(Elaborasi
Konsep Qaul Menurut Jejak Tarbiyah Nubuwwah dalam Al-Qur’an)
Oleh : Mugni Muhit, S.Ag., M.Ag.
I. Pengantar
Pada tingkat umum, semua orang bisa serta
biasa berkomunikasi untuk mengutarakan maksud, menyampaikan gagasan dan
pendapat, atau menanggapi rangsangan dari lingkungannya yang rumit. Hal ini
terjadi karena ingin adanya “ketersambungan” dengan “yang lain” yakni yang di
luar dirinya. Berkomunikasi inilah yang menyambungkan seseorang dengan sesuatu
di luar dirinya itu. Ini dilakukan untuk tujuan yang tak terbatas, bisa untuk mencari reaksi, respons, interaksi dan
kepentingan lainnya, dan dapat juga untuk memberi informasi,
mempengaruhi, mengubah dan bahkan untuk mengendalikan.
Para komunikator ulung, orator yang
hebat, narator yang lihai atau tokoh yang dikenal luas dunia, semuanya
melakukan pembicaraan untuk maksud dan tujuan-tujuan tersebut. Mereka mengubah
dunia dengan komunikasi aktif. Di pasar, di semak, di ladang, di kota, di
perkampungan dan di dalam ruang-ruang, hingga di istana, dalam horizon semesta
ini, semua orang berkomunikasi (komunikasi interpersonal) dengan kata-kata dan
bahasanya, baik masa lalu, saat ini, atau bahkan nanti sekalipun. Dan nyaris
seluruh penghuni bumi inipun berkomunikasi untuk kebutuhan dan kepentingannnya,
dengan intens dan terus-menerus. Singkat kata, banyak hal didapat lantaran
kegiatan bicara.
Fakta bahwa manusia bicara dapat
diamati dan menjadi pelajaran.[1]
Secara fenomenologi dapat dilihat, bahwa setiap orang dalam pergaulannya tidak
bisa berdiam diri dan membisu. Interaksi dan pergaulan hidup menuntut orang
untuk bicara sebagai kebutuhan yang tak terhindarkan.[2] Di
setiap waktu, dan di semua tempat, berkomunikasi selalu menjadi kerja, amal
atau aktivitas umum. Dan aktivitas berkomunikasi tersaji di kawasan pergaulan
yang terbuka, dalam pelataran mondial
di semesta kehidupan, menyeruak hingga ke kedalaman kehidupan di
pelbagai dimensi dan sisi-sisinya yang luas.
Apakah dalam kancah pergaulan praktis,
teoretis, imajinatif ataukah kontemplatif, semuanya menggunakan pembicaraan
sebagai alatnya. Yang jelas, fakta ini menyingkapkan kesadaran bahwa berkomunikasi
tidak saja dengan sarana bahasa, angka-angka ataupun logika, tetapi juga
permenungan yang kedap suara, nihil angka-angka dan estetika. Lebih jauh dari
titik ini, perasaan, imajinasi dan intuisi dapat berkomunikasi dan menjelajahi
dimensi immaterial, merambah
alam-alam yang metafisikal, dan warna-warni ontologis
berkomunikasi menjadi potret eksistensial manusia itu sendiri.[3]
Di setiap sudut ruang dan waktu,
dengan mudah orang dapat berkomunikasi. Ia bisa berkomunikasi dengan bahasanya.
Ada yang bentuknya lisan, tulisan, isyarat dan bahkan permenungan. Tiga yang
disebut pertama merupakan jenis bicara lahir,
dan yang terakhir adalah jenis bicara batin.
Apapun jenisnya, berkomunikasi adalah realitas. Kenapa terjadi? Jawaban
dipercepatnya karena berkomunikasi menjadi kebutuhan eksistensial. Berkomunikasi,
nyata menjadi hajat yang tidak dapat dihindari. Di saat kebersamaan hingga
tatkala permenungan saat sendirian yang melintasi batasan pengertian umum.
Terhadap realitas ini, ternyata tidak bisa melewatkannya tanpa kritika. Jadi, pencermatan dan analisa
yang memadai terhadap berkomunikasi sebagai subjectmatter
dapat memberikan khazanah ilmu pengetahuan yang melimpah beserta utilitas
dan pragmatismenya yang positif.
II. Proposisi
Berkomunikasi adalah sebuah fitrah dan
kebebasan. Tetapi, berkomunikasi ada kaidah normatifnya. Karena tanpa kaidah, berkomunikasi
tidak akan mempunyai perspektif, ia akan absurd.
Untuk membangun perspektif dan menyusun struktur definitif konsep berkomunikasi,
maka bicara perlu memenuhi standar dan dibangun oleh rukunnya yang pasti sehingga berfaidah.
Konsep “berkomunikasi” dibangun oleh tiga rukun
yang harus dipenuhi. Orang yang berkomunikasi,
orang yang diajak bicara, dan isi atau materi pembicaraan yang disampaikan,
merupakan rukun berkomunikasi pada
tingkat umum. Bilamana rukun ini terpenuhi, berkomunikasi dapat dilaksanakan
dan memenuhi standar ketentuan (qaidah).
Selanjutnya bergandengan dengan qaidah itu, ada faidah. Faidah merupakan
kriteria khusus bagi sebuah komunikasi atau pembicaraan. Pembicara, orang yang
diajak bicara dan isi atau materi pembicaraan menjadi tidak semata-mata umum
jika faktor faidah ada.[4] Proposisi
ini muncul sehubungan memang ada premis logik yang konsekuensial dari rukun berkomunikasi perihal: “siapa orang yang berkomunikasinya, siapa orang
yang diajak bicaranya, dan materi pembicaraannya apa? Ini merupakan premis derivatif
dari batasan tentang rukun berkomunikasi.
Dan menurut disiplin paedagogi serta edukasi, entitas faidah,
dalam pengertian kebermaknaan, menjadi referensi dan sangat determinan. Di satu
sisi, “berkomunikasi” equals dengan “hadirnya makna”. Automacally, makna-makna disampaikan tiada lain hanyalah untuk
perubahan, pencerahan dan pencerdasan. Isinya adalah nilai (values), yaitu: benar-salah
(teologi, logika dan ilmu pengetahuan/science),
baik-buruk (etika), dan indah-jelek (estetika).[5]
Berkomunikasi yang berfaidah sejatinya merupakan susunan
pembicaraan bermakna yang lapangannya luas dan all comprehensive. Pembicaraan disebut bermakna kerena dapat
dimengerti, memiliki guna serta manfaat yang tentu, dan nyata-nyata membangun.
Tiga hal demikian, itulah prasayaratnya. Dari itu, maka pembicaraan bermakna
diketahui setelah terpenuhi prasayaratnya. Dengan terpenuhinya prasayarat
demikian akan menentukan mutu sekaligus
menunjukkan intensity pembicaraan
dimaksud. Dan pembicaraan disebut all
comprehensive karena mengandung padat nilai, yaitu nilai-nilai teologi,
logika, ilmu pengetahuan, etika dan estetika. Jadi, berkomunikasi memiliki
jangkauan dan spektrum yang serba mencakup disertai karakter universum yang kental tetapi distinct (khas).
Mengapa demikian? Karena berkomunikasi
adalah amal universal. Meski itu, aktivitas ini hanya bisa dilakukan oleh
manusia, dimana kemampuan ini bagi manusia sendiri sangat unik dan khas. Kaum manatiqah bahkan mendefinisikan manusia
sebagai “makhluk yang berkomunikasi” (hayawaanun
naathiqun), suatu definisi yang menyuguhkan unsur aradh khas, satu rumusan definisi bijaksana yang populer dan
realistis-filosofis. Isyarat falsafiahnya ialah bahwa berkomunikasi menjadi
penunjuk kemanusiaan dan beroperasi demi kemanusian ini, baik sebagai penunjuk
jati diri, kompetensi, harapan, tata-hubungan relationship, kelangsungan hidup dan kemajuan zamannya.
Mengenai all comprehensive berkomunikasi, hal ini bisa dikerucutkan. Tatkala
seseorang berkomunikasi, sifat, jangkauan, bobot dan intensity pembicaraan orang itu,
akan beragam. Akan ditemukan karenanya diferensiasi, kelas, heterogenitas, dan
kadar impact pembicaraan dari tiap
orang secara berbeda. Maka berkomunikasi sangat menarik untuk diamati, ditakar,
dikonseptualisasi dan diukur oleh, dari dan untuk semua. Manusia yang berkomunikasi, sejatinya berkomunikasi yang
penuh makna dan arti, yaitu berkomunikasi yang penuh faidah. Dalam konteks ini, bicara hadir dalam horizon yang spesial,
didisain untuk sepenuhnya menjadi faidah.
Mengapa? Boleh dikatakan, bicara menjadi ciri dasariah (transendental)
dan potensi asali yang dapat mempertegas eksistensi kemanusiaan melalui
struktur dan bangunan berkomunikasi yang disalurkan ke dalam ruangan kehidupan
semesta, yakni ekonomi, politik, sosial, estetika, logika dan budaya yang pada
gilirannya bisa mengubah serta mengendalikannya dalam format edukasi dan
paedagogi. Inilah core dari asumsi
epistemologi berkomunikasi. Dan core ini akan menjadi epistemologi alternatif,
korektif dan mandiri jika diturunkan dari pijakan yang memiliki otoritas
kebenaran. Diyakini, otoritas kebenaran yang otoritatif dan paling tinggi
adalah premis-premis profetik tentang berkomunikasi yang diajarkan Kitab Suci
Al-Qur’an yang aktual oleh khidmah
tarbiyyah para Nabi Allah Rabb al-’alamin. Pembicaraan yang sepenuhnya faidah adalah pembicaraan Al-Qur’an, wahyu
Allah yang seluruhnya faidah.
Konsepsi pembicaraan yang diteladankan
wahyu Allah Rabb al-’alamin memiliki efistemologinya yang spesifik
dan khas. Efistemologi ini dapat dikenali, digali dan dijelaskan dari teks, naskah
dan lembaran Kitab Suci ini.
Kitab Suci ini mengajarkan, berkomunikasi
bukan saja penting dilihat dari aspek apa dan untuk apa. Secara radikal,
Al-Qur’an mengungkap fundasi berkomunikasi yang sejalan dengan esensi serta teleologi berkomunikasi. Dipaparkan
bahwa berkomunikasinya Al-Qur’an mewujud dalam sejarah, dapat diamati, dikaji
dan dihayati dan dilanjutkan spiritnya sebagaimana diteladankan oleh para Nabi Allah,
dan mereka telah melakukannya dengan gemilang. Selangkah kedepan, alam fikiran
yang harus disodorkan untuk ini adalah menukik hingga ke dasar operasionalisasi
bicara ilahi, bicara nabi, dan bicara insani yang digambarkan, dipaparkan dan
diajarkan Kitab Suci Al-Qur’an. Ibrahim, Shalih, Ya’qub, Sulaiman, Musa, Isa
dan Muhammad Saw. telah melakukan penyelaman, pendakian dan penjelajahan
sekaligus percontohan berkomunikasi versi qur’anik yang sepenuhnya ber-faidah. Kepentingan
ilmiahnya adalah bagaimana pengembangan manusia melalui epistemologi berkomunikasi
efektif membentuk dan mengawal kebudayaan serta peradabannya oleh sumbangan bicara
yang esensinya adalah pesan perubahan, kesejahteraan, kemajuan, kemuliaan dan
keluhuran martabat manusia universal. Diyakini fokus para Nabi adalah titik
ini, dan mereka terus berkomunikasi, bicara yang bermakna dan penuh faidah.
Kedalaman falsafati yang bernilai ilmu
pengetahuan (science) dapat dikuak
dan diramu pada wilayah know hownya.
Wilayah ini adalah aspek epistemik dimana
Kitab Suci Al-Qur’an memiliki logosnya
sendiri yang tegas. Dengan
istilah lain, epistemologi Al-Qur’an harus diturunkan untuk memandu aktivitas
bicara atau komunikasi yang bernilai dan berfaidah.
III. Landasan Penalaran
Allah Rabb
al-’alamin menciptakan makhluk disertai dengan kehendak mendidik
ciptaannya sesuai dengan iradah-Nya
untuk yad’u ila al-jannah. Mengapa
begitu? Karena sesungguhnya kekuatan dan kesempurnaan ciptaan Allah Rabb al-’alamin dapat diikuti
dan dirasakan tidak untuk tanpa tujuan yang mutlak. Apa artinya? Ini berarti, hakikat
penciptaan makhluk merujuk kepada kemutlakan kuasa Sang Pencipta, sehingga
apapun ciptaan-Nya, akan diarahkan kepada kebaikan sejati sebagai iradah-Nya. Dan untuk merengkuh kebaikan
sejati ini, sesungguhnya terpulang kepada satu kondisi, yaitu seberapa maksimal
sang makhluk “mendayagunakan dirinya” sesuai dengan kemampuan dan kadar asalinya untuk menanggapi irodah Allah Rabb
al-’alamin itu, yakni yad’u ila
al-jannah dimaksud.
Pada derajat ini, sang makhluk
dituntut untuk menaggapi Sang Khalik. Agar tanggapannya benar dan relevan, maka
perlu penggugahan. Penggugahan adalah ikhtiar yang alamiah agar kesadaran sang
makhluk tetap berkesadaran makhluk tetapi terikat kepada Sang Khalik. Bahkan,
kesadaran makhluk harus dipastikan terjaga dan runcing. Mengapa demikian? Alasannya,
demi menjaga dan meruncingkan kesadaran sang makhluk menanggapi iradah-Nya untuk yad’u ila al-jannah maka makhluk Allah mengikuti proses edukasi dalam
kerangka sunnatullah melalui kinerja
yang relevan.
Ada tiga sunnatullah di sini yang harus dicatat, dan niscaya relevan dengan
kinerja edukasi dimaksud. Pertama,
bahwa makhluk Allah diciptakan dalam kesempurnaan dan sekaligus diberi naluri
untuk hidup, mempertahankannya dan memberi makna (penghayatan) terhadap hidupnya
serta keinginan untuk mencapai kepenuhan dan keabadian dalam hidup yang bahagia
lagi menyenangkan. Dalam hal ini manausia sebagai makhluknya telah diadvis
sebagai makhluk yang diciptakan dengan sebaik-baiknya rupa (ahsani taqwiim).[6]
Kedua, Sang Pencipta telah
memberikan kadar dan potensi bagi setiap makhluknya untuk mencapai kepenuhan
dan keabadian. Telah disurat dalam Kitab Suci bahwa telah ditiupkan ruh dan ‘aql ( fayanfuhu fiihi min ruuhii). Dalam hal ini, makhluk yang
diberi potensi ruhiyah dan aqliyah, diarahkan untuk mau dan mampu mendayagunakan potensi-potensi ini
hingga ke puncak pencapaian dengan gemilang. Dan patut diingat, kegemilangan
pencapaian ini dapat diraih dikarenakan ruh dan akal dapat menembus tataran jannah dan membuat proyeksi hingga ke
tepian harapan dengan segenap kerja intelektual, moral dan mondial Ketiga, sunnatullah diyakini memiliki
karakter equivalen dan kongruen dengan asas kasih untuk semesta
(rahmatan lil’aalamiin). Proposisi
ini menjadi pijakan mutlak bahwa edukasi yang dilakukan sejatinya adalah tarbiyah nubuwwah itu sendiri. Maka
makna substantifnya: demi menjaga dan meruncingkan kesadaran menanggapi
iradah-Nya untuk yad’u ila al-jannah
kasih untuk semesta menjadi ukuran kuantitatif yang determinan dan tidak bisa
ditawar.[7]
Kerja intelektual, moral dan mondial
secara sistematis ditengarai mampu mengantarkan pemangkunya ke tataran jannah. Tetapi harus dikatakan bahwa
tataran jannah harus didaki dengan
penuh perjuangan. Hanya dinamika dan kreativitas yang sejalan dengan sunnatullahlah, seorang makhluk akan sampai
di sana. Artinya, budi dan daya sebagai potensi fitrah harus efektif, menopang
dan berkinerja. Di sini, ruh dan ‘aql harus aktual. Maka pada kondisi demikian ini,
sang makhluk menjadi sehaluan dan sejiwa dengan iradah-Nya. Dalam pengertian lain, makhluk macam ini
merupakan makhluk berbudi yang kreatif dan dinamis telah berpijak di atas
titian yang seharusnya, lantas mendapat imbalan yang setimpal karena pengorbanan
serta kegigihan perjuangannya dalam memelihara potensi fitrah yang sudah
disiapkan Allah Rabb al-’alamin
melalui proses sunnatullah yang absolut
sesuai skenario-Nya yang transendental.
Betapa kuat dan dahsyat potensi fitri.[8]
Akan tetapi, apalah artinya potensi fitri sekiranya tidak diolah dan diarahkan
untuk mencapai iradah Allah Rabb al-’alamin.
Di sini ada tanggung jawab yang automatik: sang makhluk harus memupuk dirinya
dan tumbuh sebagai subjek yang orisinal. Orisinalitas makhluk Allah Rabb al-’alamin yang berbudaya
serta senada dengan sunnatulloh
tentang fitrah kemakhlukannya yang khas, tentu harus dikawal dan dibentuk.
Pengawalan dan pembentukannya harus kontinyu dan disiplin. Kontinyuitas dan
disiplin tinggi dalam pengawalan tumbu-kembang makhluk berbudaya tentunya
melalui proses edukasi yang utuh dan menyeluruh. Inilah yang disebut tarbiyyah.[9]
Nampaknya tidak ada pengawalan yang
dapat diasosiasikan sebagai pengawalan yang kontinyu dan disiplin seandainya
tidak ditunjukkkan oleh suatu moda yang meyakinkan. Apa moda yang meyakinkan
tersebut? Moda yang meyakinkan nyata telah diteladankan pada Nabi. Mereka telah
melakukan kerja tarbiyah[10] yang sama dan
sebangun dengan petunjuk Sang Pencipta. Bagaimana makhluk berbudaya harus
dikawal dan diedukasi hingga dapat komplementer dan asosiatif dengan potensi
fitrahnya. Begitu pula bagaimana irodah Allah
Rabb al-’alamin dapat ditanggapi secara tepat dan ihsan demi suatu goal
yang sejatinya akan sama: berlabuh di satu titik yang pasti, yaitu jannah. Ini harus diterangkan dan digali
dari moda dan substansi tarbiyyah
para Nabi. Tidak diragukan bahwa Al-Qur’an seluruhnya adalah edukasi, dan
edukasinya telah teruji dalam dimensi ruang dan waktu. Dengan dipelopori para
Nabi, edukasi ini merupakan tarbiyyah
yang paling autentik dan mengesankan. Susulan question logicnya adalah bagaimana kita melakukan penggalian,
penjelasan dan implemetasi tarbiyyah sepeninggal para Nabi. Sesungguhnya tarbiyyah merupakan tugas yang
dipesankan untuk tetap berkelanjutan. Satu hal yang lebih penting bahwa tugas
kenabian ini tidak terputus dan mestilah terus efektif.
Berdasarkan penalaran deduksi di atas, seyogyanya merujuk dan
melakukan penyelidikan terhadap Kitab Suci Al-Qur’an. Al-Qur’an mengarahkan
dengan sangat terang-benderang bahwa makhluk berbudaya harus melihat dengan
pandangan yang jauh ke depan, dengan fikiran yang menghunjam kedalam cakrawala
dan dengan hati yang bening agar tersingkap hakikat yang hendak dijadikan
sasaran eksistensial dan teleologisnya.
Setelah itu, harus dilanjutkan dengan pengajuan tanya: “Apa, bagaimana dan
untuk apa sesungguhnya sang makhluk itu sendiri?”. Pertanyaan elementer yang
cukup mendasar ini akan mengarah pada suatu konsepsi tentang makhluk berbudaya
dengan mengerahkan segenap potensi fitrahnya agar bekerja dan berkinerja
melalui kerja intelektual, moral dan mondial sebagaimana diedukasikan para
Nabi. Dari itu maka kajian yang memadai untuk melakukan penggalian dan
konseptualisasi epistemik tarbiyah nubuwah sangat menarik dan kiranya
dapat memberi kebermaknaan yang signifikan bagi dunia edukasi yang luas.
IV. Kerangka Konseptual
Di belahan dunia manapun, dan di setiap
zaman, peningkatan mutu sumber daya manusia demi mencapai kesejahteraan dan
ketinggian peradaban selalu menjadi fenomena. Core dari fenomena demikian ini adalah pencerdasan sumber daya
manusia itu sendiri, yang dilakukan dengan berdaya guna, berhasil guna dan
komprehensif. Jika itu asumsinya begitu maka edukasi yang komprehensif harus
dilakukan dengan prasyarat tiga kepenuhan entitif, yaitu penuh keyakinan, penuh
dedikasi dan penuh kematangan. Penuh keyakinan akan memberi kekuatan dan trancendent trail yang melimpah,
sehingga edukasi memiliki pijakan yang kokoh dan mengokohkan. Sedangkan
kepenuhan dedikasi bermakna bahwa segala aktivitas yang bernilai edukasi akan
dijalani dengan senang hati, loyal, dan
sikap profesional yang andal. Dan kepenuhan terakhir, yakni penuh kematangan,
mengandung logic thinking being,
keseimbangan dan holistikal dalam seluruh kegiatan edukasi yang dijalankan.
Dengan struktur pemikiran itu, lahirlah outcome
berupa kebudayan dan peradaban yang sedemikian rupa, dimana di dalamnya
mengalir energi determinan berupa ilmu pengetahuan yang mengkristal menjadi
epistemologi yang terbuka di pelbagai locus
dan horizon.
Kajian spesifik tentang efistemologi tarbiyah
nubuwah akan memandu penalaran, dan mengorientasikan kebijakan edukasi dalam
skala makro untuk sebuah benefit yang
nyata serta koheren dengan praktek edukasi yang diteladankan para Nabi
sepanjang masa. Kajian ini mutlak dilakukan dengan merujuk kepada data profetik
yang otentisitas dan akurasinya meyakinkan
dari perspektif iman. Suatu dimensi yang sangat theocentris, dan tentu saja diharap memberi kebermaknaan yang
spesifik dan berjangkauan universal, sehingga akan menjadi suguhan intelektual
dan opsi pemikiran edukasi yang alternatif.
V. Rumusan
Definitif
Qaul adalah term aktual qur’anik yang khas dan tegas, terbentang di berbagai
surat dalam banyak ayat. Hakikat aktualitasnya merupakan upaya kreatif dan berkesinambungan
untuk menyatukan manusia dalam satu kesatuan komunitas yang kompleks dan mutu
saling ketergantungan. Pada hakiki ini, qaul bekerja serta beroperasi,
dan memang dilakukan lantaran manusia berada dalam dua situasi: hasrat
interaktif dan lingkungan univers yang menggoda.
Berkomunikasi diatur untuk mengalirkan
hasrat diri, ketertarikan dan tanggapan dengan apa adanya. Karena tidak
diharapkan kegagalan tatkala bicara dilakukan. Kegagalan berkomunikasi dapat
menyebabkan deinteraksi dan alienasi sehingga manusia dapat begitu saja kehilangan
dirinya, dan tenggelam dalam kosmos tanpa identitas dan substansi
sosio-kemanusiaan. Kesalahan berkomunikasi juga memberi efek dan akibat yang
tidak kecil. Harus dibayar dengan “harga mahal” tatkala bicara salah, misalnya:
salah faham, salah sambung, salah kata, salah waktu, salah alat dan salah-salah
lainnya. Simpul kata, kegagalan dan kesalahan berkomunikasi telah mengganggu
aliran diri, malah salah-salah menyodorkan diri pribadi untuk sebuah resiko
yang sangat spekulatif. Untuk ini, qaul berperan mensublimasi atau
membuat design agar deinteraksi dan alienasi itu tidak terjadi,
dapat dihindarkan atau mengurangi resiko “kecelakaan” yang fatal. Untuk
selanjutnya diberi arahan dan pendampingan berdasarkan dlomir dan logika beserta pemikiran yang rasional dari setiap
individu atau kelompok manusia/masyarakat yang bersangkutan yang terlibat dalam
pembicaraan.
Upaya kreatif dan berkesinambungan
yang dilakukan dalam konteks qaul, dengan demikian menjadi realisasi tanggung
jawab kemanusiaan yang bernilai guna ganda. Di satu segi merupakan pembelaan (advokasi)
terhadap manusia dari keruntuhan kemanusiaannya, dan di segi lain diarahkan
untuk mengantarkan manusia ke puncak kebudayaan dan peradabannya yang paling
puncak. Tanggung jawab tersebut sejalan dengan visi humanitas yang dasariah
bahwa sesungguhnya manusia akan menjadi manusia selagi ia berbudaya dan
berperadaban.
Ada satu
instrumen penting yang patut dicatat sehubungan dengan proposisi tarbiyah
sebagai tanggung jawab kemanusiaan, yaitu bahwa tarbiyyah bersifat
universal dan untuk semua. Memajukan manusia, dan menjaminnya dalam kemajuan
yang dinamik adalah target tarbiyyah yang tidak saja ditujukan untuk
komunitas manusia muslim. Akan tetapi, sejalan dengan spirit Islam itu sendiri, tarbiyyah beroperasi dari, oleh dan untuk
semesta.[11]
Tetapi di pihak lain, keadaan memang selalu menjadi pertimbangan.
Sosial-kultural masyarakat, eko-politik dan realitas-realitas yang dihadapi
selalu meminta kompromi. Namun dengan cerdas dan jiwa universalitas yang
seirama dengan spirit Kitab Suci, para nabi mampu menghadapinya dengan menyodorkan
solusi yang damai, penuh rahmat dan dipercaya.
Nabi-nabi membuktikan, mereka menyeru
manusia untuk memenuhi panggilan iman dan mendapatkan cahaya dalam hidupnya,
jelas ditujukan kepada semuanya. Al-Qur’an tidak mengindikasikan diskriminasi
dan ekslusivisme dalam tarbiyyah. Fakta ini menunjukkan satu prinsip umum
tetang komitmen dan keprihatinan Islam kepada manusia dengan ruh yang
universalitas yang kuat dan kental. Ruh yang harus ditiupkan ini memang menjadi
karakter yang pasti, tarbiyah untuk semua dan harus digarap oleh kerja massal
yang moderen dan profesional. Persoalan tarbiyah yang modern dan
profesional menjadi entitas kritikal yang aktual. Di setiap tempat dan waktu, tarbiyah
harus mengadaptasikan diri dengan tuntutan zaman. Waktu terus berubah, dan
meminta perubahan yang sesuai seiring dengan kemajuan dan kompleksitas di
dalamnya. Di sini, faktor relevansi dan fungsionalitas tarbiyah dengan
zamannya menjadi tugas sekaligus tantangan kerja tarbiyah yang pasti.
Dengan kata lain, modernitas telah
mengundang peran tarbiyah untuk melakukan improvisasi dan pengendalian;
Atau, sekuarang-kurangnya melakukan “penyesuaian” agar upto date dan tidak mismatch. Pada tataran ini, modernitas
tentu meniscayakan adanya profesionalitas, karena profesionalitas adalah
subsistem dari modernitas tarbiyyah dimana esensinya mempersyaratkan
rasionalisme, efisiensi dan dedikasi yang tinggi. Untuk itulah secara berulang-ulang
para Nabi melakukan rasionalisasi dalam kerja tarbiyyah di zamannya.
Nabi Shaleh, Nuh, Sualeman, Musa, Ibrahim, Isa dan lain-lain, menurut Al-Qur’an
mereka merupakan pekerja tarbiyyah.[12] Untuk
merumuskan definisi tarbiyah nubuwah, nampaknya perlu penggalian terhadap jejak
para nabi yang dicatat oleh Kitab Suci. Penggalian terhadap jejak tarbiyyah
para Nabi akan menghasilkan moda stagnan. Moda ini menjadi esensi tarbiyah
Nabi, dan selanjutnya menginsfirasikan gagasan profetik yang melahirkan tiga
simpulan kebijakan untuk aksi aktual.[13]
Satu, mentransendir isu-isu
individu, komunal dan massal dengan lantang dan istiqomah. Bangunan teologi dan
falsafi tarbiyah, alhasil dilahirkan dari sumber yang teosentris Allah Rabb al-’alamin menjadi pusat
segala-galanya, baik esensi maupun eksistensi. Dua, meyakinkan masyarakatnya untuk memilih, memihak, membela dan berpegang
teguh pada prinsip-prinsip kebenaran, kemuliaan dan kesejahteraan bersama. Tiga, membangun visi yang menyeimbangkan
aspek-aspek lahir dan bathin, material dan spiritual, jasad dan ruh, dunia dan
akhirat sehingga tercipta harmoni yang komprehensif dan holistik. Elaborasi
yang harus ditancapkan setelah identifikasi konseptual berkomunikasi perspektif
qur’anik adalah menata aksi-aksi dan seluruh amal universal katagori berkomunikasi
untuk berlandas. Pada gilirannya berkomunikasi yang bermakna dan berfaidah versi qur’anik melalui
aktualisasi konsep qaul dalat diimplementasikan dan mewujud menjadi realitas
budaya hatta menjadi ruh peradaban. Ini menjadi semacam penunjuk arah bagi para
pengkhidmah tarbiyyah: mu’allim,
mudarris, asaatidz, murabbi dan mudir
yang berkonsentrasi untuk kerja senada, bilakah mereka sebagai waratsat al-anbiyya memangku kepentingan
secara bijak dan profesional.
VIII. Obsesi dan Rekomendasi
Ada istilah imperialisme epistemologi.
Syed Muhammad Al-Naqueb Al-Attas melakukan pelacakan kritiko-sosio-intelektus bahwa imperialisme epistemologi
memang tengah berlangsung. Hal ini terjadi karena epistemologi duania
didominasi ilmuwan Barat dan mempengaruhi pemikiran para ilmuwan dunia seiring
dengan pengenalan dan sosialisasi sains serta teknologi mereka. Lantaran efistemologi
mereka ini dijadikan acuan maka secara tak terhindarkan, pola pikir, pijakan
berpikir, metode berpikir dan cara perseptual terhadapilmu pengetahuan
mengikuti gaya Barat semuanya. Inilah yang disebut belenggu pemikiran yang
dikritisi oleh Syed Muhammad Al-Naqueb Al-Attas, dan dipandang sebagai pengaruh yang mengikat.[14]
Semestinya, epistemologi tidak membuat
belenggu. Epistemologi seharusnya dijadikan sarana penalaran yang bisa
mewujudkan dinamika pemikiran, bukan malah sebaliknya, yaitu menjadi
penyeragaman cara-cara berpikir. Pada tataran epistemologi dewasa ini, nyata
bahwa dunia Barat telah mencapai kemajuan yang pesat dan dijadikan referensi
oleh berbagai belahan dunia lainnya dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Perlahan-lahan tampak bahwa ada fenomena invasi pemikiran epistemologik oleh
Barat, lalu lambat laun menjadi imperaialisme yang tak tertahankan dan begitu
kokoh. Perihal ini menyisakan geliat untuk mencari alternatif, adakah cara-cara
lain yang tak dukungkung oleh epistemologi imperial. Adakah satu kesdadaran
epistemologis yang dapat memberi secercah sinar yang menerangi hahikikat ilmu
pengetahuan tanpa harus dibentuk oleh manusia Barat? Sisi
optimisme-positivistik yang dapat dipertandingkan di arena budaya dan
persadaban yang terbuka tentu tak bisa menolak kehadiran alternatif-alternatif
epistemologi.
Ketergelincirannya dapat menyebabkan dehumanisasi sehingga manusia kehilangan jati dirinya dan
tenggelam dalam kosmos tanpa identitas dan substansi kemanusiaan. Untuk ini, tarbiyyah
berperan mensublimasi atau membuat bumper
agar penggelinciran itu tidak terjadi, dapat dihindarkan atau mengurangi resiko
“kecelakaan” yang fatal. Untuk selanjutnya diberi arahan dan pendampingan
berdasarkan dlomir dan nurani serta
pemikiran yang rasional dari setiap individu atau kelompok manusia/masyarakat
yang bersangkutan. Upaya kreatif dan berkesinambungan yang dilakukan dalam
konteks tarbiyyah, dengan demikian menjadi realisasi tanggung jawab
kemanusiaan yang bernilai guna ganda. Di satu segi merupakan pembelaan (advokasi) terhadap manusia dari
keruntuhan kemanusiaannya, dan di segi lain diarahkan untuk mengantarkan
manusia ke puncak kebudayaan dan peradabannya yang paling puncak. Tanggung
jawab tersebut sejalan dengan visi humanitas yang dasariah bahwa
sesungguhnya manusia akan menjadi manusia selagi ia berbudaya dan berperadaban.
Ada satu instrumen penting yang patut dicatat sehubungan dengan proposisi
tarbiyah sebagai tanggung jawab kemanusiaan, yaitu bahwa tarbiyyah
bersifat universal dan untuk semua. Memajukan manusia, dan menjaminnya dalam
kemajuan yang dinamik adalah target tarbiyyah yang tidak saja ditujukan
untuk komunitas manusia muslim. Akan tetapi, sejalan dengan spirit Islam itu
sendiri, tarbiyyah beroperasi dari, oleh dan untuk semesta: sekalian alam
sesuai dengan doktrin rahmatan
lil’aalamiin. Tetapi di pihak lain, keadaan memang selalu menjadi
pertimbangan. Sosial-kultural masyarakat, eko-politik dan realitas-realitas
yang dihadapi selalu meminta kompromi. Namun dengan cerdas dan jiwa
universalitas yang seirama dengan spirit Kitab Suci, para nabi mampu
menghadapinya dengan menyodorkan solusi yang damai, penuh rahmat dan dipercaya.[15]
Para Nabi membuktikan, mereka menyeru
manusia untuk memenuhi panggilan iman dan mendapatkan cahaya dalam hidupnya,
jelas ditujukan kepada semuanya. Al-Qur’an tidak mengindikasikan diskriminasi
dan ekslusivisme dalam tarbiyyah. Fakta ini menunjukkan satu prinsip umum
tetang komitmen dan keprihatinan Islam kepada manusia dengan ruh yang
universalitas yang kuat dan kental. Ruh yang harus ditiupkan ini memang menjadi
karakter pasti, tarbiyah untuk semua dan harus digarap oleh kerja massal
yang moderen dan profesional. Persoalan tarbiyah yang moderen dan
profesional menjadi entitas kritikal yang aktual. Di setiap tempat dan waktu, tarbiyah
harus mengadaptasikan diri dengan tuntutan zaman. Waktu terus berubah, dan
meminta perubahan yang sesuai seiring dengan kemajuan dan kompleksitas di
dalamnya. Di sini, faktor relevansi dan fungsionalitas tarbiyah dengan
zamannya menjadi tugas sekaligus tantangan kerja tarbiyah yang pasti. Modernitas
telah mengundang peran tarbiyah untuk melakukan improvisasi dan pengendalian;
Atau melakukan “penyesuaian” agar upto
date dan tidak mismatch. Pada tataran ini, modernitas tentu meniscayakan adanya
profesionalitas, karena profesionalitas adalah subsistem dari modernitas tarbiyyah
dimana esensinya mempersyaratkan rasionalisme, efisiensi dan dedikasi yang
tinggi.
IX. Implementasi
Konsep Qaul dan Imperasinya dalam Konteks Budaya
Di beberap ayat Al-Qur’an seringkali Allah melakukan
interaksi edukasi dengan Nabi dan Rasul-Nya dengan penuh kehangatan dan
kesantunan. Ada beberapa variasi model komunikasi yang ditegaskan Allah dalam
Al-Qur’an, antara lain: (1) قولا ليّنا (halus, lembut, ramah), (2)قولا ثقيلا (berat,
berisi), (3) قولا معروفا (yang dikenal, diketahui), (4) قولا كريما (beretika, berbudi, murah hati) (5) قولا بليغا (fasih, jelas), (6) ميسورا (menggembirakan, menyenangkan), (7) سديدا (tepat).[16] Abdullah Nashih Ulwan
menegaskan tentang etika berbicara:
(1) berbicara hendaknya dengan bahasa arab yang fasih, (2) berbicara
secara perlahan, (3) tidak boleh memaksakan diri berbicara fasih, (4) pembicaraan
harus dapat dipahami, 5. jangan mempersingkat dan memperpanjang pembicaraan, (6)
memperhatikan sepenuhnya kepada pembicara, (7) pandangan pembicara harus
tertuju kepada lawan bicara, (8) memberi kesempatan kepada lawan bicara[17]
Hal ini sejalan dengan sabda Nabi Muhammad Saw.:
ما كان رسول الله يصرد الحديث كسردكم هذا يحدّث حديثا
لو عدّه العادّ لأحصاه (رواه البخاري ومسلم)[18]
Tidak pernah Rasulullah Saw. berbicara cepat
seperti kalian ini. Beliau berbicara dengan kata-kata yang apabila orang mau
menghitungnya, niscaya ia dapat menghitungnya.
Dalam hadits lain Nabi
bersabda:
كان
إذا تكلّم بكلمة أعادها ثلاثا حتى تفهم عنه وإذا آتى على قوم فسلّم عليهم وكان
يتكلّم بكلام فصل لاهزر ولانزر ويكره الثرثرة في الكلام والتصدق به (رواه البخاري ومسلم)[19]
apabila beliau berbicara, maka beliau mengulang
sampai tiga kali sehingga dapat dipahami. Dan apabila mendatangi suatu kau,
maka beliau mengucapkan salam kepada mereka. Beliau tidak terlalu banyak
bicara, tetapi jelas dan terinci dan tidak pula sedikit. Beliau membenci orang
yang banyak membual dan memaksakan diri dalam bicara.
[1]As’aril Muhajir, Ilmu Pendidikan Perspektif Kontekstual,
(Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), cet. ke-1, hlm. 34.
[3]Yasien Mohamed, Fitra: The Islamic Concept of
Human Nature, terj. Masyhur Abadi, Insan yang Suci Konsep Fithrah dalam
Islam, (Bandung: Mizan, 1997), hlm. 46.
[4]Ibn Malik, Alfiyah, Surabaya, tt, hlm. 3.
[5]Abdul Munir Mulkhan, Paradigma Intelektual Muslim: Pengantar
Filsafat Pendidikan Islam dan Dakwah,
(Yogyakarta: Sipress, 1993), hlm. 76.
[6]Lihat QS Atthin : 3.
[7]Abdul Mujib, Fitrah dan Kepribadian Islam sebuah
Pendekatan Psikologis, (Jakarta: Daru; Fallah, 1999), hlm. 98.
[9]Hasan Langgulung, Asas-asas Pendidikan Islam,
(Jakarta: Pustaka Al-Husan Baru, 2004), hlm. 271.
[10]Proses sosial yang bertujuan untuk menanamkan
kepada anggota-anggota masyarakat suatu tingkatan akhlak dan perilaku
tertentu serta mengajarkan mereka
keahlian-keahlian dalam berbagai bidang keilmuan dan keterampilan praktis. Lihat
M. Sayyid Muhammad Az-Zaba’lawi, Tarbiyatul Marahik Bain al-Islam wa Ilmu nafi’,
hlm. xx.
[11]Syed Muhammad Al-Naqueb Al-Attas, Konsep Pendidikan dalam Islam, (Bandung: Mizan, 1988), hlm. 74.
[12]Ahmad Al-‘Usairy, Al-Tarikh Al-Islam, Terj.
Samson Rahman, Sejarah Islam, (Jakarta: Akbar, 2003), hlm. 102-105.
[15]Najib Khalid Al-‘Amir, Min Asaalib Al-Rasul Fi
Tarbiyyah, Terj. Ibn Muhammad Fakhrudin Nursyam, Tarbiyah Rasulullah,
(Jakarta: Gema Insani, 1990), hlm. 82.
[16]AW Munawwir Muhammad Faruz, Kamus Munawwir Arab
Indonesia.
[17]Abdullah Nâsih ‘Ulwan, Tarbiyat
al-Aulad fi al-Islam, (Cairo: Dar al-Salam, 1993), Jil. ke-1, hlm. 98.
[18]Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu,
(Damaskus: Dar al-Fikr, 2005), Juz. 6,
hlm. 5676.