalu ia sembunyikan apa-apa yang ada
pada mayyit (kejelekan) maka diampuni dosanya empat puluh kali” (HR.
Al-Baihaqi) [2].
8. Yang
memandikan mayyit melihat sesuatu yang baik, maka disunnahkan untuk
menceritakannya.
9. Diharamkan
memandikan orang Islam yang mati syahid dalam peperangan membela agama Islam,
karena darahnya nanti akan bersaksi di hari kiamat dan akan lebih wangi dari
minyak kasturi (misk), maka itu nabi saw tidak memandikan para syuhada perang Uhud
(H.R Bukhari).
10.
Diharamkan memberi wangi-wangian kepada mayyit yang meninggal dalam keadaan
ihram haji, karena walaupun ia meninggal, statusnya masih ihram haji.
Kepalanya juga tidak boleh ditutup, karena nanti dia dibangkitkan dalam keadfaan
bertalbiyah, berdasarkan H.R Jamaah.
11. Apabila tidak ada air
yang dapat digunakan untuk memandikan jenazah, maka jenazah cukup ditayamumkan.
Hal ini berdasarkan keumuman sabda Rasulullah SAW tentang tayamum sebagai
pengganti bersuci ketika tidak ada air. Sabda beliau;
وَجُعِلَتْ تُرْبَتُهَا لَنَا
طَهُوْرًا إَذَا لَمْ نَجِدِ الْمَاءَ
Artinya:”Dan dijadikan
debu untuk kami sebagai alat bersuci, jika kami tidak mendapatkan air.”[3]
[1] HR.
Baihaqi Juz 3 : 6461.
[2]
HR. Baihaqi Juz 3 : 6447, lafazh ini miliknya dan Hakim Juz 1 : 1307. Hadits
ini dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Ahkamul Janaiz.
[3]
Muttafaq ‘alaih. HR. Bukhari Juz 1 : 328 dan Muslim Juz 1 : 521
Caranya
mentayammumkan jenazah adalah; seorang yang akan mentayammumkan jenazah
memukulkan kedua telapak tangannya ke tanah, kemudian meniup debu atau tanah
yang ada ditangannya tersbut, lalu mengusapkannya ke wajah jenazah dan kedua
telapak tangan jenazah.
12.
Apabila jenazah telah dimakamkan tetapi Ia belum dimandikan dan tidak
ditayammumkan, maka wajib untuk dibongkar kuburnya, selama diperkirakan
jasadnya belum membusuk. Ini adalah pendapat jumhur ulama‟; Malik, Asy-Syafi‟i, Ahmad, Abu Dawud, dan
Ibnu Hazm. Dan diperbolehkan mengeluarkan jenazah dari kuburnya untuk suatu
tujuan yang dibenarkan menurut syari’at. Sebagaimana hadits Jabir, Ia berkata;
اَتَى النَّبِيُ صَلَى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَبْرَ عَبْدِ اللهِ بْنِ أُبَيْ فَأَخْرَجَهُ مِنْ قَبْرِهِ فَوَضَعَهُ
عَلَى رُكْبَتَيْهِ وَنَفَثَ عَلَيْهِ مِنْ رِيْقِهِ وَ أَلْبَسَهُ قَمِيْصُهُ
Artinya:
”Nabi SAW mendatangi kuburan ‘Abdullah bin Ubay, lalu beliau mengeluarkannya
dari kuburnya. Kemudian meletakkannya di atas kedua lututnya, lalu beliau
menghembuskan air liur beliau dan memakaikan gamis beliau kepadanya.”[1]
13.
Apabila seorang wanita keguguran kandungannya setelah janinnya berusia empat
bulan (120 hari), maka janin tersebut dimandikan dan dishalatkan. Namun jika
janin tersebut belum sampai berusia empat bulan, maka ia tidak dimandikan dan tidak
dishalatkan (ia seperti halnya benda mati lainnya). Hal ini karena setelah
empat bulan telah ditiupkan ruh ke dalam janin tersebut, sehingga ia disebut
sebagai satu jiwa. Sebagaimana diriwayatkan dari „Abdullah bin Mas‟ud, ia berkata, telah mengabarkan
kepadaku Rasulullah SAW, dan beliau adalah orang yang benar dan dibenarkan;
إِنَّ اَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ
فِيْ بَطْنِيْ أُمِّهِ أَرْبَعِيْنَ يَوْمًا نُطْفَةً, ثُمَّ يَكُوْنُ عَلَقَةً مِثْلَ
ذَلِكَ, ثُمَّ يَكُوْنُ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ, ثُمَّ يُرْسَلُ إِلَيْهِ الْمَلَكُ
فَيَنْفُخُ فِيْهِ الرُّوْحَ, وَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ: بِكَتْبِ رِزْقِهِ
وَأَجَلِهِ وَعَمَلِهِ وَشَقِيٌّ أَوْسَعِيْدٌ
Artinya:
“Sesungguhnya tiap-tiap kalian dikumpulkan penciptaannya dalam rahim ibunya
selama empat puluh hari berupa nutfah, kemudian menjadi segumpal darah selama
itu juga, lalu menjadi segumpa daging selama itu juga, kemudian diutuslah
malaikat untuk meniupkan ruh kepadanya, lalu diperintahkan untuk menuliskan
empat kalimat; rizkinya, ajalnya, amalnya, dan celaka atau bahagianya.” [2]
14. Janin yang gugur
setelah berusia empat bulan disyari‟atkan untuk diberi nama. Karena pada Hari Kiamat kelak ia
akan dipanggil dengan namanya. Ini adalah pendapat Syaikh ‘Abdurrahman bin ‘Abdullah Al-Ghaits.
[1] HR.
Muslim Juz 4 : 2773.
[2] HR.
Bukhari Juz 3 : 3154 dan Muslim Juz 4 : 2643.
15.
Apabila
ada jenazah tanpa identitas, maka dilihat zhahir tanda-tanda keislamannya
(seperti; khitan, menggunakan pakaian Muslim, meninggal di negeri muslim, dan
semisalnya). Jika nampak tanda keislamannya, maka jenazah tersebut dimandikan
dan dishalatkan. Namun jika tidak ada tanda keislaman, maka jenazah tersebut
tidak dimandikan dan tidak dishalatkan [1]
16.
Seorang yang mati syahid selain dalam medan peperangan, maka jenazahnya tetap
dimandikan dan dishalatkan seperti jenazah-jenazah lainnya. Ini adalah pendapat
jumhur ‘ulama. Syahid selain dalam medan peperangan adalah seperti yang
disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah Ia berkata,
Rasulullah SAW bersabda;
Artinya:”Menurut
kalian, siapa orang-orang yang mati syahid itu?” Para sahabat menjawab,
”Orang-orang yang terbunuh di jalan Allah, itulah syahid.” Rasulullah SAW
bersabda,”Kalau begitu, orang-orang yang mati syahid dari kalangan umatku
sangatlah sedikit.” Para sahabat bertanya, ” Lalu siapa, wahai Rasulullah?”
Rasulullah SAW menjawab,”Barangsiapa terbunuh (karena) berperang di jalan
Allah, maka ia adalah syahid. Barangsiapa yang meninggal di jalan Allah, maka
ia adalah syahid. Barangsiapa meninggal karena penyakit tha‟un (kusta), maka ia adalah
syahid. Barangsiapa meninggal karena sakit perut, maka ia adalah syahid.” Ibnu
Muqsim 5 berkata, ”Aku bersaksi atas bapakmu (Abu Shalih) bahwa beliau (juga)
bersabda, ”Dan orang yang tenggelam (juga) syahid.” [2]
17. Dianjurkan bagi seorang
yang telah memandikan jenazah untuk mandi. Ini adalah pendapat Syaikh Muhammad
Nashiruddin Al-Albani. Sebagaimana diriwayatkan Dari Abu Hurairah bahwa
Rasulullah SAW bersabda;
مَنْ غَسَّلَ مَيْتًا فَلْيَغْتَسِلْ
Artinya
: “Barangsiapa yang memandikan jenazah, maka hendaklah ia mandi.” [3]
MENGKAFANI
JENAZAH
A. Kadar
minimal pada Kain Kafan
Minimal
kain kafan itu adalah baju atau kain yang menutup seluruh badan mayyit. Ini
semua kalau keadaan mendesak atau mayyit tidak mempunyai harta warisan untuk
membeli kain kafan dan tidak ada orang yang membantu.
B. Kadar
Sempurna pada Kain Kafan
Kain
Kafan memenuhi standar kesempurnaan adalah
[1] Lihat
Ensiklopedi Fiqih Islam tentang Bab Jenajah hal. 545
[2] HR.
Muslim Juz 3 : 1915.
[3] HR. Tirmidzi Juz 3 : 993, Abu Dawud : 3161, dan Ibnu Majah : 1463, lafazh ini miliknya.
Hadits ini di shahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Irwa‟ul Ghalil : 144.
1. Hendaknya menggunakan kain kafan yang berwarna putih para ulama bersepakat atas disunnahkannya menggunakan kain kafan yang berwarna putih. Hal ini sebagaimana diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas Ia berkata, Rasulullah SAW bersabda;
إِلْبَسُوْا مِنْ ثِيَابِكُمُ
الْبَيَاضَ فَإِنَّهَا مِنْ خَيْرِ ثِيَابِكُمْ, وَكَفِّنُوْا فِيْهَا مَوْتاَكُمْ
Artinya: Pakailah pakaian berwarna putih, karena itu adalah sebaik-baik pakaian untuk kalian. Dan kafanilah jenazah-jenazah kalian dengannya.“ [1]
2. Bagus
dan suci [2]
3. Kain
kafan diberi wangi-wangian atau diasapkan dengan asap yang wangi, apabila kapan
diasapkan maka disunnahkan sampai tiga kali [3]
4. Untuk
Laki-laki dengan tiga lembar kain dan untuk wanita hendaknya menggunakan lima
lembar kain. Sebagaimana hadist yang diriwayatkan dari
Aisyah Ia berkata;
أَنَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمّ كُفِّنَ فِيْ ثَلَاثَةِ أَثْوَابٍ يَمَانِيَّةٍ بِيْضٍ سَحُوْلِيَّةٍ
لَيْسَ فِيْهِنَّ قَمِيْصٌ وَلَا عِمَامَةٌ
Artinya:”Sesungguhnya
Rasulullah a dikafani dengan tiga kain Yaman yang putih dari Sahuliyah
tanpa baju dan surban.” [4]
Berkata
Ibnul Mundzir;”Kebanyakan ulama‟ yang kami hafal ucapannya
berpendapat bahwa seorang wanita dikafani dengan lima lembar kain. Hal ini
dianjurkan kerena wanita dilebihkan dari kaum laki-laki sewaktu hidupnya dalam
hal menutup aurat, karena auratnya lebih banyak daripada aurat laki-laki,
demikian pula setelah wafatnya.” [5]
5. Maksudnya
adalah untuk perempuan menggunakan lima lapis kain kafan atau dua lapis kain
kafan ditambah dengan sarung yang menutupi dari dada ke lutut dan ditambah baju
gamis yang menutupi seluruh badannya juga jilbab, berdasarkan riwayat dari
Ummu ‘Athiyyah
6. Kain
kafan bukan yang terlalu mahal [6].
C. Tata
Cara Memakaikan Kain Kafan
1. Hamparkan
selembar tikar di atas lantai lalu bentangkan empat untas tali di
atasnya. Kira-kira letaknya di tempat kepala, tangan, lutut dan mata kaki
jenazah.
2. Hamparkan
di atas tikar tersebut kain kafan yang sudah disiapkan sehelai demi sehelai dan
setiap helainya diberi wangi-wangian semisal kamper atau minyak wangi
[1] HR.
Abu Dawud : 3878, Tirmidzi Juz 3 : 994, Ibnu Majah : 1472, dan Ahmad.
[2] H.R
Ibnu Majahdan At-turmudzi
[3] H.R
Ahmad dan Al-Hakim
[4] Muttafaq
‟alaih. HR. Bukhari Juz 1 : 1214, lafazh ini miliknya dan Muslim Juz 2 : 941.
[5] Al-Mughni,
2/470.
[6] H.R
Abu Dawud
3. Jenazah
hendaknya diberi kapur barus halus, kemudian diletakkan di atas hamparan kain
kafan yang telah tersedia.
4. Tempelkan
kapas secukupnya pada bagian muka jenazah, pusarnya, kelaminnya dan duburnya.
5. Setelah
itu seluruh tubuh mayyit dibalut dengan kain kafan, lalu diikat dengan empat
utas tali yang sudah disiapkan dibagian kepala, tangan lutut dan mata kaki.
6. Ada
pendapat yang menyunnahkan
pada kain kafan lapisan yang ketiga itu ada garis-garisnya, Diriwayatkan dari
Jabir Ia berkata, aku mendengar Rasulullah SAW bersabda;
إِذَا تُوُفِّيَ اَحَدُكُمْ
فَوَجَدَ شَيْئًا فَلْيُكَفَّنْ فِيْ ثَوْبٍ حِبَرَةٍ
Artinya:
“Jika salah seorang di antara kalian meninggal dunia dan ia adalah orang
yang mampu, hendaklah ia dikafani dengan (kain) yang bergaris. [1]
Catatan:
1, Khusus
yang meninggal dalam keadaan ihram haji, maka jangan ditutupi kepalanya, kalau
ia laki-laki. Adapun kalau perempuan maka jangan ditutupi wajahnya.
Apabila
jenazah yang meninggal tersebut adalah seorang yang sedang ihram, maka dikafani
dengan pakaian ihramnya dan tidak ditutup kepalanya. Sebagaimana diriwayatkan
dari Ibnu Abbas, ia berkata; yang artinya:”Ada seorang laki-laki yang wukuf di ‟Arafah. Tiba-tiba ia
terjatuh dari kendaraannya hingga patah tulang lehernya. Maka Nabi saw
bersabda, “Mandikanlah ia dengan air daun bidara, kafanilah ia dengan kedua
pakaian (ihram) nya, dan janganlah kalian mengawetkannya dan janganlah menutup kepalanya.
Karena sesungguhnya ia akan membangkitkannya pada Hari Kiamat dalam keadaan
bertalbiyah.” [2]
2. Biaya pembelian kafan
diambilkan dari harta jenazah sebelum dibayarkan hutang dan dilaksanakan
wasiatnya. Jika jenazah tidak memiliki harta yang dapat digunakan untuk membeli
kain kafan, maka biaya pembelian kain kafan ditanggung oleh orang yang
menafkahi jenazah tersebut (seperti; suaminya, orangtuanya, anaknya, dan
semisalnya). Hal ini merupakan kesepakatan para ulama‟. Jika tidak ada, maka
biaya pembelian kain kafan diambilkan dari Baitul Mal. Jika Baitul Mal tidak
ada, maka imam menarik sumbangan dari orangorang yang berkelapangan dan
orang-orang yang dipandang memiliki harta. Ini adalah pendapat Syaikh Abu Malik
Kamal. [3]
3. Dianjurkan untuk
mengkafani para syuhada‟
dengan pakaian yang mereka pakai saat terbunuh. Ini merupakan kesepakatan para
ulama. Hal ini sebagaimana hadits dari Abdullah bin Tsa’labah bin Sha’ir;
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يَوْمَ اُحُدٍ زَمِّلُوْهُمْ فِيْ ثِيَابِهِمْ
[1]
HR. Abu Dawud : 3150. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani 5 dalam Shahihul
Jami’ : 455.
[2] HR.
Bukhari Juz 1 : 1206
[3] Lihat
Ensiklopedi Fiqih Islam tentang Bab Jenajah hal. 551
Artinya:
“Sesungguhnya Rasulullah saw bersabda pada Hari (Perang) Uhud, “Selimutilah
mereka dengan pakaian (perang) mereka.”
Namun
pakaian yang tidak biasa dipakai manusia (seperti; baju besi, tembaga, dan
semisalnya), maka dilepaskan. Ini adalah pendapat mayoritas ulama.
4. Diperbolehkan
seorang menyiapkan kain kafannya sebelum meninggal dunia. Sebagaimana
dikisahkan dari Sahl bin Sa’ad
As-Sa’idi, tentang seorang yang
meminta kain burdah yang sedang dipakai oleh Rasulullah saw, orang tersebut
mengatakan;
إِنِّيْ وَاللهِ مَا سَأَلْتُهُ
لِأَلْبَسَهَا إِنَّمَا سَأَلْتُهُ لِتَكُوْنَ كَفَنِيْ قَالَ سَهْلٌ فَكَانَتْ كَفَنَهُ
Artinya:”Sesungguhnya
Demi Allah, aku tidak memintanya untuk aku pakai. Aku memintanya untuk aku
jadikan sebagai kafanku. Sahl berkata, (Kain) itulah yang menjadi kafannya.” [1]
5. Apabila setelah dikafani ternyata keluar najis dari tubuh jenazah, maka tidak perlu dimandikan kembali, karena hal tersebut menyulitkan.[2]
SHALAT
JENAZAH
Seorang
yang menshalatkan jenazah dijanjikan dengan pahala yang sangat besar, yaitu
akan mendapatkan pahala sebesar gunung Uhud. Hal ini sebagaimana diriwayatkan
dari Tsauban, sesungguhnya Rasulullah saw bersabda;
مَنْ صَلَّى عَلىَ جَنَازَةٍ
فَلَهُ قِرَاطٌ فَإِنْ شَهِدَ دَفْنُهَا فَلَهُ قِيْرَاطَانِ اَلْقِرَاطُ مِثْلَ أُحُدٍ.
Artinya:
“Barangsiapa yang menshalatkan jenazah, maka baginya pahala satu qirath. Dan
jika ia menyaksikan pemakamannya, maka baginya pahala dua qirath. Satu qirath
seperti satu (gunung) Uhud. “
A. Orang
Yang Haram Dishalatkan
1. Orang
kafir atau murtad
2. Orang
Islam yang mati syahid karena perang membela agama Allah (sebagaimana nabi saw
tidak menshalatkan para syuhada uhud dalam hadits riwayat Bukhari). Adapun
hikmahnya karena dosa mereka langsung diampuni.
3. Anak
yang meninggal dalam kandungan, kecuali kalau ketika lahir bayi tersebut masih
bergerak-gerak atau menangis atau meninggal, maka tetap dishalatkan
(sebagaimana sabda nabi saw dalam hadits riwarat At-Turmudzi dan Ibnu
Majah: {“ Seorang bayi itu jika meninggal tidak dishalatkan, tidak
mewariskan sampai dia bergerak-gerak”}. Maksudnya menunjukkan kehidupan
walaupun sebentar). Ini adalah pendapat mayoritas ulama termasuk Imam Syafi’i.
Adapun menurut Imam Ahmad, bayi yang lahir dalam keadaan yang meninggal,
hukumnya tetap dishalatkan, karena bayi tersebut ketika empat bulan di dalam
kandungan ia telah ditiupkan ruh.
[1] HR.
Bukhari Juz 1 : 1218, lafazh ini miliknya dan Ibnu Majah : 3555.
[2] Lihat
Ensiklopedi Fiqih Islam tentang Bab Jenajah hal. 549
B. Syarat-syarat
Shalat Jenazah
1. Orang
yang menshalatkan adalah orang Islam, aqil, baligh, suci dari dua hadats, suci
dari hadast di badan pakaian dan tempat juga menutup aurat dan menghadap
kiblat, seperti syarat shalat.
2. Shalat
jenazah syah dilakukan apabila mayyit sudah dimandikan
3. Mayyit diletakkan di depan imam, hingga salah satu bagian dari badan mayyit sejajar dengan imam
C. Tempat
Shalat Jenazah
Disunnahkan
untuk melaksanakan Shalat Jenazah di mushalla, yaitu tempat khusus untuk
Shalat Jenazah. Karena kebanyakan Shalat Jenazah yang dilakukan oleh Rasulullah
SAW adalah di mushalla. Diriwayatkan dari Abu Hurairah;
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَعَى النَّجَاشِيَّ فِي اْليَوْمِ
الَّذِيْ مَاتَ فِيْهِ خَرَجَ إِلَى الْمُصَلَّى فَصَفَّ بِهِمْ وَكَبَّرَ أَرْبَعًا
Artinya:
“Sesungguhnya Rasulullah SAW menyiarkan kematian (Raja) Najasyi pada hari
kematiannya, beliau keluar menuju ke mushalla (tempat khusus untuk shalat
jenazah), bershaf bersama mereka (para sahabat), dan (melakukan Shalat Jenazah
dengan) empat takbir.” [1]
Namun
jika dilakukan di dalam masjid, maka hal tersebut juga diperbolehkan. Ini
adalah pendapat madzhab Hanabilah. Sebagaimana diriwayatkan dari ‘Aisyah ia berkata;
وَ اللهِ لَقَدْ صَلَّى رَسُوْلَ
اللهِ صَلَّى اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى ابْنَيْ بَيْضَاءَ فِى الْمَسْجِدِ
Artinya:
“Demi Allah, sungguh Rasulullah SAW (pernah) menshalatkan (jenazah) dua anak
Baidha‟ di
dalam masjid.” [2]
D. Posisi
Imam dalam Shalat Jenazah
Jika
jenazahnya laki-laki, maka posisi berdirinya imam adalah sejajar dengan kepala
jenazah. Dan jika jenazahnya wanita, maka posisi imam adalah sejajar dengan
bagian tengah jenazah. Ini adalah pendapat Imam Asy-Syafi’i, Imam Ahmad, Ishaq, dan
Asy-Syaukani. Diriwayatkan dari Abu Ghalib ia berkata yang artinya:
”Aku
pernah Shalat (Jenazah) bersama Anas atas jenazah laki-laki, maka ia berdiri
(mengimami shalat) disisi kepala jenazah. Kemudian didatangkan jenazah wanita
dari kalangan Quraisy. Dikatakan kepadanya, ”Wahai Abu Hamzah, shalatkanlah
ia.” Maka ia berdiri (mengimami shalat) pada bagian tengah tempat tidur
(jenazah wanita tersebut). Al-‘Ala’ bin Ziyad bertanya kepadanya,”(Apakah)
seperti ini engkau melihat posisi Nabi SAW berdiri untuk jenazah wanita dan
posisi berdiri untuk jenazah laki-laki?” Anas menjawab, ”Ya.”
[1] Muttafaq
„alaih. HR. Bukhari Juz 1 : 1188, lafazh ini miliknya dan Muslim Juz 2 : 951.
[2] HR.
Muslim Juz 2 : 973.
Diriwayatkan
pula dari Samurah ia berkata;
صَلَيْتُ وَرَاءَ النَّبِيُّ
صَلَّى اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلىَ اِمْرَأَةٍ مَاتَتْ فِي نِفَسِهَا, فَقَامَ
عَلَيْهَا وَسَطَهَا
Artinya:
”Aku pernah shalat di belakang Nabi SAW (untuk menshalatkan) jenazah seorang
wanita yang meninggal ketika melahirkan, lalu beliau berdiri (menghadap) bagian
tengah (jenazah wanita tersebut).” [1]
E. Tata Cara Shalat
Jenazah
1. Meletakkan Jenazah pada
arah kiblat
2. Imam
dan makmum berdiri dibelakangnya dengan membentuk tiga shaf atau lebih, dianjurkan
bershaf dengan tiga shaf, walaupun jumlahnya sedikit. Sebagaimana diriwayatkan
dari Malik bin Hubairah ia berkata, Rasulullah SAW bersabda;
مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَمُوْتُ فَيُصَلِّيْ
عَلَيْهِ ثَلَاثَةُ صُفُوْفٍ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ إِلَّا اَوْجَبَ
Artinya
: ”Tidaklah seorang muslim yang meninggal dunia lalu dishalatkan oleh tiga shaf
dari kalangan kaum muslimin, melainkan wajib (baginya Surga).”
3. Niat; yang dimaksud
dengan niat disini adalah ketika orang melakukan shalat jenazah, di dalam
hatinya ketika takbirratur ihram sadar bahwa ia sedang menshalatkan jenazah.
Adapun melafazdkan niat, menurut mahzab Imam Syafi’I hukumnya sunnah.
Lafazd
yang bisa kita ucapkan salah satunya yaitu:
اُصَلِّيْ عَلَى هَذَا الْمَيِّتِ
اَرْبَعَ تَكْبِيْرَاتِ فَرْض َكِفَايَةٍ لله ِتَعَالَى
Ushalli
‘ala hadzal mayyiti arba’a takbiraatin fardu kifayatin lillahi
ta’aala
Artinya:
“ Niat aku menshalati atas jenazah ini dengan empat kali takbir fardhu kifayah karena
allah ta ‘ala.
Catatan:
a. Kalimat di atas hanya contoh saja, adapun kalau ada lafadz yang lain, maka tidak masalah.
Yang penting ada niat untuk menshalatkan.
b. Kalimat
“fardu kifayatin” tidak wajib dihadirkan di dalam hati, menurut mayoritas ulama
Syafi’i [2]
c. Tidak
wajib menyebutkan nama si mayyit, tetapi kalau disebutkan lalu salah, maka
niatnya tidak sah [3]
d. Tidak
wajib menghadirkan jumlah takbir dan lillahi ta ‘ala di dalam hati ketika niat.
[1] Muttafaq
„alaih. HR. Bukhari Juz 1 : 1266, lafazh ini miliknya dan Muslim Juz 2 : 964.
[2] lihat
kitab Minhajuth Thalibin, Imam Nawawi.
[3] lihat
juga kitab Minhajut thalibin, Imam Nawawi.
e. Kalimat “mayyit
“ bermakna orang yang meninggal, baik bagi lak-laki, perempuan anak
kecil atau dewasa.
f. Kalau
jenazahnya banyak, maka lafazd niatnya:
اُصَلِّيْ عَلَى مَنْ حَضَرَ
مِنْ اَمْوَاتِ الْمُسْلِمِيْنَ اَرْبَعَ تَكْبِيْرَاتٍ فَرْضَ كِفَايَةِ للهِ تَعَالَى
Artinya:
“Niat aku menshalati atas orang-orang meninggal dari kaum muslimin empat
takbir fardu kifayah karena Allah ta’la
g. Adapun
bagi makmum, cukuplah melafazdkan niat
اُصَلِّيْ عَلَى مَنْ صَلَّى
عَلَيْهِ الْاِمَامِ اَرْبَعَ تَكْبِيْرَاتٍ فَرْضَ كِفَايَةٍ مَأمُوْمًا للهِ تَعَالَى
Artinya:
sengaja aku menshalati atas yang dishalati imam empat takbir sebagai ma’mum
fardu kifayah karena Allah
h. Adapun kalau jenazahnya
2 orang maka bisa menggunakan lafazd niat di atas (jenazah banyak) atau dengan kalimat.
اُصَلِّيْ عَلَى هَذَ يْنِ الْمَيِّتَيْنِ
اَرْبَعَ تَكْبِيْرَاتٍ فَرْضَ كِفَايَةٍ للهِ تَعَالَى
Artinya:
“Niat Aku menshalati atas dua mayyit ini empat takbir sebagai ma’mum fardu
kifayah karena Allah ta’ala”
4. Berdiri
bagi yang mampu
5.
Empat kali takbir
Shalat Jenazah dilakukan dengan empat kali takbir adalah
pendapat yang dipilih oleh ‘Umar
bin Khatthab, Ibnu ‟ Umar,
Zait bin Tsabit, Al-Hasan bin ‘Ali,
Ibnu Abi Aufa, Al-Barra’
bin ‘Azib, Abu Hurairah, Ibnu ‘Amr. Pendapat ini yang juga
dipilih oleh Atha’, Sufyan Ats-Tsauri, Al-Auza’i, Ahmad, Ishaq, Malik, ‘Abdullah bin Mubarak, dan Imam Asy-Syafi’i. Di antara dalilnya
adalah hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah ;
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
نَعَى النَّجَشِيْ فِيْ الْيَوْم الَّذِيْ مَاتَ فِيْهِ خَرَجَ إِلَى الْمُصَلَّى
فَصَفَّ بِهِمْ وَكَبَّرَ أَرْبَعًا
Artinya:
”Sesungguhnya Rasulullah SAW menyiarkan kematian (Raja) Najasyi pada hari
kematiannya, beliau keluar menuju ke tempat Shalat Jenazah, bershaf bersama
mereka (para sahabat), dan melakukan (Shalat Jenazah dengan) empat kali
takbir.”
Catatan: “boleh
saja menambah takbir lebih dari empat kali, karena ada riwayat yang menyebutkan
nabi SAW takbir sampai lima kali, enam kali bahkan sampai Sembilan kali [1]
4. Membaca
surat al-fatihah sesudah takbir pertama (takbiratul ihram)
Hal
ini berdasarkan hadits dari Ubadah bin Shamit bahwa Rasulullah SAW bersabda;
[1] H.R
At-Thahawi
لَا صَلاَةَ لِمَنْ لَم ْيَقْرَأ
بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ
Artinya:
”Tidak sah shalat seseorang yang tidak membaca Al-Fatihah
Surat
Al-fatihah:
بسم اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
. الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ . الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيم . مَالِكِ
يَوْمِ الدِّينِ . إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ . اهْدِنَا
الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ . صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ
الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَاالضَّالِّينَ
Artinya:
"Dengan nama Allah yang maha pengasih, maha penyayang. Segala puji bagi
Allah, tuhan seluruh alam, yang maha pengasih, maha penyayang, pemilik hari
pembalasan. Hanya kepada engkaulah kami menyembah dan hanya kepada engkaulah
kami mohon pertolongan. Tunjukilah kami jalan yang lurus (yaitu) jalan
orang-orang yang telah engkau beri nikmat kepadanya, bukan (jalan) mereka yang
dimurkai, dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.
5. Membaca shalawat kepada nabi saw setelah takbir kedua.
Shalawat
yang dibaca dalam Shalat Jenazah yang paling afdhal adalah Shalawat
Ibrahimiyah. Hal ini berdasarkan hadits dari Abu Umamah bin Sahl bahwa seorang
laki-laki dari sahabat Nabi SAW menceritakan kepadanya;
أَنَّ السُّنَّةَ فِيْ الصَّلَاةِ
عَلَى الْجَنَازَةِ أَنْ يُكَبِّرَ اْلِامَامِ ثُمَّ يَقْرَأُ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ
بَعْدَ التَّكْبِرَةِ الْأُوْلَى سِرًّا فِيْ نَفْسِهِ ثُمَّ يُصَّلِيْ عَلَى النَّبِيِّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَ يَخْلُصُ الدُّعَاءَ لِلْجَنَازَةِ فِيْ التَّكْبِيْرَاتِ
لَا يَقْرَأُ فِيْ شَيْءٍ مِنْهُنَّ ثُمَّ
يُسَلمُ سرا في نفسه.
Artinya:
“(Termasuk tuntunan) Sunnah dalam Shalat Jenazah (adalah) imam bertakbir,
kemudian membaca Al-Fatihah secara sirr (pelan) setelah takbir pertama.
Kemudian membaca shalawat atas Nabi a. Dan mengikhlaskan doa kepada janazah
pada takbir-takbir (yang tersisa), tanpa membaca sesuatu pun (ayat Al-Qur‟an) pada takbir-takbir
(yang tersisa) tersebut. Lalu mengucapkan salam secara sirr (pelan).”
Membaca
shalawat bisa dengan shalawat yang pendek missal:
اللّـٰهُمَّ صَلِّ عَلٰى
سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ
Atau shalawat ibrahimmiyah,
yaitu:
.اَللَّهُمَّ
صَلِّ عَلىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلىَ آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَماَ
صَلَّيْتَ عَلىَ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلىَ آلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَباَرِكْ
عَلىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلىَ آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَماَ باَرَكْتَ
عَلى سَيِّدِنَا َ إِبْرَاهِيْمَ وَعَلىَ آلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ إِنـَّكَ
حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ
Artinya:”Ya
Allah, limpahkanlah shalawat kepada Muhammad dan kepada keluarga Muhammad
sebagaimana Engkau melimpahkan shalawat kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim.
Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Mulia. Ya Allah, limpahkanlah
keberkahan kepada Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau melimpahkan
keberkahan kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji
dan Maha Mulia.”
6. Berdoa
untuk jenazah setelah takbir yang ketiga, dengan do’a yang dicontohkan oleh
nabi saw,
Diriwayatkan
dari Abu Hurairah ia berkata, aku mendengar Rasulullah SAW bersabda;
إذا صليتم على الميت فأخلصوا
له الدعاء
Artinya:
”Jika kalian Shalat Jenazah, maka ikhlaskan doa untuk ( jenazah ) nya.”
Para ulama telah bersepakat bahwa doa dalam Shalat Jenazah dilakukan dengan sirr ( pelan ).
Di antara bacaan doa dalam Shalat Jenazah adalah :
Yang
pendek:
اللّـٰهُمَّ اغْفِرْ لَهُ،
وَارْحَمْهُ، وَعَافِهِ، وَاعْفُ عَنْهُ
a. a. Yang panjang terdapat dalam hadits
riwayat Muslim yang berbunyi:
للّـٰهُمَّ اغْفِرْ لَهُ،
وَارْحَمْهُ، وَعَافِهِ وَاعْفُ عَنْهُ، وَأَكْرِمْ نُزُلَهُ، وَوَسِّعْ
مَدْخَلَهُ، وَاغْسِلْهُ بِمَاءٍ وَثَلْجٍ وبَرَدٍ، وَنَقِّهِ مِنَ الخَطَايَا
كَمَا يُنَقَّى الثَّوْبُ الأَبْيَضُ مِنَ الدَّنَسِ، وَأَبْدِلْهُ دَاراً خَيْراً
مِنْ دَارِهِ، وَأَهْلاً خَيْراً مِنْ أَهْلِهِ، وَزَوْجاً خَيْراً مِنْ زَوْجِهِ،
وَقِهِ فِتْنَةَ الْقَبْرِ وَعَذَابِ الناَّرِ
Allahummagh
firlahu (ha) warhamhu (ha) wa’fuanhu (ha) wa’aafihi
wa (ha) wa akrim nuzulahu (ha) wassi’ madkhalahu (ha) wagh silhu (ha) bimaain
wa tsaljin wabarodin wanaqqihi (ha) minal khathaya kama yunaqqotsaubul abyadul
minad danasi wa abdilhu (ha) daaran khairan min jaujihi (ha) wa qihi (ha) fitnatal
wa ‘adzabannaar.
Artinya:
“Ya Allah, ampunilah ia, kasihanilah, maafkanlah ia, selamatkanlah ia,
hormatilah kedatangannya, luaskanlah tempat masuknya, bersihkanlah ia dengan
air es dan air dingin. Bersihkanlah ia dari dosa, sebagaimana kain putih yang
dibersihkan dari kotoran dan gantilah keluarganya dengan lebih baik dari
keluarga sebelumnya dan peliharalah ia dari adzab kubur dan siksa neraka.
Catatan:
Kata “ha” menunjukan pada perempuan, jadi kalau jenazahnya perempuan maka
gantilah (hu) menjadi “ha“. Kalau jenazahnya lebih dari dua, maka kalau
laki-laki gantilah dengan kata “hum”. Tetapi kalau perempuan, maka gantilah
dengan kata “hunna”.
b. Dalam
hadits riwayat Ahmad dan Ashabus - Sunan
اللهم اغفر لحينا وميتنا,
وصغيرنا وكبيرنا وذ كرنا وانثا نا وشا هد نا وغاءبنا, اللهم من احييته منا فاحيه
على الاسلام, ومن توفيته منا فتو فه على الايمان, اللهم لا تحر منا اجره, ولا
تضلنا بعده
Artinya:
“Ya Allah ampunilah bagi orang yang hidup diantara kami dan orang yang mati
diantara kami, orang yang kecil kami, orang yang besar kami, laki-laki dari
kami, perempuan dari kami dan yang hadir dari kami dan yang tidak hadir dari
kami. Ya Allah, siapa yang telah Engkau hidupkan diantara kami, maka
hidupkanlah dengan Islam dan siapa yang Kau wafatkan dari kami maka wafatkanlah
ia atas keimanan. Ya Allah jangan kau haramkan (halangi) pahalanya dean jangan
kau sesatkan kami setelahnya.
Catatan: Kalau jenazahnya anak kecil, maka doanya seperti di atas (bagian b) atau membaca doa ini
( berdasarkan kitab Al-Adzkar, Imam An-Nawawi )
اللهم اجعله فرطا لابويه
وسلفا وذخرا وعظة واعتبارا وشفيعا وثقل به موازينهما وافرغ الصبر على قلو بهما ولا
تفتنهما بعده, ولاتحر مهما اجره
Artinya:
“Ya Allah ia (anak yang wafat) sebagai pendahulu yang baik bagi kedua orang
tuanya, juga sebagai simpanan (amal) sebagai nasehat dan pelajaran dan pemberi
syafaat bagi orang tuanya dan jangan kau coba orang tuanya (dengan bencana dan
maksiat) setelahnya (wafat) dan jangan Kau halangi keduanya dari pahalanya.”
7. Mengucapkan
salam; boleh satu kali, boleh juga dua kali. Dianjurkan sebelum salam membaca
do’a ini:
اللهم لا تحر منا اجره (ها)
ولاتفتنا بعده (ها) واغفرلنا وله (ها) و لجميع المسلمين
Catatan: sebagian
ulam Syafi’I menganjurkan membaca ayat ini sebelum salam:
الَّذِينَ يَحْمِلُونَ الْعَرْشَ وَمَنْ حَوْلَهُ
يُسَبِّحُونَ بِحَمْدِ رَبِّهِمْ وَيُؤْمِنُونَ بِهِ وَيَسْتَغْفِرُونَ لِلَّذِينَ
آَمَنُوا رَبَّنَا وَسِعْتَ كُلَّ شَيْءٍ رَحْمَةً وَعِلْمًا فَاغْفِرْ لِلَّذِينَ
تَابُوا وَاتَّبَعُوا سَبِيلَكَ وَقِهِمْ عَذَابَ الْجَحِيمِ
Artinya:
“(Malaikat-malaikat) yang memikul arsy dan malaikat yang berada di
sekelilingnya bertasbih memuji Tuhannya dan mereka beriman kepada-Nya serta
memintakan ampun bagi orang-orang yang beriman (seraya mengucapkan) “Ya Tuhan
kami, rahmat dan ilmu Engkau meliputi segala sesuatu, maka berilah tuntunan
kepada orang-orang yang bertaubat dan mengikuti jaln Engkau dan
peliharalah mereka dari siksaan neraka yang menyala-nyala”.[1]
D. Sunnah-Sunnah
Shalat Jenazah
1. Mengangkat
tangan ketika takbiratul ihram dan takbir lainnya [2]
2. Tidak
mengeraskan bacaan al-fatihah ( israr ) [3]
3. Shalat
jenazah dilakukan secara berjamaah
4. Membaca
ta ‘awudz
5. Tidak
usah membaca doa iftitah ( menurut mayoritas mahzab Syafi ‘i )
6. Yang
menjadi imam adalah anak laki-laki mayyit atau kerabatnya, dengan syarat mereka
orang yang mengerti tentang shalat jenazah, kecuali si mayyit berwasiat hendak
dishalatkan dengan orang yang dipilihnya
7. Imam
Ibnu Hajar berpendapat, disunnahkan menambahkan kata “wabarakatuhu”
ketika salam.
8. Yang
menshalati berjumlah tiga shaf [4]
9. Jumlah
orang yang menshalatkan banyak (H.R Muslim)
10. Jenazah laki-laki diletakkan di depan Imam dengan posisi kepala jenazah
menghadap ke Selatan dan kakinya menjulur lurus ke Utara. (inilah
secara teori dalam mahzab Syafi ‘i tetapi pada pengalaman atau prakteknya yang
dilakukan kebanyakan orang menjadi terbalik, yaitu kepala jenazah menghadap ke
Utara dan kakinya menghadap ke Selatan)
11. Bila
jenazah laki-laki, maka imam berdiri menghadap sejajar dengan kepala jenazah.
Adapun jika jenazah perempuan maka imam berdiri menghadap sejajar dengan bagian
tengahnya (pinggul) [5]
jenazah anak laki-laki di belakang jenajah laki-laki dewasa, sedangkan jenazah
anak perempuan di belakang jenazah perempuan dewasa
12. Jika
jenazah banyak terdiri dari laki-laki dan wanita maka cara menshalatkannyan
boleh sekaligus, dengan cara jenazah laki-laki diletakkan lebih dekat dengan
imam, sedangkan jenazah perempuan lebih dekat ke arah kiblat [6]
13. Kalau
bisa jangan menshalatkan jenazah pada waktu yang dimakruhkan, yaitu ketika
matahari meninggi dan ketika istiwa (matahari berada di tengah dan ketika
matahari akan terbenam sampai terbenam.[7]
E. Shalat
Ghaib
Yang
dimaksud denagan shalat ghaib adalah apabila jenazah yang akan kita shalatkan
tidak berada di tempat kita, misalnya kita berada di Ketapang sedangkan
mayyitnya berada di Pontianak, maka kita boleh shalat ghaib, berdasarkan hadits
riwayat Jamaah bahwa nabi dan para sahabat menshalati raja Najasyi yang
meninggal di Habasyah (Eutophia).
[1] Q.S
Al-Ghafir: 07
[2] H.R
Al-Baihaqi
[3] H.R
An-Nasa’i
[4] HR Ahmad,
Abu Dawud dan at-Turmudzi
[5]
H.R Abu Dawud dan At Turmudzi
[6]
H.R Al-Baihaqi dan An-Nasa ‘i
[7] H.R
Muslim
Tetapi
ada beberapa ketentuan yang perlu kita perhatikan dalam shalat ghaib ini,
diantaranya
1. Kita
boleh menshalati jenazah setelah ia dimandikan
2.
Menurutt sebagian ulama mahzab Syafi‘i, ketika menghadirkan niat di dalam hati
pada shalat ghaib, wajib menghadirkan nama jenazah di dalam hati. Tetapi kalau
ia melafazdkan kalimat berikut dan menghadirkannya di dalam hati maka
sudah cukup.
اصلي على من تجوز الصلاة
عليه من اموات المسلمين
Adapun
makmum cukuplah baginya mengucapkan niat seperti shalat jenazah:
اصلي على من صلى عليه الامام
اربع تكبيرات فرض كفاية مأموما لله تعلى
Waktu-waktu yang dimakruhkan untuk menshalatkan jenazah, antara Lain:
1. Ketika matahari terbit sampai meninggi (setinggi tombak)
2. Ketika matahari berada tepat di atas kepala sampai tergelincir
3. Ketika matahari akan terbenam sampai benar-benar terbenam
Hal ini sebagaimana diriwayatkan dari ‘Uqbah bin ‘Amir ia berkata; yang artinya: ”Ada tiga saat yang Rasulullah a melarang kami melakukan Shalat (Jenazah) atau memakamkan orang yang meninggal dunia di antara kami. (Yaitu;) ketika matahari terbit sampai meninggi (setinggi tombak), ketika matahari berada tepat di atas kepala sampai tergelincir, dan ketika matahari akan terbenam sampai benar-benar terbenam.”
MEMBAWA
JENAZAH
Hal-hal
yang perlu diperhatikan ketika membawa mayyit ke kuburnya
1. Berjalan
sedikit cepat seperti yang nabi lakukan pada jenazah Sa ‘ad bin Mu ‘ad [1].
2. Mengikuti
jenazah dari belakang lebih utama.
3. Mengantar
jenazah dengan berjalan bukan dengan berkendaraan [2]
4. Dimakruhkan
mengeraskan dzikir ketika membawa jenazah ( Berdasarkan riwayat dari para
sahabat dan tabi ‘in dimakruhkan juga mengangkat suara ) [3].
5. Tidak
mengiringi jenazah dengan api [4],
adapun membawa pelita atau lampu hukumnya boleh apabila memerlukannya karena
menguburkan jenazah pada malam hari [5]
6. Para
penggiring jenazah dimakruhkan untuk duduk sebelum keranda jenazah diletakkan
di kaki kubur [6]
kecuali apabila dia datang ke kuburan lebih awal tanpa mengiring mayyit, maka
boleh-boleh saja dia duduk.
7. Disunnahkan bagi yang sedang duduk lalu ada jenazah yang melintas di depannya, untuk berdiri sampai jenazah itu lewat ( HR. Muslim ), sebagian ulama mensyaratkan disunnahkannya berdiri
[1]
Lihat dalam kitab Tarikh imam Bukhari
[2] H.R Baihaqi dan Abu Dawud.
[3] H.R
Abu Dawud
[4]
H.R Ibnu Majah
[5] H
R. At-Turmudzi
[6] H
R. Al-Hakim
kalau
mayyit nya orang Islam. Sedangkan sebagian ulama lainnya tidak men syaratkannya,
jadi walaupun jenazah orang kafir pun tetap disunnahkan berdiri (sebagaimana
yang dilakukan sebagian sahabat nabi saw dalam riwayat Bukhari dan Muslim).
8. Perempuan
boleh mengiringi jenazah, terutama jenazah keluarganya. Adapun hadits-hadits
yang banyak meriwayatkan tentang pelarangan perempuan mengiringi jenazah, semua
riwayatnya lemah, dan yang terkuat adalah perkataan Ummu “Athiyyah: “Kami
(perempuan) dilarang oleh nabi saw mengiringi jenazah. Tetapi nabi saw tidak
melarang kami secara tegas” (HR. BUkhari dan Muslim). Dalam mengomentari
hadits ini, Imam Ibnu Hajar berkata: “ Lafazd hadits”nabi tidak melarang kami
secara tegas ”, menunjukan bahwa larangan nabi tersebut hanya bersifat makruh
saja, bukan mengharamkan. Hal ini didukung oleh hadits yang meriwayatkan bahwa
Umar melihat seorang wanita menangis ikut mengiringi jenazah lalu ia
membentaknya, maka nabi mencegah Umar dan menyuruh Umar untuk membiarkan
perempuan tersebut (HR, Ibnu Kisan dengan sanad yang shahih).
MENGUBURKAN
JENAZAH
A. Kadar
Minimal Kubur
Paling minimal kuburan adalah berbentuk lobang yang bisa
menjaga jenazah dari penciuman binatang buas dan bisa menutupi bau mayyit. [1]
B. Kadar Kesempurnaan Kubur
Disunnahkan
mendalamkan kuburan [2],
dalam mazhab syafi ‘I kadar kesempurnaan kuburan adalah jika kuburan digali
sedalam ukuran orang yang berdiri sambil mengangkat tangannya [3].
C. Jenis
Kuburan
1. Lahat:
membuat lubang di bagian dasar di sisi kubur (dinding kubur) di sebelah kiblat
2. Syaq:
membuat lubang di bagian tengah dari dasar lubang kubur
Catatan: untuk
daerah yang tanahnya kuat, maka yang afdhal adalah” lahat”. Adapun
tanahnya basah, maka yang afdhal adalah “syaq”. Nabi dikuburkan dengan “lahat”,
karena tanah Madinah keras.
D. Sunnah-Sunnah
dalam Menguburkan
1. Tidak
menguburkan jenazah pada malam hari kecuali terpaksa.
2. Tidak
menguburkan jenazah pada waktu ketika matahari meninggi dan ketika peristiwa (matahari
berada di tenga-tenga) dan ketika matahari akan terbenam sampai terbenam [4]
3. Jenazah
dimasukkan dari kaki kubur (maksudnya pinggir kuburan yang posisi kaki jenazah
di bawahnya.[5]
4. Mendahulukan
kepala jenazah pada saat memasukkannya ke dalam kubur.
[1] HR.
At-Turmudzi dan An-Nasa ‘i
[2] HR,
At-Turmudzi
[3] HR.
Ibnu Abi Syaiban dan Ibnu Mundzir
[4] H
R. Muslim.
[5] H R.
Al-Baihaqi
5. Orang
yang memasukkan jenazah berjumlah ganjil. Bisa tiga orang [1] ataupun
lima orang.[2]
6. Jenajah
dibaringkan di atas lambung kanannya dan wajah dan dadanya menghadap kiblat,
lalu ditutup lubang lahatnya dengan papan atau yang lainnya.
Catatan: menurut
mahzab Syafi ‘I, menghadapkan jenazah ke kiblat hukumnya wajib.
7. Disunnahkan
yang memasukkan jenazah adalah keluarganya.
8. Ketika
meletakkan mayyit, disunnahkan membaca:
بِسْمِ اللهِ وَعَلَى مِلَّةِ
رَسُوْلُ الله
Artinya:
“Dengan menyebut nama Allah dan atas agama Rasulullah” [3]
Atau
membaca:
بِسْمِ اللهِ وَعَلَى سُنَّةِ
رَسُوْلُ الله
Artinya:
“Dengan menyebut nama Allah dan atas sunnah (jalan) Rasulullah [4]
9. Disunnahkan
membuka ikatan yang ada pada kafan, lalu kain kafan yang menutupi mukanya dibuka
hingga wajahnya menyentuh tanah.
10. Setelah
mayyit dimasukkan dan ditutupi papan, disunnahkan untuk menaburkan tanah tiga
kali [5] Menurut
mahzab Syafi ‘I, tanah ditaburkan di bagian arah letak kepala mayyit berdasarkan
hadits riwayat Al-Baihaqi.
Catatan: berkata
Imam An-Nawawi dalam kitabnya Al-Adzkar “Menurut ulama-ulama mazhab Syafi‘I
dianjurkan membaca pada taburan yang pertama dengan bacaan ini: منها
خلقنا كم. Pada taburan kedua membaca: وفيها
نعيد كم pada taburan ketiga membaca: ومنها
نخرجكم تارة اخرى
11. Kuburan
setinggi satu jengkal [6],
ini semua apabila takut kuburan tidak dapat ditandai, namun apabila dapat
ditandai, mak yang lebih afdhal adalah kuburan tersebut adalah rata, seperti
makam nabi SAW. [7]
12.
Disunnahkan meletakkan batu atau yang lainnya di atas kubur sebagai tanda [8]
13.
Selesai penguburan kemudian disunnahkan meyiramkan air di atasnya dengan air
dingin atau air wewangian sambil berdo’a:
سقى الله ثراه وبرد الله
مضجعه وجعل الله الجنة مثوه
[1] HR Ibnu Hibban
[2] HR.
Abu Dawud
[3] HR. Abu Dawud
[4]
HR. Abu Dawud
[5]
HR. Ibnu Majah.
[6] HR.
Al-Baihaqi
[7]
HR. Abu Dawud
[8]
HR. Abu Dawud
Imam
Nawawi al-Bantani dalam kitab Nihayatuz zain menerangkan bahwa hukum menyiram
kuburan dengan air dingin adalah sunnnah. Tindakan ini merupakan sebuah
pengharapan (tafaul) agar kondisi mereka yang ada dalam kuburan tetap dingin.
14. Disunnahkan
mendoakan jenazah di pinggir kuburnya dan memohonkan ampunan untuknya dan
keteguhan imannya [1]
15. Disunnahkan
membaca awal Surat Al-Baqarah dan akhirnya [2]
16. Disunnahkan
tetap berada di atas kuburan, lama waktunya seperti orang menyenbelih unta dan
membagi-bagikan daging-dagingnya (sesuai dengan wasiat sahabat nabi saw Amr bin
Ash dalam riwatyat Muslim
Catatan: Adapun
masalah mentalqinkan mayyit di atas kuburnya, menurut mahzab Syafi ‘I
disunnahkan, walaupun haditsnya lemah, tetapi dikuatkan dengan hadits-hadits
shahih yang lain [3]
والله أعلم
Referensi
1. Al-
Quran
2. Abu
Abdillah Muhammad bin Ismail Al-Bukhari (256 H), Al-Jami ‘us Shahih
3. Abul
Hasan Muslim bin Hajjaj An-Naisaburi (261 H), Al-Jami’us Shahih
4. Ahmad
bin Syu ‘aib At-Turmudzi (303 H) Sunan At-Turmudzi
5. Ibnu
Hajar Al-Asqalani (819 H) Fathul Bari
6. Abu
Jakaria Yahya An-Nawawi, Minhajuth Thalibiin
7. Muhammad
Al-Khatib Asy Sirbinii, Mughnil Muhtaaj
8. Muhammad
bin Abdullah Al-Jardani, Fathul Alaam
9. Sayyid
Sabiq, Fighus Sunnah
[1] HR
Abu Dawud
[2]
HR. Thabrani dan Al-Baihaqi
[3]
lihat kitab Al-Adzkar, Imam An-Nawawi atau kitab fiqih Sunnah, Syayid Sabiq.
10. Habib
Ahmad bin Umar Asy Syathiri, Al-Yaqutunna Nafiis
11. Hasan
Ali As-Seqqaff, Shahih Syarhil ‘Aqidah Ath Thahawiyyah
12.
Sulaeman Rasjid. H, 2010. Fiqih Islam, Penerbit: Sinar baru Algensindo
Bandung
13.
Syayid Sabiq, fiqih Sunnah
14.
Imam An-Nawawi, Al-Adzkar
13.
Syekh Salim bin Sumair Al-Hadlrami, 2009 Safînatun Najâh, Penerbit:
Darul Minhaj, Beirut
14. Syekh Nawawi, 2008. Kâsyifatus
Sajâ Penerbit: Darul Kutub Islamiyah, Jakarta
Sayyid Sabiq, Fiqih
Sunnah, ( Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006 ).
Al-A’zami, Musthafa, Dirasat
fi al-Hadits al-Nabawi, ( Beirut: Maktab Islami, 1980 ).
Ahmad Warson Munawir, Kamus
Arab-Indonesia Al-Munawwir, ( Surabaya, Pustaka Progresif, 1997 ).
Ensiklopedi
Hukum Islam, ( Jakarta: Ichtiyar Baru Van
Hoeve ).
Jejen Musfah, Rindu
Kematian, ( Jakarta: Hikmah, 2004 ).
Abul Qosim Sulaiman bin
Ahmad bin Ayyub bin Mutair Al-Lahkmy As-Syamy Al-Thabrani, Mu’jamul
Ausath, ( Beirut Libanon: Darul Fikr, t.th ).