Burhani Sebagai Metode Penyajian Al-Quran



Disusun oleh:
H. Ahmad Ridla Syahida, Lc., M.Ag
Dosen Prodi Pendidikan Bahasa Arab
STAI Al-Ma’arif Ciamis


A.    PENDAHULUAN
Sebagai kitab suci bagi Umat Islam, Al-Quran secara prinsip, semenjak awal mengajak pembacanya untuk mengoptimalkan fikiran dalam mencerna berbagai gejala alam/tanda-tanda semesta yang bisa dijadilan petunjuk dalam membuktikan adanya satu kekuatan mutlak yang menguasai alam jagad raya ini. Al-Qur’an tidak menuntut untuk menerima begitu saja apa yang disampaikan kepada manusia. Tetapi dituntut untuk memaparkan masalah dan membuktikannya dengan argumentasi-argumentasi kongkrit, bahkan menguraikan pandangan-pandangan penentangnya seraya membuktikan kekeliruannya.
Disana ada masalah-masalah keagamaan yang tidak dapat diyakini kecuali melalui pembuktian logika, dan ada juga ajaran-ajaran agama yang sukar dipahami dengan akal namun tidak bertentangan dengan akal. Penggunaan akal tanpa diiringi dengan keimanan pada agama dan kepercayaan pada keterbatasan akal akan membuat manusia mempertuhankan akal dan terjerumus dalam jurang kesalahan. Secara fungsi memang akal dapat berargumentasi tentang ada dan tiadanya Tuhan, namun akal mempunyai keterbatasan dalam membuktikannya secara empiris.
Agar dapat mengalokasikan perannya dengan optimal, akal atau rasio harus berlandaskan pada asas yang dapat mengantarkannya menuju ke al-fahm (pemahaman). Asas tersebut, secara umum, dikembalikan kepada faktor karakteristik wahyu atau kepada karakteristik akal. Ketimpangan yang terjadi pada asas apa pun dari asas ini akan memberikan efek kepada sisi ketimpangan dalam segi pemahaman. Dan selanjutnya, secara otomatis akan mengakibatkan ketimpangan dalam memahami maksud-maksud ilahi (al-Qur’an).
Jika kita telusuri, banyak sekali ayat-ayat Al-Quran yang mana secara eksplisit mengajak pembacanya untuk berdialog secara nalar tentang berbagai aspek dalam membuktikan sebuah kebenaran; salah satunya QS: Al-Anbiya:21-25, ayat yang berbicara tentang pembuktian akan keesaan Allah dan penolakan keras akan adanya sekutu yang menemani dan menyerupainya, ayat yang dibangun dengan dasar logika yang menghasilkan konklusi bahwa keesaan Allah merupakan sebuah keniscayaan/kemutlakan yang tidak bisa dibantah dan di perdebatkan.
Nalar burhani inilah yang digunakan Al-Quran dalam membangun kerangka berfikir agar meluruskan akidah dan keyakinan yang sudah lama bengkok dan sulit untuk di luruskan. Dalam hal ini Al-Quran berusaha menghadirkan sebuah dialog secara nalar yang bisa digunakan sebagai media yang sangat jitu dalam menaklukan para pembangkang yang dinilai sangat radikal dalam berargumen. Sisi ke i’jazan Burhan Al-Quran datang dengan tujuan tarbiyatu al insan (pendidikan manusia), juga ia tidak hanya menyeru kepada nalar logis saja, akan tetapi melebihi dimensi tersebut yaitu menerobos ke wilayah terdalam yaitu hawas (indra), psikologis dan perasaan (wijdan), agar secara intusi mampu merasakan bagaimana sentuhan kalam ilahi yang mengajak untuk menyaksikan dengan mata kepala dan mata batin akan hadirnya ayat-ayat kauniah (tanda-tanda yang ada dialam jagad raya) ini, dalam menunjukan kebenaran terhadap kewahdaniyyahan Allah Swt[1].
Oleh karena itu dalam makalah ini penulis berusaha -walaupun hanya berupa pembahasan sederhana- untuk menguraikan secara singkat tentang bagaimana penggunaan metode nalar burhani sebagai metode penyajian dalam Al-Quran. Penulis merasa makalah ini jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu penulis berharap kepada sidang pembaca untuk memberikan kritik konstuktif demi kesempurnaan materi makalah ini untuk perbaikan dimasa yang akan datang.  
B.     Definisi Burhani
Al-Burhani (demonstratif rasional), secara sederhana, bisa diartikan sebagai suatu aktifitas berfikir untuk menetapkan kebenaran proposisi (qadliyah) melalui pendektan deduktif (al-istintaj) dengan mengaitkan proposisi yang satu dengan proposisi yang lain yang telah terbukti kebenarannya secara aksiomatik (badhihi)[2].
Dalam khazanah kosa kata bahasa arab, secara etimologi kata al-burhan juga mengandung arti argumen yang tegas dan jelas. Burhan juga mengandung arti argumentasi yang jelas dan terpilah untuk memperoleh kebenaran dan pengetahuan melalui proses berfikir. Burhani sangat menekankan proses dan peranan analisis rarasional (al-Qiyas,al-Jami’) untuk memperoleh pengetahuan sekaligus sebagai suatu kebenaran. Kemudian kata ini disadur sebagai salah satu terminologi yang dipakai dalam ilmu mantik untuk menunjukan arti proses penalaran yang menetapkan benar tidaknya suatu preposisi melalui cara deduksi, yaitu melalui cara pengaitan antara preposisi yang kebenarannya bersifat postulatif. Dalam hal ini, burhan adalah satu jenis dari logika (qiyas). Kalau logika itu bersifat umum, maka burhan bersifat khusus, bagian dari logika itu sendiri, yaitu suatu rasionalitas yang mengantarkan kepada ilmu yakin.
Sebagai tema epistemologis, al-burhan disini adalah sebutan bagi sistem epistemik dalam tradisi pemikiran arab islam yang dicirikan oleh adanya metode pemikiran tertentu dan perspektif realitas tertentu pula. Sistem epistemik burhani bertumpu sepenuhnya pada seperangkat kemampuan intelektual manusia, baik berupa indra, pengalaman, maupun rasio bagi upaya pemerolehan pegetahuan tentang semesta dengan mendasarkannya pada keterkaitan antara sebab dan akibat (kausalitas) bahkan juga bagi solidasi perspektif realitas yang sistematis, valid dan postulatif[3].
Pada realitasnya Al-Quran juga merupakan burhan (bukti nyata) yang paling konkrit dalam membuktikan dan menjawab berbagai  syubhat yang muncul dalam berbagai aspek kehidupan; permasalahan akidah, ibadah dan akhlak yang menjadi tema sentral dalam Al-Quran. Allah Swt berfirman:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَكُمْ بُرْهَانٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكُمْ نُورًا مُبِينًا (النساء:174)
“Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu bukti kebenaran dari Tuhanmu. (Muhammad dengan mukjizatnya) dan telah Kami turunkan kepadamu cahaya yang terang benderang (Al Quran).(QS An-Nisa:174)”
Selepas ayat ini Ibn Katsir mengomentari bahwa yang dimaksud dengan burhan yaitu:
الدليل القاطع للعُذْر، والحجة المزيلة للشبهة[4]
“Dalil yang kuat, dan argumentasi yang dapat menghilangkan keraguan”
Burhan juga bisa berarti:
المانع من الوقوع في الزلل
“Sebuah penghalang yang dapat mencegah dari terperosoknya kedalam dosa/kesalahan”
Sebagaimana perjuangan Nabi Yusuf dalam melawan godaan nafsu yang mendatanginya sehingga ia mendapatkan burhan dari Tuhan-Nya, Al-Quran merekam dalam surat Yusuf yang berbunyi:
وَلَقَدْ هَمَّتْ بِهِ وَهَمَّ بِهَا لَوْلَا أَنْ رَأَى بُرْهَانَ رَبِّهِ كَذَلِكَ لِنَصْرِفَ عَنْهُ السُّوءَ وَالْفَحْشَاءَ إِنَّهُ مِنْ عِبَادِنَا الْمُخْلَصِينَ (يوسف:24)
Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf, dan Yusufpun bermaksud (melakukan pula) dengan wanita itu andaikata dia tidak melihat tanda (dari) Tuhannya. Demikianlah, agar Kami memalingkan dari padanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba Kami yang terpilih. (QS Yusuf:24)
Kata al-burhan pun dalam Al-Quran diulang tidak kurang dari 8 kali[5] yang secara makna mengandung arti berupa argumen yang kuat dalam menunjukan kebenaran seruan/ajakan (dakwah), Allah Swt berfirman:
قُلْ هَاتُوا بُرْهَانَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ (البقرة:111)
Katakanlah: "Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar."(QS Al-Baqarah:111)
Al-Quran pun di beberapa tempat berusaha meminta burhan (bukti nyata) untuk membuktikan sebuah kebenaran, hal ini merupakan sebuah tuntutan kepada manusia untuk menggunakan nalarnya  dalam menimbang ide yang masuk ke dalam benaknya, tidak hanya menerima secara mentah tanpa adanya penilaian dan pertimbangan mendalam namun manusia harus mengeksplolarsi cakrawala pemikiran yang menghujam didalam nalarnya.
Metode burhani merupakan wasilah dalam penyampaian pesan yang sangat jitu dalam melawan nalar radikal yang membangkang dari kebenaran, media burhan pun merupakan mu’jizah ‘aqliyah yang menjadi bukti nyata dalam membuktikan hakikat kebenaran dan membantah kebatilan dengan gaya bahasa yang kokoh dalam menguatkan keyakinan/akidah sehingga bisa merasuk kedalam akal dan relung qalbu.[6]
C.    Uslub Burhani dalam Al-Quran
Uslub burhani merupakan salah satu sisi dari i’jaz al-quran ditinjau sisi redaksional dan isi kadungannya yang mempunyai nilai yang sangat tinggi, karena dengannya terjalin sebuah komunikasi rasional yang berupa tantangan dalam membuktikan sebuah kebenaran hakiki,  baik secara langsung maupun tidak langsung. Penulis mencoba menyajikan beberapa contoh ayat sebagai aplikasi dari metode ini yang ada dalam Al-Quran sebagai berikut:
1.      Firman Allah QS Al-An’am:74-79:
وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ لِأَبِيهِ آزَرَ أَتَتَّخِذُ أَصْنَامًا آلِهَةً إِنِّي أَرَاكَ وَقَوْمَكَ فِي ضَلَالٍ مُبِينٍ (74) وَكَذَلِكَ نُرِي إِبْرَاهِيمَ مَلَكُوتَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَلِيَكُونَ مِنَ الْمُوقِنِينَ (75) فَلَمَّا جَنَّ عَلَيْهِ اللَّيْلُ رَأَى كَوْكَبًا قَالَ هَذَا رَبِّي فَلَمَّا أَفَلَ قَالَ لَا أُحِبُّ الْآفِلِينَ (76) فَلَمَّا رَأَى الْقَمَرَ بَازِغًا قَالَ هَذَا رَبِّي فَلَمَّا أَفَلَ قَالَ لَئِنْ لَمْ يَهْدِنِي رَبِّي لَأَكُونَنَّ مِنَ الْقَوْمِ الضَّالِّينَ (77) فَلَمَّا رَأَى الشَّمْسَ بَازِغَةً قَالَ هَذَا رَبِّي هَذَا أَكْبَرُ فَلَمَّا أَفَلَتْ قَالَ يَا قَوْمِ إِنِّي بَرِيءٌ مِمَّا تُشْرِكُونَ (78) إِنِّي وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِي فَطَرَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ حَنِيفًا وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ (الأنعام:74-79)
 “Dan (ingatlah) di waktu Ibrahim berkata kepada āzar, “Pantaskah kamu menjadikan berhala-berhala sebagai tuhan-tuhan? Sesungguhnya aku melihat kamu dan kaummu dalam kesesatan yang nyata.” Dan demikianlah kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (kami yang terdapat) di langit dan di bumi, dan (kami memperlihatkannya) agar Ibrahim itu termasuk orang-orang yang yakin. Ketika malam telah menjadi gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata, “Inilah Tuhanku.” Tetapi tatkala bintang itu tenggelam di berkata, “Saya tidak suka kepada yang tenggelam.” Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit dia berkata, “Inilah Tuhanku.” Tetapi setelah bulan itu terbenam dia berkata, “Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat.” Kemudian tatkala dia melihat matahari terbit, dia berkata, “Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar.” Maka tatkala matahari itu terbenam, dia berkata, “Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan. Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.’”.(QS Al-An’am:74-79)
Ayat ini menjelaskan bagaimana Nabi Ibrahim mencoba mendemostrasikan pergolakan batinnya akan usahanya dalam mencari Tuhan yang Maha Agung yang menjadi satu-satunya penopang dalam kehidupannya. Nabi Ibrahim merasa bahwa aktifitas penyembahan berhala yang dilakukan kaumnya merupakan suatu kebatilan dan tidak mendasar, karena berhala-berhala tersebut dibuat oleh manusia yang notabene manusiapun ada dari ketiadaan. Bagaimana mungkin menyembah sesuatu yang dibuat oleh tangan sendiri?




Allah swt SWT berfirman:
قَالَ أَتَعْبُدُونَ مَا تَنْحِتُونَ (الصافات:95)
“Ibrahim berkata, ‘Apakah kamu menyembah patung-patung yang kamu pahat itu?’.” (QS Ash-Shaffat:95)
 Berhala-berhala ini tidak mempunyai daya dan kekuatan sedikit pun, maka tidak layak diidentikkan dengan Tuhan. Karena yang dinamakan Tuhan adalah Dzat yang Maha Kuat dan Maha Kuasa serta pengendali alam, pemberi kenikmatan, dan pemberi rizki.
Allah swt SWT berfirman:
قَالَ أَفَتَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لَا يَنْفَعُكُمْ شَيْئًا وَلَا يَضُرُّكُمْ (الأنبياء:66)
 “Ibrahim berkata, ‘Maka mengapakah kamu menyembah selain Allah swt sesuatu yang tidak dapat memberikan manfaat sedikit pun dan tidak (pula) memberi mudharat kepada kamu?’.” (QS Al-Anbiya:66).
Di dalam otak Nabi Ibrahim terdapat pertanyaan, “Siapakah Tuhan pencipta alam ini?” tatkala Nabi Ibrahim merasakan kesulitan. Ia merasakan adanya dorongan kuat yang mengantarkannya pada pengungkapan Tuhan tentang kosmologi dan penciptaannya. Dorongan kuat inilah yang membantunya memperoleh kefitrahan yang jernih, spirit yang suci, dan akal yang unggul, selain adanya faktor hidayah dan taufik dari Allah swt.
Setelah itu, Nabi Ibrahim berlanjut pada fase pengumpulan data (keterangan). Ia memperhatikan berbagai tanda-tanda alam yang ada di alam semesta; bintang-bintang, bulan, matahari, serta fenomena lainnya yang ada di langit dan di bumi.
Allah swt berfirman:
كَذَلِكَ نُرِي إِبْرَاهِيمَ مَلَكُوتَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَلِيَكُونَ مِنَ الْمُوقِنِينَ (الأنعام:75)
 “Dan demikianlah kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (kami yang terdapat) di langit dan di bumi, dan (kami memperlihatkannya) agar Ibrahim itu termasuk orang-orang yang yakin.” (QS: Al-An’am:75)
Di tengah-tengah pengumpulan data (keterangan), Nabi Ibrahim menentukan hipotesis (anggapan dasar). Jadi, bila ia melihat bintang di langit maka ia beranggapan bahwa bintang tersebut adalah Tuhan. Namun ketika ia tahu bintang tersebut tak terlihat, maka ia menganggap hipotesisnya tidak layak, maka selanjutnya ia menentukan hipotesis yang baru. Menurutnya Tuhan harus mempunyai sifat konstan, tanpa ada perubahan sedikit pun, dan selalu ada.
Tatkala Nabi Ibrahim melihat bulan di tengah malam, ia beranggapan itulah Tuhan, tetapi bulan tersebut lagi-lagi tidak muncul kembali, ia menganggap hipotesisnya tidak layak, maka ia menentukan hipotesis yang baru. Ketika ia melihat matahari terbit dan mempunyai sifat lebih besar dari pada bintang, ia pun beranggapan bahwa matahari adalah Tuhan. Namun saat matahari tidak terlihat lagi (terbenam), ia menganggap hipotesisnya tidak layak, maka ia menentukan hipotesis baru. Dan pada akhirnya Nabi Ibrahim menentukan hipotesis baru, bahwa Tuhan adalah Dzat yang menciptakan bintang, langit, bumi, dan semua yang terdapat di dalamnya.
Nabi Ibrahim berkata:
إِنِّي وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِي فَطَرَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ حَنِيفًا وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ (الأنعام:79)
“Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang memperskutukan Tuhan.”
Setelah dilakukan pengevalusian terhadap hipotesis tersebut, Nabi Ibrahim as akhirnya berkesimpulan bahwasannya Tuhan itu adalah Dzat yang menciptakan kosmologi dengan segala isi dan peraturannya yang komprehensif.
Dari pemaparan ayat tersebut begitu jelas bagaimana metode burhani yang digunakan oleh Al-Quran sebagai alat dalam menghujamkan pesan dan ide yang sangat efektif bagi audiens, sehingga pembaca dapat mencerna dan menerima tanpa ada pengingkaran dan pembangkangan atas realitas yang disajikan. Metode burhani juga mencoba membawa imajinasi dan emosi pembaca agar menggunakan nalar kritisnya untuk menarik kesimpulan dari deskripsi-faktual yang disajikan agar pada akhirnya secara personal akan lahir sebuah ketundukan yang berlandaskan akan kesadaran dan jauh dari unsur paksaan. [7]
2.      Firman Allah Swt QS Ar-Ra’du:16:
قُلْ مَنْ رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ قُلِ اللَّهُ قُلْ أَفَاتَّخَذْتُمْ مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ لَا يَمْلِكُونَ لِأَنْفُسِهِمْ نَفْعًا وَلَا ضَرًّا قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الْأَعْمَى وَالْبَصِيرُ أَمْ هَلْ تَسْتَوِي الظُّلُمَاتُ وَالنُّورُ أَمْ جَعَلُوا لِلَّهِ شُرَكَاءَ خَلَقُوا كَخَلْقِهِ فَتَشَابَهَ الْخَلْقُ عَلَيْهِمْ قُلِ اللَّهُ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ وَهُوَ الْوَاحِدُ الْقَهَّارُ (الرعد:16)
Katakanlah: "Siapakah Tuhan langit dan bumi?" Jawabnya: "Allah." Katakanlah: "Maka patutkah kamu mengambil pelindung-pelindungmu dari selain Allah, padahal mereka tidak menguasai kemanfaatan dan tidak (pula) kemudharatan bagi diri mereka sendiri?." Katakanlah: "Adakah sama orang buta dan yang dapat melihat, atau samakah gelap gulita dan terang benderang; apakah mereka menjadikan beberapa sekutu bagi Allah yang dapat menciptakan seperti ciptaan-Nya sehingga kedua ciptaan itu serupa menurut pandangan mereka?" Katakanlah: "Allah adalah Pencipta segala sesuatu dan Dia-lah Tuhan Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa." (QS Ar’Radu:16)
Ayat ini berbicara tentang permasalahan penting dan sangat fundamental yang menyangkut prinsip keyakinan seorang hamba, yaitu keesaan Allah (wahdaniyatullah). Metode burhan dalam menunjukan sifat wahdaniyatullah pada ayat ini diawali dengan sebuah premis yang mengandung kebenaran hakiki yang tidak bisa dibantah yaitu:
الله رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ
Allah adalah Tuhan yang menguasai langit dan bumi
Dialah Allah yang Maha Pencipta segala sesuatu, dan untuk menetapkan kaidah tesebut maka harus ada sebuah ketetapan bahwa tidak ada sekutu bagi-Nya, dan secara realitas dan faktanya tidak ada satupun makhluk di alam jagad raya ini  yang mampu untuk menciptakan sebuah makhluk seperti apa yang sudah dilakukan oleh Allah Swt, hal ini menunjukan bahwa segala macam bentuk tuhan yang disembah oleh orang-orang kafir pada hakikatnya ia tidak mampu untuk mencipta.
Dalam menjelaskan argumentasinya ayat ini menggunakan beberapa qadiyah (premis) yang saling berhubungan dan mempunyai kedekatan bahkan saling berlawanan, yang semuanya secara indrawi bisa di cerna oleh manusia; orang buta (الْأَعْمَى) dan yang dapat melihat (الْبَصِيرُ), hidayah (النُّورُ) dan kekafiran/kesesatan (الظُّلُمَاتُ). Bahkan qadiyah penciptaan (الْخَلْقُ) merupakan realitas yang tidak bisa lepas dari eksistensi (keberadaan) manusia itu sendiri dimuka bumi ini, karena sejatinya manusia itu adalah makhluk ciptaan Allah Swt.


Jika di analisis maka ayat tersebut akan menghasilkan/membentuk nalar logis sebagai berikut:
الله الواحد القهار.    إذا كان   الله خالق كل شيء،  إذا كان   الشركاء لا يخلقون،    إذا كان   الشركاء لا يملكون لأنفسهم ضراً ولا نفعاً  ،  إذا كان   الشركاء والأولياء لا يستحقون أن يكونوا آلهة   ،  إذاً الله وحده رب كل شيء.
Maka dengan kesimpulan diatas bisa dipetakan dengan menggunakan silogisme sebagai berikut:
بما أن الأولياء من دون الله لا يملكون لأنفسهم ضرراً ولا نفعاً .
إذاً ليسوا بآلهة ولا يستحقون أن يعبدوا.
ومن يعبدهم فهو أعمى لا يستوي مع المبصر.
وهو في ظلام لا يرى الحق والظلام لا يستوي مع النور .
الشركاء لا يخلقون
إذاً الله هو الخالق وهو الواحد القهار.[8]

3.      Firman Allah QS Al-Qashash:70-75:
وَهُوَ اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ لَهُ الْحَمْدُ فِي الْأُولَى وَالْآخِرَةِ وَلَهُ الْحُكْمُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ (70) قُلْ أَرَأَيْتُمْ إِنْ جَعَلَ اللَّهُ عَلَيْكُمُ اللَّيْلَ سَرْمَدًا إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ مَنْ إِلَهٌ غَيْرُ اللَّهِ يَأْتِيكُمْ بِضِيَاءٍ أَفَلَا تَسْمَعُونَ (71) قُلْ أَرَأَيْتُمْ إِنْ جَعَلَ اللَّهُ عَلَيْكُمُ النَّهَارَ سَرْمَدًا إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ مَنْ إِلَهٌ غَيْرُ اللَّهِ يَأْتِيكُمْ بِلَيْلٍ تَسْكُنُونَ فِيهِ أَفَلَا تُبْصِرُونَ (72) وَمِنْ رَحْمَتِهِ جَعَلَ لَكُمُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ لِتَسْكُنُوا فِيهِ وَلِتَبْتَغُوا مِنْ فَضْلِهِ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ (73) وَيَوْمَ يُنَادِيهِمْ فَيَقُولُ أَيْنَ شُرَكَائِيَ الَّذِينَ كُنْتُمْ تَزْعُمُونَ (74) وَنَزَعْنَا مِنْ كُلِّ أُمَّةٍ شَهِيدًا فَقُلْنَا هَاتُوا بُرْهَانَكُمْ فَعَلِمُوا أَنَّ الْحَقَّ لِلَّهِ وَضَلَّ عَنْهُمْ مَا كَانُوا يَفْتَرُونَ (75)

Dan Dialah Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, bagi-Nyalah segala puji di dunia dan di akhirat, dan bagi-Nyalah segala penentuan dan hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan. Katakanlah: "Terangkanlah kepadaku, jika Allah menjadikan untukmu malam itu terus menerus sampai hari kiamat, siapakah Tuhan selain Allah yang akan mendatangkan sinar terang kepadamu? Maka apakah kamu tidak mendengar?". Katakanlah: "Terangkanlah kepadaku, jika Allah menjadikan untukmu siang itu terus menerus sampai hari kiamat, siapakah Tuhan selain Allah yang akan mendatangkan malam kepadamu yang kamu beristirahat padanya? Maka apakah kamu tidak memperhatikan?". Dan karena rahmat-Nya, Dia jadikan untukmu malam dan siang, supaya kamu beristirahat pada malam itu dan supaya kamu mencari sebahagian dari karunia-Nya (pada siang hari) dan agar kamu bersyukur kepada-Nya. Dan (ingatlah) hari (di waktu) Allah menyeru mereka, seraya berkata: "Di manakah sekutu-sekutu-Ku yang dahulu kamu katakan?". Dan Kami datangkan dari tiap-tiap umat seorang saksi, lalu Kami berkata "Tunjukkanlah bukti kebenaranmu", maka tahulah mereka bahwasanya yang hak itu kepunyaan Allah dan lenyaplah dari mereka apa yang dahulunya mereka ada-adakan. (QS Al-Qashash:70-75)
Ayat-ayat dari surat Al-Qashash ini turun dengan tujuan meletakan prinsip-prinsip yang mendukung akan kebenaran adanya ikatan kuat diantara adanya satu pencipta/kekuatan tunggal yang menguasai dan mengatur pola tata kehidupan yang ada dilangit dan di bumi. Dalam ayat tersebut menyajikan uslub burhani dengan menggunakan premis-premis yang mempunyai keterikatan dengan perkara-perkara yang erat kaitannya dengan pola kehidupan manusia secara langsung.
Kemudian dua ayat darinya (ayat 71-72) menjelaskan tanda-tanda kebesaran yang berkaitan dengan kosmologi (siang dan malam) yang mana hal tersebut sangat kuat hubungannya dengan kegiatan dan aktifitas manusia yang tidak bisa terlepas dari keduanya, sesuai dengan kebutuhan dari pemanfaatan dua jenis tanda alam tersebut (siang untuk bekerja dan malam untuk tidur/istirahat), sehingga dapat terjalinnya hubungan psikologis antara manusia antara siang dan malam tersebut, yang pada akhirnya bisa menggiring manusia kepada pemahaman dan kesimpulan sempurna tentang hakikat dari esensi dan eksistensi dirinya dialam semesta ini, bahwa Allah lah satu-satunya tempat manusia kembali[9].
Dari penelusuran penulis terhadap penyajian ayat-ayat yang menggunakan metode burhani, pada umumnya ayat-ayat tersebut ingin menyampaikan pesan dalam membuktikan keesaan dan kekuasaan Allah Swt, dalam mengurus alam jagad raya ini beserta isinya.
D.    PENUTUP
Definisi Al-Quran yang paling singkat adalah kitabu hidayatin wa i’jazin; sebuah kitab yang mengandung hidayah dan mukjizat. Ke ‘ijazan Al-Quran mencakup dari berbagai aspek; baik dari segi redaksional maupun kandungannya. Tidak tanggung-tanggung untuk membukikan ke mukjizatan Al-Quran pun, Pada masa turunnya dibuktikan dengan menantang manusia untuk menandinginya, dengan membuat yang semisal dengan Al-Quran sehingga mampu mengalahkan keunggulannya baik dari segi aspek bahasa maupun isinya.
Al-Quran dengan keagungannya berhasil dan sukses mengubah paradigma berfikir yang sudah mengakar dalam masyarakat arab yang hidup pada masa itu; dogma, norma dan berbagai aturan adat istiadat yang berlaku baik dari segi akidah, ibadah maupun mu’amalah yang sudah menjadi kebiasaan bangsa arab di dekonstruksi sehingga tunduk dengan tuntunan wahyu dan sesuai aturan islam. Kesuksesan ini tidak telepas dari bagaimana Al-Quran menggunakan berbagai uslub (gaya bahasa) dalam memaparkan doktrin yang dimilikinya, dengan mendobrak dinding sakralitas budaya masyarakat yang berlaku pada waktu itu.
Salah satu uslub tersebut adalah burhani (demonstratif rasional); dimana sejak awal penulis paparkan, bahwa nalar burhani digunakan Al-Quran bertujuan untuk membangun kerangka berfikir dalam rangka meluruskan akidah dan keyakinan yang sudah lama bengkok dan sulit untuk di luruskan. Dalam hal ini Al-Quran berusaha melakukan pendekatan dengan menggunakan dialog secara nalar, yang secara fakta metode burhani dianggap alat yang sangat jitu dalam menaklukan para pembangkang yang dinilai sangat radikal dalam berargumen.



Daftar Pustaka
A. Khudori Soleh, Wacana Baru; Filsafat Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet. 1, 2004)
Abu Al-Fida Ismail Ibn Katsir Ad-Dimasyqi, Tafsir Al-Quran Al-Adzim, Jilid 2, (Cairo: Dar Al-Hadits, 2005)
Asalib Al-Burhan fi Ba’dli Ayat Al-Quran, [Word], (http://faculty.mu.edu.sa/public/uploads/, diakses tanggal 25 Oktober 2015).
Fakhruddin Ar-Razi, At-Tafsir Al-Kabir wa  Mafatih Al-Ghaib, Jilid 22, (Beirut: Dar Fikr, cet. 1, 1981)
Muhammad Fuad Abd Baqi, Al-Mu’jam Al-Mufahras lil Alfadz Al-Quran Al-Karim, (Cairo: Dar Al-Kutub Al-Mishriyyah, 1364)
Sembodo, Januari-Juni, Nalar Bayani, ‘Irfani dan Burhani Dan Implikasinya Terhadap Keilmuan Pesantren, Hermeneia: Jurnal Kajian Islam Interdisipliner, Vol. 6, Nomor.1.






[1] Asalib Al-Burhan fi Ba’dli Ayat Al-Quran, [Word], (http://faculty.mu.edu.sa/public/uploads/, diakses tanggal 25 Oktober 2015), h.8
[2] A. Khudori Soleh, Wacana Baru; Filsafat Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet. 1, 2004), h.219
[3] Sembodo, Januari-Juni, Nalar Bayani, ‘Irfani dan Burhani Dan Implikasinya Terhadap Keilmuan Pesantren, Hermeneia: Jurnal Kajian Islam Interdisipliner, Vol. 6, Nomor.1, h. 79
[4] Ibn Katsir, Tafsir Al-Quran Al-Adzim, Jilid 2, (Cairo: Dar Al-Hadits, 2005), h.537
[5] Muhammad Fuad Abd Baqi, Al-Mu’jam Al-Mufahras lil Alfadz Al-Quran Al-Karim, (Cairo: Dar Al-Kutub Al-Mishriyyah, 1364), h. 118
[6] Asalib Al-Burhan fi Ba’dli Ayat Al-Quran, [Word], (http://faculty.mu.edu.sa/public/uploads/, diakses tanggal 25 Oktober 2015), h.11
[7] Asalib Al-Burhan fi Ba’dli Ayat Al-Quran, [Word], (http://faculty.mu.edu.sa/public/uploads/, diakses tanggal 25 Oktober 2015), h.6
[8] Asalib Al-Burhan fi Ba’dli Ayat Al-Quran, [Word], (http://faculty.mu.edu.sa/public/uploads/, diakses tanggal 25 Oktober 2015), h.8
[9] Asalib Al-Burhan fi Ba’dli Ayat Al-Quran, [Word], (http://faculty.mu.edu.sa/public/uploads/, diakses tanggal 25 Oktober 2015), h.5

STAI ALMAARIF CIAMIS

STAI ALMAARIF CIAMIS

GALERI WISUDA KAMPUS