PANDUAN RINGKAS PEMULASARAAN

    

KATA PENGANTAR

﴿بِسْمِ ٱللهِ ٱلرَّحْمَـٰنِ ٱلرَّحِيْمِ﴾

اَلْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ, وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ عَلَى اُمُوْرِ الدُّنْيَا وَالدِّيْنِ, وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى اَشْرَفِ اْلاَنْبِيَآءِ وَالْمُرْسَلِيْنَ, سَيِّدِنَا وَمَوْلَانَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَلِهِ وَصَحْبِهِ اَجْمَعِيْنَ. اَمَّا بَعْدُ:

Segala puji bagi-Mu ya Allah Sang Maha Penguasa Langit dan Bumi, yang dengan kekuasaan dan izin-Mu ya Allah, Alhamdulillah penulis dapat menyelesaikan penyusunan buku Tata Cara Pemulasaraan Jenazah ini. Yang mudah-mudahan bermanfaat bagi para peserta khususnya dan umumnya bagi para pembaca serta mampu mengamalkannya. Amiin.....ya Robbal’aalamiin.

Diri ini sadar akan ketidak adaan ilmu, kebodohan dan kelemahan diri karena pada hakikatnya hanya milik Allah Azza Wajalla lah segala keagungan dan kecerdasan. Ketulusan hati guna meraih ilmu ikhlas lah yang mendorong penyusun untuk selalu berbagi. Semoga Allah Ta'ala selalu memberikan keberkahannya bagi kita semua. Aamii.

Shalawat serta salam semoga selalu terlimpah kepada junjunan kita Nabi Muhammad SAW yang tidak terlupa kepada para keluarganya, para sahabatnya dan sampai kepada kita selaku umatnya yang mudah-mudahan selalu ta’at dan patuh pada ajarannya sampai akhir zaman.

Sebagaimana manusia semasa hidupnya, manusia memiliki aturan-aturan tertentu yang harus diketahui dan dilaksankan, maka setelah kematian merekapun memiliki aturan-aturan tertentu yang harus diketahui dan dilaksanakan.

Setiap yang hidup pasti akan mengalami kematian, sebagaimana Allah SWT berfirman:

كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ (ال عمران: 185) [1]

Artinya:

     “Tiap-tiap yang bernyawa pasti akan mengalami kematian (Q.S. Ali-Imran: 185)”

 

Kematian adalah sesuatu yang pasti akan datang. Meskipun seorang berupaya untuk lari darinya, namun niscaya kematian akan datang menghampirinya. Sebagaimana Allah SWT berfirman:

قُلْ إِنَّ ٱلْمَوْتَ ٱلَّذِى تَفِرُّونَ مِنْهُ فَإِنَّهُۥ مُلَٰقِيكُمْۖ ثُمَّ تُرَدُّونَ إِلَىٰ عَٰلِمِ ٱلْغَيْبِ وَٱلشَّهَٰدَةِ فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ

 

Artinya: “Katakanlah:"Sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada


[1] QS. Ali ‟Imran : 185.

Allah ), yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa-apa yang telah kamu kerjakan".

Oleh karena itu Rasulullah saw memerintahkan untuk banyak mengingat kematian, agar seorang Muslim bergegas untuk mempersiapkan bekalnya. Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA bahwa Rasulullah SAW bersabda;

أَكْثِرُوْا ذِكْرُ هَاذِمِ اللَّذَّاتِ الْمَوْتِ

Artinya:” “Perbanyaklah mengingat pemutus (segala) kenikmatan, (yaitu) kematian.”

Ketika seorang Muslim telah meninggal dunia, maka muslim yang lainnya berkewajiban untuk mengurus jenazahnya. Dan hukum pengurusan jenazah adalah fardhu kifayah. Fardu kifayah bagi orang-orang yang masih hidup untuk menyelenggarakan 4 kewajiban. Empat kewajiban yang hidup kepada yang mati itu adalah memandikan, mengkafani, menshalatkan dan menguburkan. Kewajiban kifayah memiliki pengertian gugur kewajiban jika telah ada yang melaksanakan.  

Hal ini sebagaimana yang diisyaratkan dalam hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah RA Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda;

حَقُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ سِتٌّ - وَذَكَرَ مِنْهَا وَإِذَا مَاتَ فَاتْبَعْهُ

Artinya: “Hak seorang muslim atas muslim (lainnya) ada enam –di antaranya adalah jika ia meninggal dunia, maka iringilah (jenazah)nya.”

Kata jenazah sendiri diambil dari bahasa Arab yang berarti orang yang telah meninggal. Adapun kata jinazah berarti keranda yang digunakan untuk membawa jenazah kepemakaman.

Buku Tata Cara Pemulasaraan Jenazah ini membahas tentang hal-hal yang berkaitan dengan pengurusan jenazah, dimulai dari hal-hal yang dilakukan ketika ada yang meninggal, memandikan jenazah, mengkafaninya. Menshalatkan, dan memakamkannya.

Yang harapannya semoga dengan buku ini, memberikan sedikit pedoman kepada para petugas yang akan mengurusi jenazah baik dalam mentalqin, memandikan, menshalatkan, dan lain sebagainya.

Akhir kata, penulis meminta ma’af jika ada penulisan kata atau bahasa yang kurang tepat dan akurat. Kebenaran hanya milik Allah SWT semata. Perbaikan dan keritikan yang bertujuan membangun sangat penulis harapkan dari para pembaca buku singkat ini.

                                                                                                                   Penulis,

                                                                                                               Deni Supriadi

 

PANDUAN RINGKAS

PEMULASARAAN/ PERAWATAN JENAZAH

  1. Hal-hal Yang Dilakukan Ketika Ada yang Meninggal

1.      Mentalqinkan orang yang akan meninggal dunia (sedang sakaratul maut)

Kata talqin menurut bahasa adalah shighat masdar berasal dari akar kata bahasa arab laqqana-yulaqqinu yang berarti mendikte, mengajarkan dan memahamkan secara lisan sedang menurut istilah talqin adalah bimbingan mengucapkan 2 kalimat syahadat atau kalimat yang baik yang dibisikkan kepada seorang mukmin yang telah menampakkan tanda-tanda kematian atau dalam keadaan sakaratul maut.

Tujuan bimbingan itu adalah untuk mengingatkan kepada orang yang akan meninggal tersebut dengan tauhid, sehingga akhir ucapan yang keluar adalah kalimat tauhid, yakni La Ilaha Illallah.    

Para ulama’ telah bersepakat bahwa talqin dilakukan sebelum seseorang meninggal dunia. Diriwayatkan dari Abu Hurairah Ia berkata, Rasulullah SAW bersabda:

لَقِّنُوْا مَوْتَكُمْ لَا إِلَهَ إِلاَّ اللهُ.

Artinya: Talqinkanlah (bimbing lah) orang yang akan meninggal (orang diantara) dengan kalimat “Laa ilaha illallah” ( tidak ada sesembahan yang berhak untuk disembah sealin Allah ) [1]

Karena seseorang yang mengakhiri hidupnya dengan mengucapkan Laa ilaha illallah, maka ia akan masuk surga. Hal ini sebagaimana diriwayatkan dari Mu’adz bin Jabal, ia berkata rosulullah SAW bersabda:

مَنْ كَانَ آخِرُ كَلَامِهِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ

Artinya : “Barang siapa yang akhir ucapannya “Laa ilaha illallah”, maka ia akan masuk surga.[2]

Perlunya talqin untuk melafalkan kalimat tauhid adalah karena pada saat menjelang kematian merupakan saat yang menentukan, saat paling kritis bagi iman seseorang. Karena, setiap orang selalu berharap mati husnul khatimah, akhir kehidupan yang baik. Ini maknanya bahwa setiap orang memang berharap mati dalam keadaan iman kepada Allah.

Namun dimakruhkan terlalu banyak mentalqin, karena hal tersebut akan memberatkan hati dan akan memunculkan rasa kejenuhan.[3]

Dalam perkembangannya, talqin ternyata juga memiliki pengertian lain ketika dipraktekkan kepada orang yang sudah meninggal (pasca sakaratul maut). Itu dilakukan diatas kubur, setelah mayit dikebumikan.
Dalam pengertian tersebut, talqin dipahami sebagai kegiatan membaca beberapa ayat al-Quran, hadits, pertanyaan-pertanyaan yang akan ditanyakan malaikat Mungkar-Nakir di dalam kubur serta memanjatkan doa kepada mayat agar diampuni dosanya dan dirahmati.
Amalan talqin yang demikian disandarkan pada sebuah hadist dari Abu Umamah al-Bahily. Ia berpesan agar mayatnya nanti diperlakukan sebagaimana yang diperintahkan Nabi saw, yaitu diseru nama jenazahnya dan diberi peringatan (pengajaran) tentang syahadat, tentang Islam sebagai agama dan sebagainya.



[1] HR. Muslim Juz 2 : 917.

[2] HR. Abu Dawud : 3100.

[3] Mentalqin disesuaikan dengan keadaan seseorang yang sedang sakaratul maut bisa dengan ucapan Laa ilaa ha illahlah secara sempurna atau cukup dengan lafal Allah. Allah, Allah sampai seseorang tersebut bisa mengikuti, ketika sudah bisa mengikuti dan mampu melafalkannya sendiri maka berhenti tidak ditalqin terus tapi bila ucapannya mengarah kepada lafal yang lain maka bisa mentalqinnya kembali.

Dari Abu Umamah R A. “Apabila salah seorang di antara saudaramu meninggal dunia dan tanah telah diratakan di atas kuburannya, maka hendaklah salah seorang diantara kamu berdiri di arah kepala, lalu ucapkanlah, ‘Hai Fulan bin fulanah (nama mayat dan nama ibunya). ‘Sesungguhnya si mayat itu mendengar, namun tidak dapat menjawab. Kemudian ucapkan ‘Hai fulan bin fulanah, ‘Sesungguhnya dia duduk. Lalu ucapkan lagi, ‘hai fulan bin fulanah, maka si mayat berkata, ‘Bimbinglah kami, semoga Allah merahmatimu. Kemudian katakanlah “ingatlah apa yang kamu pertahankan saat meninggal dunia berupa kalimat syahadat dan kerelaanmu terhadap Allah sebagai Tuhan, Islam sebagai agama, Muhammad sebagai Nabi, dan al-Quran sebagai panutan. Sesungguhnya malaikat Munkar dan Nakir saling berpegangan tangan dan berkata, ayo pergi. Tidak perlu duduk di sisi orang yang diajarkan kepadanya jawabannya. Allah-lah yang dapat memintainya jawaban, bukan malaikat Munkar dan Nakir. Lalu ada seorang laki-laki bertanya, ya Rasulullah bagaimana jika ibu si mayat tidak diketahui? Beliau menjawab, sambungkan nasabnya ke ibu Hawa. (HR. at-Thabrani)

Jika talqin dalam pengertian pertama memiliki fungsi mengingatkan kepada si sakit yang akan meninggal dunia kepada kalimat tauhid, maka talqin dalam jenis kedua diamalkan sebagai sarana memberikan peringatan kepada orang masih hidup agar ingat kepada siksa kubur.

1.      Memejamkan kedua mata jenazah [1]

Para ulama sepakat atas disunnahkannya memejamkan kedua mata jenazah. Hikmahnya agar jenazah tersebut tidak terlihat buruk karena pandangannya, jika dibiarkan tetap terbuka. Diriwayatkan dari Ummu Salamah, ia berkata Rosulullah SAW bersabda:

إِنَّ الرُّوْحَ إِذَا قُبِضَ تَبِعَهُ اْلبَصَرُ

Artinya:” Sesungguhnya ruh ( ketika dicabut ), maka mata akan mengikutinya “ [2]

Disunnahkan bagi yang hidup untuk mengucapkan do’a keika memejamkan mata jenazah,

اَللَّهُمَّ الْغْفِرْ لِفُلَانٍ وَارْفَعْ دَرَجَتَهُ فِى الْمَهْدِيِّيْنَ وَافْسَحْ لَهُ فِيْ قَبْرِهِ وَنَوِّرْ لَهُ فِيْهِ وَاخْلُفْهُ فِيْ أَقِبِهِ فِي اْلغَابِرِيْنَ وَاغْفِرْلَناَ وَلَهُ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ.

Artinya: “Ya Allah, ampunilah Fulan, angkat derajatnya dikalangan orang-orang yang diberi petunjuk, lapngkanlah kuburnya, terangilah kuburnya, gantilah setelahnya untuk anak keturunannya, ampunilah kami dan dia, wahai Rabb Semesta Alam.” [3]   

Atau bisa juga dengan do’a

بِسْمِ اللهِ وَعَلَى مِلَّةِ رَسُوْلِ اللهِ

Artinya: “Dengan menyebut nama Allah dan atas agama Rasulullah” (HR. Abu Dawud).

Atau membaca:



[1] H.Sulaeman Rasjid, Fiqih Islam Hal.162

[2] HR. Muslim Juz 2 : 920.

[3] HR. Muslim Juz 2 : 920.

بِسْمِ اللهِ وَعَلَى سُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ

Artinya: “Dengan menyebut nama Allah dan atas sunnah (jalan) Rasulullah (HR. Abu Dawud).

     

1.      Menutup seluruh badan jenazah dengan Kain

Diriwayatkan dari ‘Aisyah Radiallahu Anha, Ia berkata,

سُجِيَ رَسُوْلُ اللهِ  صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِيْنَ مَاتَ بِثَوْبٍ حِبَرَةٍ

Artinya: “Ketika Rosululloh SAW wafat, beliau ditutupi dengan kain bergaris” [1]

Catattan:

-      Bagi kerabat yang ditinggalkan disunnahkan untuk mengucapkan :

إِنَّ للهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُوْنَ. اَللَّهُمِّ أْجُرْنِيْ فِيْ مُصِيْبَتِيْ وَأَخْلُفْ لِيْ خَيْرًا مِنْهَا.

Artinya: “Sesungguhnya kami milik Allah dan sesungguhnya kami akan kembali kepada-Nya. Ya Allah, berilah aku pahala atas musibah yang menimpaku dan berilah ganti dengan sesuatu yang lebih baik darinya.” [2]

Niscaya Allah akan memberinya pahala atas musibahnya tersebut dan akan menggantinya dengan yang lebih baik.

-    Diperbolehkan bagi seseorang untuk mencium jenazah. Sebagaimana diriwayatkan oleh ‘Aisyah dan Ibnu Abbas;

أَنَا أَبَا بَكْرٍ رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُ قَبَلَ النَّبِيَ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْدَ مَوْتِهِ.

Artinya: “Sesungguhnya Abu Bakar RA mencium Nabi SAW, setelah Nabi Muhammad SAW meninggal” [3]

-          Diperbolehkan menangisi jenazah tanpa diiringi dengan niyahah (ratapan) atau teriakan. Dan para ‘ulama telah sepakat atas haramnya niyahah. Diriwayatkan dari Anas bin Malik yang Artinya:

“Kami bersama Rosululloh SAW masuk ke (rumah) Abu Saif, dimana Ia adalah seorang yang mengasuh Ibrahim (putra Rasululloh SAW). Kemudian Rosululloh SAW mengambil Ibrahim, beliau mencium dan mengecupnya. Lalu kami masuk setelah itu dan Ibrahim telah meninggal dunia, maka kedua mata Rosulluh SAW berlinang. Abdurrahman bin ‘Auf berkata kepada Rosululloh SAW, dan engkau (juga menangis) ya Rosululloh SAW? beliau menjawab, Wahai ibnu ‘Auf, “Sesungguhnya (tetesan air mata ini) adalah kasih sayang.” Kemudian beliau melanjutkan dengan beberapa kata lainnya. Lalu beliau bersabda, “Sesungguhnya mata berlinang dan hati bersedih, (akan tetapi) kami tidak mengatakan sesuatu, melainkan yang diridhai oleh Rabb kami. Dan sesungguhnya kami sangat sedih berpisah denganmu wahai Ibrahim.”  [4]      


[1] HR. Muslim Juz 2 : 942.

[2] HR. Muslim Juz 2 : 918.

[3] HR. Bukhari Juz 4 : 4188.

[4] HR. Bukhari Juz 1 : 1241.

-   Hendaknya ahli waris jenazah segera menyelesaikan tanggungan yang terkait dengan jenazah. Baik dibayar dari harta Peninggalannya atau dari pertolongan keluarganya sendiri.[1] Sebagaimana yang diriwayatkan dari Abu Hurairah, sesungguhnya  rosululloh SAW bersabda:

لَتُؤَدُّنَّ الْحُقُوْقَ إِلَى أَهْلِهَا يَوْمَ اْلقِيَامَةِ حَتَّى يُقَادَ لِلشَّاةِ الْجَلْحَاءِ مِنَ الشَّاةِ الْقَرْنَاءِ

Artinya: “Sesungguhnya kalian akan menunaikan setiap hak kepada pemiliknya pada hari kiamat, hingga kambing tidak bertanduk akan diambil haknya dari kambing yang bertanduk.” [2]

Di antara tanggungan yang terkait dengan jenazah adalah membayarkan hutangnya, menunaikan nadzarnya ( baik berupa puasa, haji atau yang lainnya ), membayarkan zakatnya, dan semisalnya.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah ia berkata, Rosululloh SAW bersabda:    

نَفْسُ الْمُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ بِدَيْنِهِ, حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ.

Artinya: “Ruh orang mukmin ( yang meninggal dunia itu ) tergantung dengan hutangnya, sampai hutang tersebut dilunasi.” [3]

Diriwayatkan pula dari Ibnu Abbas

أَنَّ سَعْدَ بْنَ عُبَادَةَ رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهَ اِسْتَفْتَى رَسُوْلَ اللهِ صَلىَ اللهً عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنَّ أُمِّيْ مَاتَتْ وَ عَلَيْهَا نَذَارٌ فَقَالَ اِقْضِهِ عَنْهَا.

Artinya: “Sesungguhnya Saad bin ‘Ubadah meminta fatwa kepada Rasulullah SAW. Ia mengatakan, “Sesungguhnya ibuku meninggal dunia, sedangkan ia mempunyai nadzar.” Maka Rasulullah a bersabda, “Tunaikanlah ( nadzar ) untuknya.” [4]

-       Disunnahkan bagi kaum muslimin, baik laki-laki maupun wanita untuk bertaziyah kepada keluarga jenazah. Taziyah dilakukan untuk menghibur keluarga jenazah, meringankan kesedihannya, dan mengingatkan keluarga jenazah tersebut agar bersabar dan ridha terhadap taqdir Allah SWT. Di antara ucapan yang dianjurkan ketika taziyah adalah;

إِنَّ للهَ مَا أَخَذَ وَلَهُ مَا اَعْطَى وَ كُلُّ شَيْئٍ عِنْدَهُ بِأَجَلٍ مُسَمَّى, فَلْتَصْبِرْ وَ لْتَحْسِبُ

Artinya: “Sesungguhnya apa yang Allah ambil itu adalah milik-Nya, apa yang Allah berikan itu juga milik-Nya. Segala sesuatu disisi-Nya memiliki ajal yang telah ditentukan. Bersabarlah dan berharaplah pahala ( dari Allah ).[5]

Taziyah kepada keluarga jenazah tidak ada batas waktunya. Berkata Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin. Yang benar, bahwa taziyah


[1] H. Sulaeman, Fiqih Islam, Hal. 163

[2] HR. Muslim Juz 4 : 2582.

[3] HR. Tirmidzi Juz 3 : 1078. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani  dalam

Shahihul Jami‟ : 6779.

[4] Muttafaq „alaih. HR. Bukhari Juz 3 : 2610, lafazh ini miliknya dan Muslim Juz 3 :

1638.

[5] Muttafaq ‟alaih. HR. Bukhari Juz 1 : 1224 dan Muslim Juz 2 : 923, lafazh ini miliknya.

        -   Hendaknya ahli waris jenazah segera menyelesaikan tanggungan yang terkait dengan jenazah. Baik             dibayar dari harta Peninggalannya atau dari pertolongan keluarganya sendiri.[1] Sebagaimana yang             diriwayatkan dari Abu Hurairah, sesungguhnya  rosululloh SAW bersabda:

لَتُؤَدُّنَّ الْحُقُوْقَ إِلَى أَهْلِهَا يَوْمَ اْلقِيَامَةِ حَتَّى يُقَادَ لِلشَّاةِ الْجَلْحَاءِ مِنَ الشَّاةِ الْقَرْنَاءِ

Artinya: “Sesungguhnya kalian akan menunaikan setiap hak kepada pemiliknya pada hari kiamat, hingga kambing tidak bertanduk akan diambil haknya dari kambing yang bertanduk.” [2]

Di antara tanggungan yang terkait dengan jenazah adalah membayarkan hutangnya, menunaikan nadzarnya ( baik berupa puasa, haji atau yang lainnya ), membayarkan zakatnya, dan semisalnya.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah ia berkata, Rosululloh SAW bersabda:    

نَفْسُ الْمُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ بِدَيْنِهِ, حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ.

Artinya: “Ruh orang mukmin (yang meninggal dunia itu) tergantung dengan hutangnya, sampai hutang tersebut dilunasi.” [3]

Diriwayatkan pula dari Ibnu Abbas

أَنَّ سَعْدَ بْنَ عُبَادَةَ رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهَ اِسْتَفْتَى رَسُوْلَ اللهِ صَلىَ اللهً عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنَّ أُمِّيْ مَاتَتْ وَ عَلَيْهَا نَذَارٌ فَقَالَ اِقْضِهِ عَنْهَا.

Artinya: “Sesungguhnya Saad bin ‘Ubadah meminta fatwa kepada Rasulullah SAW. Ia mengatakan, “Sesungguhnya ibuku meninggal dunia, sedangkan ia mempunyai nadzar.” Maka Rasulullah a bersabda, “Tunaikanlah ( nadzar ) untuknya.” [4]

    -   Disunnahkan bagi kaum muslimin, baik laki-laki maupun wanita untuk bertaziyah kepada keluarga         jenazah. Taziyah dilakukan untuk menghibur keluarga jenazah, meringankan kesedihannya, dan               mengingatkan keluarga jenazah tersebut agar bersabar dan ridha terhadap taqdir Allah SWT. Di antara         ucapan yang dianjurkan ketika taziyah adalah;

إِنَّ للهَ مَا أَخَذَ وَلَهُ مَا اَعْطَى وَ كُلُّ شَيْئٍ عِنْدَهُ بِأَجَلٍ مُسَمَّى, فَلْتَصْبِرْ وَ لْتَحْسِبُ

Artinya: “Sesungguhnya apa yang Allah ambil itu adalah milik-Nya, apa yang Allah berikan itu juga milik-Nya. Segala sesuatu disisi-Nya memiliki ajal yang telah ditentukan. Bersabarlah dan berharaplah pahala ( dari Allah ).[5]

Taziyah kepada keluarga jenazah tidak ada batas waktunya. Berkata Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin. Yang benar, bahwa taziyah


[1] H. Sulaeman, Fiqih Islam, Hal. 163

[2] HR. Muslim Juz 4 : 2582.

[3] HR. Tirmidzi Juz 3 : 1078. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani  dalam 

    Shahihul Jami‟ : 6779.

[4] Muttafaq „alaih. HR. Bukhari Juz 3 : 2610, lafazh ini miliknya dan Muslim Juz 3 : 1638.

[5] Muttafaq ‟alaih. HR. Bukhari Juz 1 : 1224 dan Muslim Juz 2 : 923, lafazh ini miliknya.

        -  Adapun bagi kaum laki-laki, maka tidak diperbolehkan berkabung karena kematian kerabatnya                   atau selainnya. Ini adalah pendapat Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz.

        -    Apabila seorang wanita meninggal dunia yang di perutnya terdapat janin dan janin tersebut                         masih dapat diharapkan untuk hidup, maka diperbolehkan membelah perutnya untuk                                 mengeluarkan janin tersebut. Namun jika tidak dapat diharapkan untuk hidup, maka tidak                         diperbolehkan untuk membelah perutnya. Ini adalah madzhab Hanafi dan Asy-Syafii, serta                     pendapat yang dipilih oleh ulama-ulama Hambaliyah dan Malikiyah.

       -     Diperbolehkan membedah ( otopsi ) jenazah seorang Muslim, jika tujuannya untuk pembuktian                tuntutan kejahatan atau pembuktian wabah penyakit, karena hal tersebut mengandung kemaslahatan.Namun jika pembedahan untuk tujuan belajar dan pendidikan, maka, cukuplah melakukan pembedahan jenazah non muslim, karena seorang muslim memiliki kehormatannya ketika hidup dan setelah meninggal dunia. Ini adalah pendapat Syaikh Muhammad bin Ibrahim At- Tuwaijiri.[1]

B. Hal-hal yang berhubungan dengan harta mayyit.

Ketika seseorang meninggal dunia, maka harta yang ditinggalkan berkaitan dengan lima hal:

1. Apabila pada massa hidupnya si mayyit tidak membayar zakat, padahal ia terkena kewajiban zakat,            maka segerakanlah dikeluarkan zakatnya. Tetapi apabila dia tidak ada hutang zakat, Maka tidak usah            dikeluarkan.

2. Hutang: apabila si mayyit mempunyai hutang kepada orang lain, maka segerakanlah membayar                 hutangnya dengan mengambil dari harta yang ditinggalkannya.

3.Wasiat: apabila sebelum meninggal si mayyit pernah berwasiat untuk menginfakkan sebagian hartanya,       maka wajib bagi kita melaksanakan wasiat tersebut dengan syarat “harta yang diinfaqkan tersebut di           bawah 1/3 ( sepertiga dari keseluruhan harta ).

4.Biaya perawatan jenazah: si mayyit berhak mendapatkan perawatan jenazah yang layak, apabila harta            yang ditinggalkan mencukupi.

5.Untuk pembagian waris: setelah empat hal di atas  sudah dibayar, maka bolehlah sisa hartanya tersebut       dibagikan kepada ahli warisnya, sesuai ketentuan hukum waris agama Islam.

 

B. Kewajiban Seorang Muslim ( bagi yang hidup ) Kepada yang Meninggal dunia ada empat perkara:

1.      Memandikan

2.      Mengkafani

3.      Menshalati

4.      Menguburkan



[1] Lihat Ensiklopedi Fiqih Islam tentang Bab Jenajah hal. 538

MEMANDIKAN JENAZAH

A.    Kadar Minimal Memandikan Mayyit

Mandi yang dianggap sah paling minimal adalah: “meratakan seluruh badan mayyit dengan air”. Secara singkat Syekh Salim bin Sumair Al-Hadlrami menuturkan dalam kitabnya Safînatun Najâh (Beirut: Darul Minhaj, 2009):

أقل الغسل تعميم بدنه بالماء

Artinya: “Paling sedikit memandikan mayat adalah dengan meratakan air keseluruh tubuh anggota badan”

Syarat wajib mandi bagi mayit:

    a. Mayat orang Islam

    b. Ada tubuhnya walaupun sedikit

    c. Mayit itu bukan mati syahid (mati dalam peperangan  untuk membela agama Allah)

Mandi untuk melepaskan kewajiban itu sekurang-kurangnya dilakukan satu kali, merata keseluruh tubuh, sesudah najis yang ada pada badannya dihilangkan dengan berbagai macam cara yang baik.[1]

Syarat Orang yang Akan memandikan Jenazah adalah Muslim, berakal, balig, jujur, sholeh, terpercaya dan amanah, tahu cara dan hukum memandikan jenazah serta Ma’munun ( مَأمُوْنُونَ ) mampu menutup aib si mayyit. Sebagaimana Rosululloh SAW bersabda:

لِيَغْسِلْ مَوْتَكُمْ الْمَأْمُوْنُوْنَ

Artinya: “Hendaklah jenazah-jenazah kalian dimandikan oleh orang yang dapat dipercaya” ( HR. Ibnu Majah )   

B.     Sunnah-sunnah dalam Memandikan mayyit,

Adapun kalau kita ingin memandikan mayyit secara sempurna, maka kita melakukan hal - hal berikut:

1. Niat: sunnah bagi yang memandikan mayyit untuk berniat. ( niat bukan merupakan rukun dari  memandikan mayyit, menurut mayoritas ulama mahzab Syafi’i, tetapi hanya sunnah saja. Berdasarkan keterangan Imam An-Nawawi dalam kitabnya Minhajuth -Thalibin ). Yang dimaksud dengan niat disini adalah hadirnya niat di dalam hati ketika dia akan memandikan mayyit. Dengan maksud ketika seseorang memandikan mayyit, maka hati berniat bahwa dia sedang memandikan mayyit si pulan, maka hal tersebut sah dalam niatnya.

Adapun lafadz niatnya menurut Imam Hajar adalah:

نَوَيْتُ اَدَاءَ الْغُسْلِ عَنْ هَذَا الْمَيِّتِ فَرْضَ كِفَايَةٍ للهِ تَعَالَى

Artinya: “Sengaja aku menunaikan memandikan mayyit ini sebagai fardu kifayah karena Allah”.

Catatan:



[1] H.Sulaeman Rasjid, Fiqih Islam. Hal. 165

-      Kata mayyit bermakna: orang yang mati, baik untuk laki-laki maupun perempuan atau untuk anak-anak atau orang dewasa.

-          Lafadz niat di atas sebagai contoh saja, kalaupun ada lafadz-lafadz yang lain, misalnya ada penggantian kata ganti (dhomir) laki-laki atau perempuan [1] maka hukumnya tidak masalah, yang penting pada lafazd itu ada isyarat berniat memandikan mayyit.

2. Meletakkan badannya di tempat yang tinggi ( maksudnya tidak sejajar dengan lantai ).

3. Melepaskan bajunya, lalu menutupi tubuhnya dengan kain atau baju gamis, hingga nanti ketika               dimandikan ia tetap menggunakan gamis tersebut dan yang memandikan memasukkan tangannya dari       balik gamis. (Karena nabi saw ketika meninggal dimandikan dengan memakai gamis sebagaimana hadits    riwayat Abu Dawud) dan diriwayatkan dari ‘Aisyah Radiallahu Anha, Ia berkata,

سُجِيَ رَسُوْلُ اللهِ  صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِيْنَ مَاتَ بِثَوْبٍ حِبَرَةٍ

Artinya: “Ketika Rosululloh SAW wafat, beliau ditutupi dengan kain bergaris” [2]

 

4. Memandikan mayyit di tempat tertutup dan tidak ada yang masuk kecuali yang berkepentingan dalam        memandikan.

5. Yang memandikan menggunakan sarung tangan, hingga tidak langsung menyentuh aurat mayyit.

6. Orang yang memandikan harus orang yang dipercaya (Ma’munun).

7. Menundukan mayit dengan menyandarkan punggung mayyit dengan lutut kanannya ( yang                        memandikan ), lalu memegang kepala mayyit agar tidak miring.

8. Menekan dengan perlahan perut mayyit, agar kotoran yang ada di dalam perut mayyit keluar. Yang            dalam bahasa sunda disebut ngawerdonan.

9. Lalu mengistinjakkannya (membersihkan kubul dan dubur nya) dengan menggunakan sarung tangan 

    ( Catatan: tidak perlu berniat dalam mengistinja’kan mayyit ).

10. Membersihkan kotoran di telinga, hidung dan mulut mayyit dengan menggunakan jari-jari dan sarung       tangan yang baru ( bukan yang bekas digunakn bekas istinja’ ).

11. Mewudhukan mayyit sebelum memandikannya.

Diriwayatkan dari Ummu Athiyah ia berkata, Nabi SAW bersabda kepada mereka ketika mereka memandikan jenazah putri beliau,

اِبْدَأْنَ بِمَيَامِنِهَا وَمَوَضِعِ الْوُضُوْءِ مِنْهَا

Artinya: “Mulailah dari anggota ( badan yang ) sebelah kanan dan anggota ( badan

yang dibasuh ketika ) wudhu.” [3]



[1] Misalnya Mengganti Lapadzهذا   Hadza) menjadi  (Hadihi) هذه atau هُ  (Hu) menjadi ها (Ha) atau             lafadz الميت  (Almayyiti) menjadi الميتة (Almayyitati)

[2] HR. Muslim Juz 2 : 942.

[3] Muttafaq „alaih. HR. Bukhari Juz 1: 165 dan Muslim Juz Juz 2 : 939.

Lafazd niatnya: (menurut ulama mahzzb syafi’i).

نَوَيْتُ اَدَاءَ الْوُضُوْءِ عَنْ هَذَا الْمَيِّتِ فَرْضَ للهِ تَعَالَى

Artinya:” Sengaja aku menunaikan mewudukan atas mayit ini fardlu lillahi ta’ala”

12. Ketika memandikan mayyit hendaknya mendahulukan bagian sebelah kanan.

Setelah diwudlukan kemudian membasuh kepala jenazah dengan air yang telah dicampur dengan daun bidara atau sabun. Dan para ulama telah bersepakat atas disunnahkannya menggunakan daun bidara ketika memandikan jenazah. Tidak perlu memasukkan air ke mulut dan hidung jenazah, namun cukup orang yang memandikan memasukkan dua jarinya yang basah ke dalam mulut dan hidung jenazah tersebut.

13. Membasuh badan mayyat hendaknya basuhan dilakukan beberapa kali hingga benar-benar bersih. Pengulangan basuhan dimulai dari membasuh kepala, membasuh bagian tubuh jenazah yang kanan, dan membasuh bagian tubuh jenazah yang kiri. Hendaknya pengulangan basuhan dilakukan dengan hitungan ganjil; tiga, lima, tujuh, dan seterusnya. Basuhan yang kedua dan setelahnya dilakukan seperti basuhan yang pertama.

14. Pada basuhan yang pertama [1] menggunakan air dan daun sidr ( berupa daun yang kesat ) (kalau tidak ada, maka sabun pun bisa), lalu pada basuhan terakhir berikan kapur barus (atau jenis harum-haruman). [2]

Penggunaan air kapur barus ini termasuk dalam hitungan ganjil di atas, sehingga air kapur barus ini menggantikan posisi air daun bidara/air sabun. Dalilnya adalah hadits Ummu Athiyyah dimana Rasulullah SAW bersabda kepada para wanita yang memandikan jenazah putri beliau;

إِغْسِلْنَهَا ثَلَاثًا أَوْ خَمْسًا أَوْ أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ إِنْ رَاَيْتُّنَّ ذَلِكَ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ وَاجْعَلْنَ فِيْ الآخِرَةِ كَفُوْرًا أَوْ شَيْئًا مِنْ كَفُوْرٍ.

Artinya: “Mandikanlah ia tiga kali, lima kali, atau lebih dengan air dan bidara jika menurut kalian perlu.                    Dan jadikan (basuhan) terakhir dengan kapur barus atau sedikit dengannya.” 

15. Ikatan rambut mayyit dibuka apabila rambut mayyit panjang

16. Mengeringkan jenazah dengan handuk

17.Khusus wanita, rambutnya dikepang menjadi tiga lalu diletakkan dibelakangnya, Dari Ummu                     ‘Athiyah, ia berkata;

فَضَفَرْنَا شَعْرَهَا ثَلَاثَةَ قُرُوْنٍ وَأَلْقَيْنَاهَا خَلْفَهَا

[1] Disunahkan basuhan pertama dengan daun bidara, basuhan kedua menghilangkan daun bidara                 tersebut, dan basuhan ketiga dengan air bersih yang diberi sedikit kapur barus yang sekiranya tidak         sampai merubah air. Ketiga basuhan ini dianggap sebagai satu kali basuhan dan disunahkan                     mengulanginya dua kali lagi seperti basuhan-basuhan tersebut.

[2] Catatan; kalau ada orang yang meninggal orang yang sedang ihram haji, maka tidak boleh                     diberikan sabun dan wangi-wangian.

Artinya:”Maka kami jalin rambut (jenazah Zainab i menjadi) tiga kepang dan kami julurkan ke belakang.

18. Menyisir rambut mayyit.

C. Hal-hal yang Diperhatikan dalam Memandikan Jenazah

1. Apabila mayyit adalah perempuan yang bersuami, maka yang paling berhak memandikannya adalah           suaminya, berdasarkan nabi kepada ‘Aisyah: “Kalau Seandainya kau meninggal sebelum aku, maka           akulah yang memandikanmu dan mengkafanimu” (H.R Al- Baihaqi dan daruquthni). Begitu juga           ketika putri nabi yang bernama Fatimah wafat, yang memandikannya adalah suaminya (Ali bin Abi           Thalib).

Dan juga di antara dalil tentang bolehnya seorang suami memandikan jenazah isterinya adalah hadits yang diriwayatkan dari Aisyah  ia berkata, Rasulullah saw bersabda kepadanya;

لَوْمُتِّ قَبْلِيْ فَغَسَّلْتُكِ

Artinya : Jika engkau meninggal sebelumku, maka aku akan memandikanmu.” [1]

2. Jika yang meninggal suami, maka yang paling berhak  memandikannya ialah istrinya berdasarkan ijma’ (kesepakatan) ulama sesuai dengan perkataan ‘Aisyah bahwa kalau bukan karena wasiat dari nabi saw agar beliau  jika wafat dimandikan oleh Ali, maka yang paling berhak memandikan nabi saw adalah  istri-istrinya (H.R An-Nasa’I dan Ibnu Hibban).

Adapun dalil yang membolehkan seorang isteri memandikan jenazah suaminya adalah hadits yang diriwayatkan dari Aisyah, ia berkata:

لَوْ كُنْتُ اسْتَقْبَلْتُ مِنْ أَمْرِيْ مَا اسْتَدْبَرْتُ مَا غَسَّلَ النَّبِيَ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَيْرُ نِسَائِهِ

Artinya: “Seandainya pendapatku ini dahulu terlintas di benakku, maka sungguh dahulu tidak ada yang memandikan (jenazah) Nabi SAW kecuali isterinya.”[2]

3. Apabila mayyit ketika meninggal tidak mempunyai suami/istri maka yang berhak memandikannya, jika mayyit perempuan, maka yang memandikannya adalah perempuan dan jika laki-laki, maka yang memandikannya juga laki-laki.

4. Yang paling berhak memandikan mayyit selain suami/istri adalah anak laki-lakinya terus berikutnya berdasarkan kedekatan dari hubungan nasab atau kerabat.

5. Laki-laki dan wanita diperbolehkan untuk memandikan jenazah anak-anak laki-laki maupun     perempuan yang berusia tujuh tahun atau usia yang di bawahnya. Ini adalah pendapat Syaikh Muhammad bin Ibrahim At-Tuwaijiri [3].

6. Apabila mayyit perempuan, lalu tidak ada keluarga juga tidak ada perempuan di daerah tersebut, maka mayyit tersebut ditayammumkan, juga sebaliknya. Maksudnya adalah apabila



[1] HR. Ahmad, lafazh ini miliknya dan Ibnu Majah : 1465. Hadits ini Shahih li Ghairihi.

[2] HR. Ibnu Majah : 1464.

[3] Lihat Ensiklopedi Fiqih Islam tentang Bab Jenajah hal. 542

seorang laki-laki meninggal ditengah-tengah kaum wanita (yang tidak ada laki-lakinya) atau seorang wanita yang meninggal ditengah-tengah kaum laki-laki (yang tidak ada wanitanya), maka cukup ditayammumkan dan tidak dimandikan. Sebagaimana diriwayatkan dari Sinan bin Gharfah, dari Nabi saw

فِيْ الرَّجَالِ يَمُوْتُ مَعَ النِّسَاءِ وَالْمَرْأَةُ تَمُوْتُ مَعَ الرِّجَالِ لَيْسَ لِوَاحِدٍ مِنْهُمَا مَحْرَامًا يُتَيَمَّمَانِ بِالصَّعِيْدِ وَلَا يَغْسِلَانِ

Artinya:”Tentang laki-laki yang meninggal di tengah-tengah kaum wanita dan wanita yang meninggal ditengah-tengah kaum laki-laki, sementara tidak ada mahram bagi mereka berdua. (Beliau bersabda),”Keduanya ditayammumkan dan tidak dimandikan." [1]

 

7. Jika yang memandikan mayyit melihat hal-hal aneh yang betrsifat buruk pada mayyit ketika dimandikan, maka haram baginya untuk menceritakan hal tersebut kepada orang lain, berdasarkan sabda nabi saw yang diriwayatkan dari Abu Rafi, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda;

مَنْ غَسَلَ مُسْلِمًا فَكَتَمَ عَلَيْهِ غَفَرَ اللهُ لَهُ أَرْبَعِيْنَ مَرَّةً

Artinya “Barang siapa yang memandikan mayyit lalu ia sembunyikan apa-apa yang ada pada mayyit (kejelekan) maka diampuni dosanya empat puluh kali” (HR. Al-Baihaqi) [2].

8. Yang memandikan mayyit melihat sesuatu yang baik, maka disunnahkan untuk menceritakannya.

9. Diharamkan memandikan orang Islam yang mati syahid dalam peperangan membela agama Islam, karena darahnya nanti akan bersaksi di hari kiamat dan akan lebih wangi dari minyak kasturi (misk), maka itu nabi saw tidak memandikan para syuhada perang Uhud (H.R Bukhari).

10. Diharamkan memberi wangi-wangian kepada mayyit yang meninggal dalam keadaan ihram haji, karena walaupun ia meninggal, statusnya masih ihram haji. Kepalanya juga tidak boleh ditutup, karena nanti dia dibangkitkan dalam keadfaan bertalbiyah, berdasarkan H.R Jamaah.

11. Apabila tidak ada air yang dapat digunakan untuk memandikan jenazah, maka jenazah cukup ditayamumkan. Hal ini berdasarkan keumuman sabda Rasulullah SAW tentang tayamum sebagai pengganti bersuci ketika tidak ada air. Sabda beliau;

وَجُعِلَتْ تُرْبَتُهَا لَنَا طَهُوْرًا إَذَا لَمْ نَجِدِ الْمَاءَ

Artinya:”Dan dijadikan debu untuk kami sebagai alat bersuci, jika kami tidak mendapatkan air.”[3]



[1] HR. Baihaqi Juz 3 : 6461.

[2] HR. Baihaqi Juz 3 : 6447, lafazh ini miliknya dan Hakim Juz 1 : 1307. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Ahkamul Janaiz.

[3] Muttafaq ‘alaih. HR. Bukhari Juz 1 : 328 dan Muslim Juz 1 : 521

Caranya mentayammumkan jenazah adalah; seorang yang akan mentayammumkan jenazah memukulkan kedua telapak tangannya ke tanah, kemudian meniup debu atau tanah yang ada ditangannya tersbut, lalu mengusapkannya ke wajah jenazah dan kedua telapak tangan jenazah.

12. Apabila jenazah telah dimakamkan tetapi Ia belum dimandikan dan tidak ditayammumkan, maka wajib untuk dibongkar kuburnya, selama diperkirakan jasadnya belum membusuk. Ini adalah pendapat jumhur ulama; Malik, Asy-Syafii, Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Hazm. Dan diperbolehkan mengeluarkan jenazah dari kuburnya untuk suatu tujuan yang dibenarkan menurut syari’at. Sebagaimana hadits Jabir, Ia berkata;

اَتَى النَّبِيُ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَبْرَ عَبْدِ اللهِ بْنِ أُبَيْ فَأَخْرَجَهُ مِنْ قَبْرِهِ فَوَضَعَهُ عَلَى رُكْبَتَيْهِ وَنَفَثَ عَلَيْهِ مِنْ رِيْقِهِ وَ أَلْبَسَهُ قَمِيْصُهُ

Artinya: ”Nabi SAW mendatangi kuburan ‘Abdullah bin Ubay, lalu beliau mengeluarkannya dari kuburnya. Kemudian meletakkannya di atas kedua lututnya, lalu beliau menghembuskan air liur beliau dan memakaikan gamis beliau kepadanya.”[1]

13. Apabila seorang wanita keguguran kandungannya setelah janinnya berusia empat bulan (120 hari), maka janin tersebut dimandikan dan dishalatkan. Namun jika janin tersebut belum sampai berusia empat bulan, maka ia tidak dimandikan dan tidak dishalatkan (ia seperti halnya benda mati lainnya). Hal ini karena setelah empat bulan telah ditiupkan ruh ke dalam janin tersebut, sehingga ia disebut sebagai satu jiwa. Sebagaimana diriwayatkan dari „Abdullah bin Masud, ia berkata, telah mengabarkan kepadaku Rasulullah SAW, dan beliau adalah orang yang benar dan dibenarkan;

إِنَّ اَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِيْ بَطْنِيْ أُمِّهِ أَرْبَعِيْنَ يَوْمًا نُطْفَةً, ثُمَّ يَكُوْنُ عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ, ثُمَّ يَكُوْنُ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ, ثُمَّ يُرْسَلُ إِلَيْهِ الْمَلَكُ فَيَنْفُخُ فِيْهِ الرُّوْحَ, وَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ: بِكَتْبِ رِزْقِهِ وَأَجَلِهِ وَعَمَلِهِ وَشَقِيٌّ أَوْسَعِيْدٌ  

Artinya: “Sesungguhnya tiap-tiap kalian dikumpulkan penciptaannya dalam rahim ibunya selama empat puluh hari berupa nutfah, kemudian menjadi segumpal darah selama itu juga, lalu menjadi segumpa daging selama itu juga, kemudian diutuslah malaikat untuk meniupkan ruh kepadanya, lalu diperintahkan untuk menuliskan empat kalimat; rizkinya, ajalnya, amalnya, dan celaka atau bahagianya.” [2]

14. Janin yang gugur setelah berusia empat bulan disyariatkan untuk diberi nama. Karena pada Hari Kiamat kelak ia akan dipanggil dengan namanya. Ini adalah pendapat Syaikh Abdurrahman bin Abdullah Al-Ghaits.



[1] HR. Muslim Juz 4 : 2773.

[2] HR. Bukhari Juz 3 : 3154 dan Muslim Juz 4 : 2643.

15. Apabila ada jenazah tanpa identitas, maka dilihat zhahir tanda-tanda keislamannya (seperti; khitan, menggunakan pakaian Muslim, meninggal di negeri muslim, dan semisalnya). Jika nampak tanda keislamannya, maka jenazah tersebut dimandikan dan dishalatkan. Namun jika tidak ada tanda keislaman, maka jenazah tersebut tidak dimandikan dan tidak dishalatkan [1]

16. Seorang yang mati syahid selain dalam medan peperangan, maka jenazahnya tetap dimandikan dan dishalatkan seperti jenazah-jenazah lainnya. Ini adalah pendapat jumhur ‘ulama. Syahid selain dalam medan peperangan adalah seperti yang disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah Ia berkata, Rasulullah SAW bersabda;

Artinya:”Menurut kalian, siapa orang-orang yang mati syahid itu?” Para sahabat menjawab, ”Orang-orang yang terbunuh di jalan Allah, itulah syahid.” Rasulullah SAW bersabda,”Kalau begitu, orang-orang yang mati syahid dari kalangan umatku sangatlah sedikit.” Para sahabat bertanya, ” Lalu siapa, wahai Rasulullah?” Rasulullah SAW menjawab,”Barangsiapa terbunuh (karena) berperang di jalan Allah, maka ia adalah syahid. Barangsiapa yang meninggal di jalan Allah, maka ia adalah syahid. Barangsiapa meninggal karena penyakit thaun (kusta), maka ia adalah syahid. Barangsiapa meninggal karena sakit perut, maka ia adalah syahid.” Ibnu Muqsim 5 berkata, ”Aku bersaksi atas bapakmu (Abu Shalih) bahwa beliau (juga) bersabda, ”Dan orang yang tenggelam (juga) syahid.” [2]

17. Dianjurkan bagi seorang yang telah memandikan jenazah untuk mandi. Ini adalah pendapat Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani. Sebagaimana diriwayatkan Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda;

مَنْ غَسَّلَ مَيْتًا فَلْيَغْتَسِلْ

Artinya : “Barangsiapa yang memandikan jenazah, maka hendaklah ia mandi.” [3]

 

MENGKAFANI JENAZAH

A.  Kadar minimal pada Kain Kafan

Minimal kain kafan itu adalah baju atau kain yang menutup seluruh badan mayyit. Ini semua kalau keadaan mendesak atau mayyit tidak mempunyai harta warisan untuk membeli kain kafan dan tidak ada orang yang membantu.

B.  Kadar Sempurna pada Kain Kafan

Kain Kafan memenuhi standar kesempurnaan adalah



[1] Lihat Ensiklopedi Fiqih Islam tentang Bab Jenajah hal. 545

[2] HR. Muslim Juz 3 : 1915.

[3] HR. Tirmidzi Juz 3 : 993, Abu Dawud : 3161, dan Ibnu Majah : 1463, lafazh ini miliknya. 

     Hadits ini di shahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Irwa‟ul Ghalil : 144.

1.   Hendaknya menggunakan kain kafan yang berwarna putih para ulama bersepakat atas disunnahkannya menggunakan kain kafan yang berwarna putih. Hal ini sebagaimana diriwayatkan dari Ibnu Abbas Ia berkata, Rasulullah SAW bersabda;

إِلْبَسُوْا مِنْ ثِيَابِكُمُ الْبَيَاضَ فَإِنَّهَا مِنْ خَيْرِ ثِيَابِكُمْ, وَكَفِّنُوْا فِيْهَا مَوْتاَكُمْ

Artinya: Pakailah pakaian berwarna putih, karena itu adalah sebaik-baik pakaian untuk kalian. Dan kafanilah jenazah-jenazah kalian dengannya.“ [1]

2. Bagus dan suci [2]

3. Kain kafan diberi wangi-wangian atau diasapkan dengan asap yang wangi, apabila kapan diasapkan maka disunnahkan sampai tiga kali [3]

4. Untuk Laki-laki dengan tiga lembar kain dan untuk wanita hendaknya menggunakan lima lembar kain. Sebagaimana hadist yang diriwayatkan dari Aisyah Ia berkata;

أَنَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمّ كُفِّنَ فِيْ ثَلَاثَةِ أَثْوَابٍ يَمَانِيَّةٍ بِيْضٍ سَحُوْلِيَّةٍ لَيْسَ فِيْهِنَّ قَمِيْصٌ وَلَا عِمَامَةٌ

Artinya:”Sesungguhnya Rasulullah a dikafani dengan tiga kain Yaman yang putih dari Sahuliyah tanpa baju dan surban.” [4]

Berkata Ibnul Mundzir;”Kebanyakan ulama yang kami hafal ucapannya berpendapat bahwa seorang wanita dikafani dengan lima lembar kain. Hal ini dianjurkan kerena wanita dilebihkan dari kaum laki-laki sewaktu hidupnya dalam hal menutup aurat, karena auratnya lebih banyak daripada aurat laki-laki, demikian pula setelah wafatnya.” [5]

5. Maksudnya adalah untuk perempuan menggunakan lima lapis kain kafan atau dua lapis kain kafan ditambah dengan sarung yang menutupi dari dada ke lutut dan ditambah baju gamis yang menutupi seluruh badannya juga jilbab, berdasarkan riwayat dari Ummu ‘Athiyyah

6. Kain kafan bukan yang terlalu mahal [6].

C.   Tata Cara Memakaikan Kain Kafan

1. Hamparkan selembar tikar di atas lantai lalu bentangkan empat untas tali di atasnya. Kira-kira letaknya di tempat kepala, tangan, lutut dan mata kaki jenazah.

2. Hamparkan di atas tikar tersebut kain kafan yang sudah disiapkan sehelai demi sehelai dan setiap helainya diberi wangi-wangian semisal kamper atau minyak wangi



[1] HR. Abu Dawud : 3878, Tirmidzi Juz 3 : 994, Ibnu Majah : 1472, dan Ahmad.

[2] H.R Ibnu Majahdan At-turmudzi

[3] H.R Ahmad dan Al-Hakim

[4] Muttafaq ‟alaih. HR. Bukhari Juz 1 : 1214, lafazh ini miliknya dan Muslim Juz 2 : 941.

[5] Al-Mughni, 2/470.

[6] H.R Abu Dawud

3. Jenazah hendaknya diberi kapur barus halus, kemudian diletakkan di atas hamparan kain kafan yang             telah tersedia.

4. Tempelkan kapas secukupnya pada bagian muka jenazah, pusarnya, kelaminnya dan duburnya.

5. Setelah itu seluruh tubuh mayyit dibalut dengan kain kafan, lalu diikat dengan empat utas tali yang             sudah disiapkan dibagian kepala, tangan lutut dan mata kaki.

6. Ada pendapat yang menyunnahkan pada kain kafan lapisan yang ketiga itu ada garis-garisnya,                     Diriwayatkan dari Jabir Ia berkata, aku mendengar Rasulullah SAW bersabda;

إِذَا تُوُفِّيَ اَحَدُكُمْ فَوَجَدَ شَيْئًا فَلْيُكَفَّنْ فِيْ ثَوْبٍ حِبَرَةٍ

Artinya: “Jika salah seorang di antara kalian meninggal dunia dan ia adalah orang yang mampu, hendaklah ia dikafani dengan (kain) yang bergaris. [1]

Catatan:

1, Khusus yang meninggal dalam keadaan ihram haji, maka jangan ditutupi kepalanya, kalau ia laki-laki. Adapun kalau perempuan maka jangan ditutupi wajahnya.

Apabila jenazah yang meninggal tersebut adalah seorang yang sedang ihram, maka dikafani dengan pakaian ihramnya dan tidak ditutup kepalanya. Sebagaimana diriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata; yang artinya:”Ada seorang laki-laki yang wukuf di Arafah. Tiba-tiba ia terjatuh dari kendaraannya hingga patah tulang lehernya. Maka Nabi saw bersabda, “Mandikanlah ia dengan air daun bidara, kafanilah ia dengan kedua pakaian (ihram) nya, dan janganlah kalian mengawetkannya dan janganlah menutup kepalanya. Karena sesungguhnya ia akan membangkitkannya pada Hari Kiamat dalam keadaan bertalbiyah.” [2]

2. Biaya pembelian kafan diambilkan dari harta jenazah sebelum dibayarkan hutang dan dilaksanakan wasiatnya. Jika jenazah tidak memiliki harta yang dapat digunakan untuk membeli kain kafan, maka biaya pembelian kain kafan ditanggung oleh orang yang menafkahi jenazah tersebut (seperti; suaminya, orangtuanya, anaknya, dan semisalnya). Hal ini merupakan kesepakatan para ulama. Jika tidak ada, maka biaya pembelian kain kafan diambilkan dari Baitul Mal. Jika Baitul Mal tidak ada, maka imam menarik sumbangan dari orangorang yang berkelapangan dan orang-orang yang dipandang memiliki harta. Ini adalah pendapat Syaikh Abu Malik Kamal. [3]

3. Dianjurkan untuk mengkafani para syuhada dengan pakaian yang mereka pakai saat terbunuh. Ini             merupakan kesepakatan para ulama. Hal ini sebagaimana hadits dari Abdullah bin Tsalabah bin Shair;

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يَوْمَ اُحُدٍ زَمِّلُوْهُمْ فِيْ ثِيَابِهِمْ



[1] HR. Abu Dawud : 3150. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani 5 dalam Shahihul Jami’ : 455.

[2] HR. Bukhari Juz 1 : 1206

[3] Lihat Ensiklopedi Fiqih Islam tentang Bab Jenajah hal. 551

Artinya: “Sesungguhnya Rasulullah saw bersabda pada Hari (Perang) Uhud, “Selimutilah mereka dengan pakaian (perang) mereka.”

Namun pakaian yang tidak biasa dipakai manusia (seperti; baju besi, tembaga, dan semisalnya), maka dilepaskan. Ini adalah pendapat mayoritas ulama.

4. Diperbolehkan seorang menyiapkan kain kafannya sebelum meninggal dunia. Sebagaimana dikisahkan    dari Sahl bin Saad As-Saidi, tentang seorang yang meminta kain burdah yang sedang dipakai oleh           Rasulullah saw, orang tersebut mengatakan;

إِنِّيْ وَاللهِ مَا سَأَلْتُهُ لِأَلْبَسَهَا إِنَّمَا سَأَلْتُهُ لِتَكُوْنَ كَفَنِيْ قَالَ سَهْلٌ فَكَانَتْ كَفَنَهُ

Artinya:”Sesungguhnya Demi Allah, aku tidak memintanya untuk aku pakai. Aku memintanya untuk aku jadikan sebagai kafanku. Sahl berkata, (Kain) itulah yang menjadi kafannya.” [1]

5. Apabila setelah dikafani ternyata keluar najis dari tubuh jenazah, maka tidak perlu dimandikan kembali,     karena hal tersebut menyulitkan.[2] 

SHALAT JENAZAH

Seorang yang menshalatkan jenazah dijanjikan dengan pahala yang sangat besar, yaitu akan mendapatkan pahala sebesar gunung Uhud. Hal ini sebagaimana diriwayatkan dari Tsauban, sesungguhnya Rasulullah saw bersabda;

مَنْ صَلَّى عَلىَ جَنَازَةٍ فَلَهُ قِرَاطٌ فَإِنْ شَهِدَ دَفْنُهَا فَلَهُ قِيْرَاطَانِ اَلْقِرَاطُ مِثْلَ أُحُدٍ.

Artinya: “Barangsiapa yang menshalatkan jenazah, maka baginya pahala satu qirath. Dan jika ia menyaksikan pemakamannya, maka baginya pahala dua qirath. Satu qirath seperti satu (gunung) Uhud.

A. Orang Yang Haram Dishalatkan

1. Orang kafir atau murtad

2. Orang Islam yang mati syahid karena perang membela agama Allah (sebagaimana nabi saw tidak               menshalatkan para syuhada uhud dalam hadits riwayat Bukhari). Adapun hikmahnya karena dosa mereka    langsung diampuni.

3. Anak yang meninggal dalam kandungan, kecuali kalau ketika lahir bayi tersebut masih bergerak-gerak atau menangis atau meninggal, maka tetap dishalatkan (sebagaimana sabda nabi saw dalam hadits riwarat At-Turmudzi dan Ibnu Majah: {“ Seorang bayi itu jika meninggal tidak dishalatkan, tidak mewariskan sampai dia bergerak-gerak”}. Maksudnya menunjukkan kehidupan walaupun sebentar). Ini adalah pendapat mayoritas ulama termasuk Imam Syafi’i. Adapun menurut Imam Ahmad, bayi yang lahir dalam keadaan yang meninggal, hukumnya tetap dishalatkan, karena bayi tersebut ketika empat bulan di dalam kandungan ia telah ditiupkan ruh.



[1] HR. Bukhari Juz 1 : 1218, lafazh ini miliknya dan Ibnu Majah : 3555.

[2] Lihat Ensiklopedi Fiqih Islam tentang Bab Jenajah hal. 549

B. Syarat-syarat Shalat Jenazah

1. Orang yang menshalatkan adalah orang Islam, aqil, baligh, suci dari dua hadats, suci dari hadast di             badan pakaian dan tempat juga menutup aurat dan menghadap kiblat, seperti syarat shalat.

2. Shalat jenazah syah dilakukan apabila mayyit sudah dimandikan

3. Mayyit diletakkan di depan imam, hingga salah satu bagian dari badan mayyit sejajar dengan imam

C. Tempat Shalat Jenazah

Disunnahkan untuk melaksanakan Shalat Jenazah di mushalla, yaitu tempat khusus untuk Shalat Jenazah. Karena kebanyakan Shalat Jenazah yang dilakukan oleh Rasulullah SAW adalah di mushalla. Diriwayatkan dari Abu Hurairah;

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَعَى النَّجَاشِيَّ فِي اْليَوْمِ الَّذِيْ مَاتَ فِيْهِ خَرَجَ إِلَى الْمُصَلَّى فَصَفَّ بِهِمْ وَكَبَّرَ أَرْبَعًا

Artinya: “Sesungguhnya Rasulullah SAW menyiarkan kematian (Raja) Najasyi pada hari kematiannya, beliau keluar menuju ke mushalla (tempat khusus untuk shalat jenazah), bershaf bersama mereka (para sahabat), dan (melakukan Shalat Jenazah dengan) empat takbir.” [1]

Namun jika dilakukan di dalam masjid, maka hal tersebut juga diperbolehkan. Ini adalah pendapat madzhab Hanabilah. Sebagaimana diriwayatkan dari Aisyah ia berkata;

وَ اللهِ لَقَدْ صَلَّى رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى ابْنَيْ بَيْضَاءَ فِى الْمَسْجِدِ

Artinya: “Demi Allah, sungguh Rasulullah SAW (pernah) menshalatkan (jenazah) dua anak Baidha di dalam masjid.” [2]

D. Posisi Imam dalam Shalat Jenazah

Jika jenazahnya laki-laki, maka posisi berdirinya imam adalah sejajar dengan kepala jenazah. Dan jika jenazahnya wanita, maka posisi imam adalah sejajar dengan bagian tengah jenazah. Ini adalah pendapat Imam Asy-Syafii, Imam Ahmad, Ishaq, dan Asy-Syaukani. Diriwayatkan dari Abu Ghalib ia berkata yang artinya:

”Aku pernah Shalat (Jenazah) bersama Anas atas jenazah laki-laki, maka ia berdiri (mengimami shalat) disisi kepala jenazah. Kemudian didatangkan jenazah wanita dari kalangan Quraisy. Dikatakan kepadanya, ”Wahai Abu Hamzah, shalatkanlah ia.” Maka ia berdiri (mengimami shalat) pada bagian tengah tempat tidur (jenazah wanita tersebut). Al-‘Ala bin Ziyad bertanya kepadanya,”(Apakah) seperti ini engkau melihat posisi Nabi SAW berdiri untuk jenazah wanita dan posisi berdiri untuk jenazah laki-laki?” Anas menjawab, ”Ya.”



[1] Muttafaq „alaih. HR. Bukhari Juz 1 : 1188, lafazh ini miliknya dan Muslim Juz 2 : 951.

[2] HR. Muslim Juz 2 : 973.

Diriwayatkan pula dari Samurah ia berkata;

صَلَيْتُ وَرَاءَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلىَ اِمْرَأَةٍ مَاتَتْ فِي نِفَسِهَا, فَقَامَ عَلَيْهَا وَسَطَهَا

Artinya: ”Aku pernah shalat di belakang Nabi SAW (untuk menshalatkan) jenazah seorang wanita yang meninggal ketika melahirkan, lalu beliau berdiri (menghadap) bagian tengah (jenazah wanita tersebut).” [1]

E. Tata Cara Shalat Jenazah

1. Meletakkan Jenazah pada arah kiblat

2. Imam dan makmum berdiri dibelakangnya dengan membentuk tiga shaf atau lebih, dianjurkan bershaf dengan tiga shaf, walaupun jumlahnya sedikit. Sebagaimana diriwayatkan dari Malik bin Hubairah ia berkata, Rasulullah SAW bersabda;

مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَمُوْتُ فَيُصَلِّيْ عَلَيْهِ ثَلَاثَةُ صُفُوْفٍ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ إِلَّا اَوْجَبَ

Artinya : ”Tidaklah seorang muslim yang meninggal dunia lalu dishalatkan oleh tiga shaf dari kalangan kaum muslimin, melainkan wajib (baginya Surga).”

3. Niat; yang dimaksud dengan niat disini adalah ketika orang melakukan shalat jenazah, di dalam hatinya     ketika takbirratur ihram sadar bahwa ia sedang menshalatkan jenazah. Adapun melafazdkan niat,                menurut mahzab Imam Syafi’I hukumnya sunnah.

Lafazd yang bisa kita ucapkan salah satunya yaitu:

اُصَلِّيْ عَلَى هَذَا الْمَيِّتِ اَرْبَعَ تَكْبِيْرَاتِ فَرْض َكِفَايَةٍ لله ِتَعَالَى

Ushalli ‘ala hadzal mayyiti arba’a takbiraatin fardu kifayatin lillahi ta’aala 

Artinya: “ Niat aku menshalati atas jenazah ini dengan empat kali takbir fardhu kifayah karena allah ta ‘ala.

Catatan:

a. Kalimat di atas hanya contoh saja, adapun kalau ada lafadz yang lain, maka tidak masalah. 

    Yang penting ada niat untuk menshalatkan.

b. Kalimat “fardu kifayatin” tidak wajib dihadirkan di dalam hati, menurut mayoritas ulama Syafi’i [2]

c. Tidak wajib menyebutkan nama si mayyit, tetapi kalau disebutkan lalu salah, maka niatnya tidak sah [3]

d. Tidak wajib menghadirkan jumlah takbir dan lillahi ta ‘ala di dalam hati ketika niat.



[1] Muttafaq „alaih. HR. Bukhari Juz 1 : 1266, lafazh ini miliknya dan Muslim Juz 2 : 964.

[2] lihat kitab Minhajuth Thalibin, Imam Nawawi.

[3] lihat juga kitab Minhajut thalibin, Imam Nawawi.

e. Kalimat “mayyit “ bermakna orang yang meninggal, baik bagi lak-laki, perempuan anak kecil atau            dewasa.

f. Kalau jenazahnya banyak, maka lafazd niatnya:

اُصَلِّيْ عَلَى مَنْ حَضَرَ مِنْ اَمْوَاتِ الْمُسْلِمِيْنَ اَرْبَعَ تَكْبِيْرَاتٍ فَرْضَ كِفَايَةِ للهِ تَعَالَى

Artinya: “Niat aku menshalati atas orang-orang meninggal dari kaum muslimin empat takbir fardu kifayah karena Allah ta’la

g. Adapun bagi makmum, cukuplah melafazdkan niat

اُصَلِّيْ عَلَى مَنْ صَلَّى عَلَيْهِ الْاِمَامِ اَرْبَعَ تَكْبِيْرَاتٍ فَرْضَ كِفَايَةٍ مَأمُوْمًا للهِ تَعَالَى

Artinya: sengaja aku menshalati atas yang dishalati imam empat takbir sebagai ma’mum fardu kifayah karena Allah

h. Adapun kalau jenazahnya 2 orang maka bisa menggunakan lafazd niat di atas (jenazah banyak) atau             dengan kalimat.

اُصَلِّيْ عَلَى هَذَ يْنِ الْمَيِّتَيْنِ اَرْبَعَ تَكْبِيْرَاتٍ فَرْضَ كِفَايَةٍ للهِ تَعَالَى

Artinya: “Niat Aku menshalati atas dua mayyit ini empat takbir sebagai ma’mum fardu kifayah                                   karena  Allah ta’ala”

4. Berdiri bagi yang mampu

5. Empat kali takbir

Shalat Jenazah dilakukan dengan empat kali takbir adalah pendapat yang dipilih oleh Umar bin Khatthab, Ibnu ‟ Umar, Zait bin Tsabit, Al-Hasan bin Ali, Ibnu Abi Aufa, Al-Barra bin Azib, Abu Hurairah, Ibnu Amr. Pendapat ini yang juga dipilih oleh Atha’, Sufyan Ats-Tsauri, Al-Auzai, Ahmad, Ishaq, Malik, Abdullah bin Mubarak, dan Imam Asy-Syafii. Di antara dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah ;

أَنَّ  رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَعَى النَّجَشِيْ فِيْ الْيَوْم الَّذِيْ مَاتَ فِيْهِ خَرَجَ إِلَى الْمُصَلَّى فَصَفَّ بِهِمْ وَكَبَّرَ أَرْبَعًا

 

Artinya: ”Sesungguhnya Rasulullah SAW menyiarkan kematian (Raja) Najasyi pada hari kematiannya, beliau keluar menuju ke tempat Shalat Jenazah, bershaf bersama mereka (para sahabat), dan melakukan (Shalat Jenazah dengan) empat kali takbir.”  

Catatan: “boleh saja menambah takbir lebih dari empat kali, karena ada riwayat yang menyebutkan                          nabi SAW takbir sampai lima kali, enam kali bahkan sampai Sembilan kali [1]

4. Membaca surat al-fatihah sesudah takbir pertama (takbiratul ihram)

    Hal ini berdasarkan hadits dari Ubadah bin Shamit bahwa Rasulullah SAW bersabda;



[1] H.R At-Thahawi

لَا صَلاَةَ لِمَنْ لَم ْيَقْرَأ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ

Artinya: ”Tidak sah shalat seseorang yang tidak membaca Al-Fatihah

Surat Al-fatihah:

بسم اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ . الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ . الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيم . مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ . إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ . اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ . صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَاالضَّالِّينَ

Artinya: "Dengan nama Allah yang maha pengasih, maha penyayang. Segala puji bagi Allah, tuhan seluruh alam, yang maha pengasih, maha penyayang, pemilik hari pembalasan. Hanya kepada engkaulah kami menyembah dan hanya kepada engkaulah kami mohon pertolongan. Tunjukilah kami jalan yang lurus (yaitu) jalan orang-orang yang telah engkau beri nikmat kepadanya, bukan (jalan) mereka yang dimurkai, dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.
5. Membaca shalawat kepada nabi saw setelah takbir kedua.

Shalawat yang dibaca dalam Shalat Jenazah yang paling afdhal adalah Shalawat Ibrahimiyah. Hal ini berdasarkan hadits dari Abu Umamah bin Sahl bahwa seorang laki-laki dari sahabat Nabi SAW menceritakan kepadanya;

أَنَّ السُّنَّةَ فِيْ الصَّلَاةِ عَلَى الْجَنَازَةِ أَنْ يُكَبِّرَ اْلِامَامِ ثُمَّ يَقْرَأُ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ بَعْدَ التَّكْبِرَةِ الْأُوْلَى سِرًّا فِيْ نَفْسِهِ ثُمَّ يُصَّلِيْ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَ يَخْلُصُ الدُّعَاءَ لِلْجَنَازَةِ فِيْ التَّكْبِيْرَاتِ لَا يَقْرَأُ  فِيْ شَيْءٍ مِنْهُنَّ ثُمَّ يُسَلمُ سرا في نفسه.

Artinya: “(Termasuk tuntunan) Sunnah dalam Shalat Jenazah (adalah) imam bertakbir, kemudian membaca Al-Fatihah secara sirr (pelan) setelah takbir pertama. Kemudian membaca shalawat atas Nabi a. Dan mengikhlaskan doa kepada janazah pada takbir-takbir (yang tersisa), tanpa membaca sesuatu pun (ayat Al-Quran) pada takbir-takbir (yang tersisa) tersebut. Lalu mengucapkan salam secara sirr (pelan).”

Membaca shalawat bisa dengan shalawat yang pendek missal:

 اللّـٰهُمَّ صَلِّ عَلٰى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ

Atau shalawat ibrahimmiyah, yaitu:

.اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلىَ آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَماَ صَلَّيْتَ عَلىَ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلىَ آلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَباَرِكْ عَلىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلىَ آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَماَ باَرَكْتَ عَلى سَيِّدِنَا َ إِبْرَاهِيْمَ وَعَلىَ آلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ إِنـَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ

Artinya:”Ya Allah, limpahkanlah shalawat kepada Muhammad dan kepada keluarga Muhammad sebagaimana Engkau melimpahkan shalawat kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Mulia. Ya Allah, limpahkanlah keberkahan kepada Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau melimpahkan keberkahan kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Mulia.”

6. Berdoa untuk jenazah setelah takbir yang ketiga, dengan do’a yang dicontohkan oleh nabi saw,

    Diriwayatkan dari Abu Hurairah ia berkata, aku mendengar Rasulullah SAW bersabda;

إذا صليتم على الميت فأخلصوا له الدعاء

Artinya: ”Jika kalian Shalat Jenazah, maka ikhlaskan doa untuk ( jenazah ) nya.”

Para ulama telah bersepakat bahwa doa dalam Shalat Jenazah dilakukan dengan sirr ( pelan ). 

Di antara bacaan doa dalam Shalat Jenazah adalah :

Yang pendek:

اللّـٰهُمَّ اغْفِرْ لَهُ، وَارْحَمْهُ، وَعَافِهِ، وَاعْفُ عَنْهُ

a.       a. Yang panjang terdapat dalam hadits riwayat Muslim yang berbunyi:

للّـٰهُمَّ اغْفِرْ لَهُ، وَارْحَمْهُ، وَعَافِهِ وَاعْفُ عَنْهُ، وَأَكْرِمْ نُزُلَهُ، وَوَسِّعْ مَدْخَلَهُ، وَاغْسِلْهُ بِمَاءٍ وَثَلْجٍ وبَرَدٍ، وَنَقِّهِ مِنَ الخَطَايَا كَمَا يُنَقَّى الثَّوْبُ الأَبْيَضُ مِنَ الدَّنَسِ، وَأَبْدِلْهُ دَاراً خَيْراً مِنْ دَارِهِ، وَأَهْلاً خَيْراً مِنْ أَهْلِهِ، وَزَوْجاً خَيْراً مِنْ زَوْجِهِ، وَقِهِ فِتْنَةَ الْقَبْرِ وَعَذَابِ الناَّرِ

Allahummagh firlahu (ha) warhamhu (ha) wa’fuanhu (ha) wa’aafihi wa (ha) wa akrim nuzulahu (ha) wassi’ madkhalahu (ha) wagh silhu (ha) bimaain wa tsaljin wabarodin wanaqqihi (ha) minal khathaya kama yunaqqotsaubul abyadul minad danasi wa abdilhu (ha) daaran khairan min jaujihi (ha) wa qihi (ha) fitnatal wa ‘adzabannaar.

Artinya: “Ya Allah, ampunilah ia, kasihanilah, maafkanlah ia, selamatkanlah ia, hormatilah kedatangannya, luaskanlah tempat masuknya, bersihkanlah ia dengan air es dan air dingin. Bersihkanlah ia dari dosa, sebagaimana kain putih yang dibersihkan dari kotoran dan gantilah keluarganya dengan lebih baik dari keluarga sebelumnya dan peliharalah ia dari adzab kubur dan siksa neraka.

Catatan: Kata “ha” menunjukan pada perempuan, jadi kalau jenazahnya perempuan maka gantilah (hu) menjadi “ha“. Kalau jenazahnya lebih dari dua, maka kalau laki-laki gantilah dengan kata “hum”. Tetapi kalau perempuan, maka gantilah dengan kata “hunna”.

    b. Dalam hadits riwayat Ahmad dan Ashabus - Sunan

اللهم اغفر لحينا وميتنا, وصغيرنا وكبيرنا وذ كرنا وانثا نا وشا هد نا وغاءبنا, اللهم من احييته منا فاحيه على الاسلام, ومن توفيته منا فتو فه على الايمان, اللهم لا تحر منا اجره, ولا تضلنا بعده  

Artinya: “Ya Allah ampunilah bagi orang yang hidup diantara kami dan orang yang mati diantara kami, orang yang kecil kami, orang yang besar kami, laki-laki dari kami, perempuan dari kami dan yang hadir dari kami dan yang tidak hadir dari kami. Ya Allah, siapa yang telah Engkau hidupkan diantara kami, maka hidupkanlah dengan Islam dan siapa yang Kau wafatkan dari kami maka wafatkanlah ia atas keimanan. Ya Allah jangan kau haramkan (halangi) pahalanya dean jangan kau sesatkan kami setelahnya.

Catatan: Kalau jenazahnya anak kecil, maka doanya seperti di atas (bagian b) atau membaca doa ini     

                ( berdasarkan kitab Al-Adzkar, Imam An-Nawawi )

اللهم اجعله فرطا لابويه وسلفا وذخرا وعظة واعتبارا وشفيعا وثقل به موازينهما وافرغ الصبر على قلو بهما ولا تفتنهما بعده, ولاتحر مهما اجره

Artinya: “Ya Allah ia (anak yang wafat) sebagai pendahulu yang baik bagi kedua orang tuanya, juga sebagai simpanan (amal) sebagai nasehat dan pelajaran dan pemberi syafaat bagi orang tuanya dan jangan kau coba orang tuanya (dengan bencana dan maksiat) setelahnya (wafat) dan jangan Kau halangi keduanya dari pahalanya.”

7. Mengucapkan salam; boleh satu kali, boleh juga dua kali. Dianjurkan sebelum salam membaca do’a ini:

اللهم لا تحر منا اجره (ها) ولاتفتنا بعده (ها) واغفرلنا وله (ها) و لجميع المسلمين

Catatan: sebagian ulam Syafi’I menganjurkan membaca ayat ini sebelum salam:
الَّذِينَ يَحْمِلُونَ الْعَرْشَ وَمَنْ حَوْلَهُ يُسَبِّحُونَ بِحَمْدِ رَبِّهِمْ وَيُؤْمِنُونَ بِهِ وَيَسْتَغْفِرُونَ لِلَّذِينَ آَمَنُوا رَبَّنَا وَسِعْتَ كُلَّ شَيْءٍ رَحْمَةً وَعِلْمًا فَاغْفِرْ لِلَّذِينَ تَابُوا وَاتَّبَعُوا سَبِيلَكَ وَقِهِمْ عَذَابَ الْجَحِيمِ

Artinya: “(Malaikat-malaikat) yang memikul arsy dan malaikat yang berada di sekelilingnya bertasbih memuji Tuhannya dan mereka beriman kepada-Nya serta memintakan ampun bagi orang-orang yang beriman (seraya mengucapkan) “Ya Tuhan kami, rahmat dan ilmu Engkau meliputi segala sesuatu, maka berilah tuntunan kepada orang-orang yang bertaubat dan mengikuti jaln Engkau  dan peliharalah mereka dari siksaan neraka yang menyala-nyala”.[1]

D. Sunnah-Sunnah Shalat Jenazah

1.  Mengangkat tangan ketika takbiratul ihram dan takbir lainnya [2]

2. Tidak mengeraskan bacaan al-fatihah ( israr ) [3]

3. Shalat jenazah dilakukan secara berjamaah

4. Membaca ta ‘awudz

5. Tidak usah membaca doa iftitah ( menurut mayoritas mahzab Syafi ‘i )

6. Yang menjadi imam adalah anak laki-laki mayyit atau kerabatnya, dengan syarat mereka orang yang       mengerti tentang shalat jenazah, kecuali si mayyit berwasiat hendak dishalatkan dengan orang yang           dipilihnya

7. Imam Ibnu Hajar  berpendapat, disunnahkan menambahkan kata “wabarakatuhu” ketika salam.

8. Yang menshalati berjumlah tiga shaf [4]

9. Jumlah orang yang menshalatkan banyak (H.R Muslim)

10. Jenazah laki-laki diletakkan di depan Imam dengan posisi kepala jenazah menghadap ke Selatan  dan         kakinya menjulur lurus ke Utara. (inilah secara teori dalam mahzab Syafi ‘i tetapi pada pengalaman atau     prakteknya yang dilakukan kebanyakan orang menjadi terbalik, yaitu kepala jenazah menghadap ke            Utara dan kakinya menghadap ke Selatan)

11. Bila jenazah laki-laki, maka imam berdiri menghadap sejajar dengan kepala jenazah. Adapun jika jenazah perempuan maka imam berdiri menghadap sejajar dengan bagian tengahnya (pinggul) [5] jenazah anak laki-laki di belakang jenajah laki-laki dewasa, sedangkan jenazah anak perempuan di belakang jenazah perempuan dewasa

12. Jika jenazah banyak terdiri dari laki-laki dan wanita maka cara menshalatkannyan boleh sekaligus, dengan cara jenazah laki-laki diletakkan lebih dekat dengan imam, sedangkan jenazah perempuan lebih dekat ke arah kiblat [6]

13. Kalau bisa jangan menshalatkan jenazah pada waktu yang dimakruhkan, yaitu ketika matahari meninggi dan ketika istiwa (matahari berada di tengah dan ketika matahari akan terbenam sampai terbenam.[7]

E. Shalat Ghaib

Yang dimaksud denagan shalat ghaib adalah apabila jenazah yang akan kita shalatkan tidak berada di tempat kita, misalnya kita berada di Ketapang sedangkan mayyitnya berada di Pontianak, maka kita boleh shalat ghaib, berdasarkan hadits riwayat Jamaah bahwa nabi dan para sahabat menshalati raja Najasyi yang meninggal di Habasyah (Eutophia).



[1] Q.S Al-Ghafir: 07

[2] H.R Al-Baihaqi

[3] H.R An-Nasa’i

[4] HR Ahmad, Abu Dawud dan at-Turmudzi

[5] H.R Abu Dawud dan At Turmudzi

[6] H.R Al-Baihaqi dan An-Nasa ‘i

[7] H.R Muslim

Tetapi ada beberapa ketentuan yang perlu kita perhatikan dalam shalat ghaib ini, diantaranya

1.   Kita boleh menshalati jenazah setelah ia dimandikan

2.  Menurutt sebagian ulama mahzab Syafi‘i, ketika menghadirkan niat di dalam hati pada shalat ghaib, wajib menghadirkan nama jenazah di dalam hati. Tetapi kalau ia melafazdkan kalimat berikut dan menghadirkannya di dalam hati maka sudah cukup.

اصلي على من تجوز الصلاة عليه من اموات المسلمين

Adapun makmum cukuplah baginya mengucapkan niat seperti shalat jenazah:

اصلي على من صلى عليه الامام اربع تكبيرات فرض كفاية مأموما لله تعلى

Waktu-waktu yang dimakruhkan untuk menshalatkan jenazah, antara Lain:

    1. Ketika matahari terbit sampai meninggi (setinggi tombak)

    2. Ketika matahari berada tepat di atas kepala sampai tergelincir

    3. Ketika matahari akan terbenam sampai benar-benar terbenam

Hal ini sebagaimana diriwayatkan dari ‘Uqbah bin ‘Amir  ia berkata; yang artinya: ”Ada tiga saat yang Rasulullah a melarang kami melakukan Shalat (Jenazah) atau memakamkan orang yang meninggal dunia di antara kami. (Yaitu;) ketika matahari terbit sampai meninggi (setinggi tombak), ketika matahari berada tepat di atas kepala sampai tergelincir, dan ketika matahari akan terbenam sampai benar-benar terbenam.”

 

MEMBAWA JENAZAH

Hal-hal yang perlu diperhatikan ketika membawa mayyit ke kuburnya

1.  Berjalan sedikit cepat seperti yang nabi lakukan pada jenazah Sa ‘ad bin Mu ‘ad [1].

2. Mengikuti jenazah dari belakang lebih utama.

3. Mengantar jenazah dengan berjalan bukan dengan berkendaraan [2]

4. Dimakruhkan mengeraskan dzikir ketika membawa jenazah ( Berdasarkan riwayat dari para sahabat dan     tabi ‘in dimakruhkan juga mengangkat suara ) [3].

5. Tidak mengiringi jenazah dengan api [4], adapun membawa pelita atau lampu hukumnya boleh apabila     memerlukannya karena menguburkan jenazah pada malam hari [5]

6. Para penggiring jenazah dimakruhkan untuk duduk sebelum keranda jenazah diletakkan di kaki                kubur [6] kecuali apabila dia datang ke kuburan lebih awal tanpa mengiring mayyit, maka boleh-boleh      saja dia duduk.

7. Disunnahkan bagi yang sedang duduk lalu ada jenazah yang melintas di depannya, untuk berdiri sampai     jenazah itu lewat ( HR. Muslim ), sebagian ulama mensyaratkan disunnahkannya berdiri



[1] Lihat dalam kitab Tarikh imam Bukhari

[2]  H.R Baihaqi dan Abu Dawud.

[3] H.R Abu Dawud

[4] H.R Ibnu Majah

[5] H R. At-Turmudzi

[6] H R. Al-Hakim

kalau mayyit nya orang Islam. Sedangkan sebagian ulama lainnya tidak men syaratkannya, jadi walaupun jenazah orang kafir pun tetap disunnahkan berdiri (sebagaimana yang dilakukan sebagian sahabat nabi saw dalam riwayat Bukhari dan Muslim).

8. Perempuan boleh mengiringi jenazah, terutama jenazah keluarganya. Adapun hadits-hadits yang banyak meriwayatkan tentang pelarangan perempuan mengiringi jenazah, semua riwayatnya lemah, dan yang terkuat adalah perkataan Ummu “Athiyyah: “Kami (perempuan) dilarang oleh nabi saw mengiringi jenazah. Tetapi nabi saw tidak melarang kami secara tegas” (HR. BUkhari dan Muslim). Dalam mengomentari hadits ini, Imam Ibnu Hajar berkata: “ Lafazd hadits”nabi tidak melarang kami secara tegas ”, menunjukan bahwa larangan nabi tersebut hanya bersifat makruh saja, bukan mengharamkan. Hal ini didukung oleh hadits yang meriwayatkan bahwa Umar melihat seorang wanita menangis ikut mengiringi jenazah lalu ia membentaknya, maka nabi mencegah Umar dan menyuruh Umar untuk membiarkan perempuan tersebut (HR, Ibnu Kisan dengan sanad yang shahih).

MENGUBURKAN JENAZAH

A. Kadar Minimal Kubur

Paling minimal kuburan adalah berbentuk lobang yang bisa menjaga jenazah dari penciuman binatang buas dan bisa menutupi bau mayyit. [1]

B. Kadar Kesempurnaan Kubur

Disunnahkan mendalamkan kuburan [2], dalam mazhab syafi ‘I kadar kesempurnaan kuburan adalah jika kuburan digali sedalam ukuran orang yang berdiri sambil mengangkat tangannya [3].

C. Jenis Kuburan

1. Lahat: membuat lubang di bagian dasar di sisi kubur (dinding kubur) di sebelah kiblat

2. Syaq: membuat lubang di bagian tengah dari dasar lubang kubur

Catatan: untuk daerah yang tanahnya kuat, maka yang afdhal adalah” lahat”.  Adapun tanahnya basah,                     maka yang afdhal adalah “syaq”. Nabi dikuburkan dengan “lahat”, karena tanah Madinah keras.

D. Sunnah-Sunnah dalam Menguburkan

1. Tidak menguburkan jenazah pada malam hari kecuali terpaksa.

2. Tidak menguburkan jenazah pada waktu ketika matahari meninggi dan ketika peristiwa (matahari             berada di tenga-tenga) dan ketika matahari akan terbenam sampai terbenam [4]

3. Jenazah dimasukkan dari kaki kubur (maksudnya pinggir kuburan yang posisi kaki jenazah di                     bawahnya.[5]

4. Mendahulukan kepala jenazah pada saat memasukkannya ke dalam kubur.



[1] HR. At-Turmudzi dan An-Nasa ‘i

[2] HR, At-Turmudzi

[3] HR. Ibnu Abi Syaiban dan Ibnu Mundzir

[4] H R. Muslim.

[5] H R. Al-Baihaqi

5. Orang yang memasukkan jenazah berjumlah ganjil. Bisa tiga orang [1] ataupun lima orang.[2]

6. Jenajah dibaringkan di atas lambung kanannya dan wajah dan dadanya menghadap kiblat, lalu ditutup        lubang lahatnya dengan papan atau yang lainnya.

Catatan:  menurut mahzab Syafi ‘I, menghadapkan jenazah ke kiblat hukumnya wajib.

7. Disunnahkan yang memasukkan jenazah adalah keluarganya.

8. Ketika meletakkan mayyit, disunnahkan membaca:

بِسْمِ اللهِ وَعَلَى مِلَّةِ رَسُوْلُ الله

Artinya: “Dengan menyebut nama Allah dan atas agama Rasulullah” [3]

Atau membaca:

بِسْمِ اللهِ وَعَلَى سُنَّةِ رَسُوْلُ الله

Artinya: “Dengan menyebut nama Allah dan atas sunnah (jalan) Rasulullah [4]

9. Disunnahkan membuka ikatan yang ada pada kafan, lalu kain kafan yang menutupi mukanya dibuka         hingga wajahnya menyentuh tanah.

10. Setelah mayyit dimasukkan dan ditutupi papan, disunnahkan untuk menaburkan tanah tiga                    kali [5] Menurut mahzab Syafi ‘I, tanah ditaburkan di bagian arah letak kepala mayyit berdasarkan hadits     riwayat Al-Baihaqi.

Catatan: berkata Imam An-Nawawi dalam kitabnya Al-Adzkar “Menurut ulama-ulama mazhab Syafi‘I dianjurkan membaca pada taburan yang pertama dengan bacaan ini: منها خلقنا كم. Pada taburan kedua membaca: وفيها نعيد كم  pada taburan ketiga membaca: ومنها نخرجكم تارة اخرى

11. Kuburan setinggi satu jengkal [6], ini semua apabila takut kuburan tidak dapat ditandai, namun apabila       dapat ditandai, mak yang lebih afdhal adalah kuburan tersebut adalah rata, seperti makam nabi SAW.            [7]

12. Disunnahkan meletakkan batu atau yang lainnya di atas kubur sebagai tanda [8]

13. Selesai penguburan kemudian disunnahkan meyiramkan air di atasnya dengan air dingin atau air                  wewangian sambil berdo’a:

سقى الله ثراه وبرد الله مضجعه وجعل الله الجنة مثوه



[1] HR Ibnu Hibban

[2] HR. Abu Dawud

[3] HR. Abu Dawud

[4] HR. Abu Dawud

[5] HR. Ibnu Majah.

[6] HR. Al-Baihaqi

[7] HR. Abu Dawud

[8] HR. Abu Dawud

Imam Nawawi al-Bantani dalam kitab Nihayatuz zain menerangkan bahwa hukum menyiram kuburan dengan air dingin adalah sunnnah. Tindakan ini merupakan sebuah pengharapan (tafaul) agar kondisi mereka yang ada dalam kuburan tetap dingin.

14. Disunnahkan mendoakan jenazah di pinggir kuburnya dan memohonkan ampunan untuknya dan keteguhan imannya [1]

15. Disunnahkan membaca awal Surat Al-Baqarah dan akhirnya [2]

16. Disunnahkan tetap berada di atas kuburan, lama waktunya seperti orang menyenbelih unta dan membagi-bagikan daging-dagingnya (sesuai dengan wasiat sahabat nabi saw Amr bin Ash dalam riwatyat Muslim

Catatan: Adapun masalah mentalqinkan mayyit di atas kuburnya, menurut mahzab Syafi ‘I disunnahkan, walaupun haditsnya lemah, tetapi dikuatkan dengan hadits-hadits shahih yang lain [3]


والله أعلم


Referensi

 

1.  Al- Quran

2.  Abu Abdillah Muhammad bin Ismail Al-Bukhari (256 H), Al-Jami ‘us Shahih

3.  Abul Hasan Muslim bin Hajjaj An-Naisaburi (261 H), Al-Jami’us Shahih

4.  Ahmad bin Syu ‘aib At-Turmudzi (303 H) Sunan At-Turmudzi

5.  Ibnu Hajar Al-Asqalani (819 H) Fathul Bari

6.  Abu Jakaria Yahya An-Nawawi, Minhajuth Thalibiin

7.  Muhammad Al-Khatib Asy Sirbinii, Mughnil Muhtaaj

8.  Muhammad bin Abdullah Al-Jardani, Fathul Alaam

9.  Sayyid Sabiq, Fighus Sunnah



[1] HR Abu Dawud

[2] HR. Thabrani dan Al-Baihaqi

[3] lihat kitab Al-Adzkar, Imam An-Nawawi atau kitab fiqih Sunnah, Syayid Sabiq.


10.  Habib Ahmad bin Umar Asy Syathiri, Al-Yaqutunna Nafiis

11.  Hasan Ali As-Seqqaff, Shahih Syarhil ‘Aqidah Ath Thahawiyyah

12. Sulaeman Rasjid. H, 2010. Fiqih Islam, Penerbit: Sinar baru Algensindo Bandung 

13. Syayid Sabiq, fiqih Sunnah

14. Imam An-Nawawi, Al-Adzkar

13. Syekh Salim bin Sumair Al-Hadlrami, 2009 Safînatun Najâh, Penerbit: Darul Minhaj, Beirut

14. Syekh Nawawi, 2008. Kâsyifatus Sajâ Penerbit: Darul Kutub Islamiyah, Jakarta

Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, ( Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006 ).

Al-A’zami, Musthafa, Dirasat fi al-Hadits al-Nabawi, ( Beirut: Maktab Islami, 1980 ).

Ahmad Warson Munawir, Kamus Arab-Indonesia Al-Munawwir, ( Surabaya, Pustaka Progresif, 1997 ). 

Ensiklopedi Hukum Islam, ( Jakarta: Ichtiyar Baru Van Hoeve ).

Jejen Musfah, Rindu Kematian, ( Jakarta: Hikmah, 2004 ).

Abul Qosim Sulaiman bin Ahmad bin Ayyub bin Mutair Al-Lahkmy As-Syamy Al-Thabrani, Mu’jamul Ausath, ( Beirut Libanon: Darul Fikr, t.th ).

 

 

 

  

 

STAI ALMAARIF CIAMIS

STAI ALMAARIF CIAMIS

GALERI WISUDA KAMPUS