METODOLOGI PENETAPAN MAQASHID SYARI’AH

 


Oleh : Amin Muhtar, S.Hum., M.H.I.

A.      Latar Belakang

Maqashid Syari’ah, merupakan ruh, spirit, dan hakikat inti dari disyari’atkannya setiap perintah dan larangan dalam agama Islam. Penggunaannya sebagai spirit dalam penetapan hukum, telah dipraktekkan sejak masa hidup Rasulullah SAW, era Sahabat, dan periode tabi’in. Sekalipun demikian, eksistensinya sebagai sebuah objek kajian ilmiah maupun sebagai sebuah aspek pertimbangan perumusan hukum, baru dimulai sekitar akhir abad III H. Adalah Al-Hakim At-Turmudzi, yang dianggap sebagai orang yang pertama menggunakan istilah “maqashid” dan menjadikannya sebagai sebuah objek kajian ilmiah, yang mewujud dalam sebuah kitab karya beliau “Ash-Shalat wa Maqashiduha.”[1]

Pada tahapan selanjutnya, perkembangan kajian mengenai maqashid syari’ah mengalami progress yang sangat signifikan. Eksistensi maqashid syari’ah bukan hanya sebatas objek kajian ilmiah maupun spirit dalam hukum, tapi lebih jauh telah menjadi sebuah pendekatan dalam perumusan hukum itu sendiri. Karena implikasinya yang sangat besar ketika eksist sebagai sebuah pendekatan atau filsafat hukum, maka perlu adanya standarisasi penggalian dan penggunaannya. Hal ini diorientasikan agar pendekatan maqashid tidak dioperasionalkan secara liar dan out of control, sehingga melahirkan produk ijtihad dan kebijakan hukum yang spekulatif dan serampangan. Atas dasar pertimbangan ini, para ulama secara sadar sebagai tanggungjawab etikal-ilmiah, merumuskan aturan-aturan khusus sebagai bentuk penertiban dalam upaya mendeteksi keberadaan maqashid syari’ah dalam kandungan setiap aturan syari’at, sekaligus menetapkannya dalam status layak atau tidak untuk digunakan sebagai dasar pertimbangan perumusan dan istinbath hukum.

B.      Pembahasan

1.      Prinsip-Prinsip Maqashid Syari’ah Dalam Praktek Sahabat Dan Tabi’in

Di periode sahabat, belum ada kejelasan secara teoritis mengenai metode untuk mengetahui dan menetapkan maqashid Syari’ah. Sekalipun demikian, perkembangan praktek ijtihad berbasis maqashid di fase ini telah berlangsung secara prinsipil. Prinsip-prinsip maqashid telah mewarnai dan mempengaruhi baik perbuatan, sikap, fatwa dan pernyataan, maupun kebijakan hukum ijtihad para sahabat. Mendalami dan menelaah hasil produk kebijakan (ijtihad) para sahabat yang berbasis maqashid, maka latar belakang dan pertimbangan yang diambil dalam proses perumusan itu dapat dipetakan pada prinsip-prinsip berikut:

a.       Prinsip Pertimbangan Maslahat dan Mafsadat dalam Skala Prioritas

Prinsip jalb al-maslahah dan dar’ al-mafsadah dalam timbangan skala prioritas, banyak mewarnai proses dan produk ijtihad di masa sahabat. Hal ini dapat dilihat dari berbagai hasil kebijakan hukum yang bersifat ijtihadi berikut:

§ Kebijakan Khalifah Umar terkait penundaan hudud kepada prajurit perang

Diriwayatkan bahwa Khalifah Umar pernah mengirim surat edaran kepada seluruh panglima pasukan perang, di antaranya berisi pernyataan;

" ألا يجلدن أمير الجيش ولا أمير السرية أحدا بحد حتى يطلع على الدرب ، لئلا يحمله الشيطان
أن يلحق بالمشركين...[2]

Kebijakan penundaan penegakan hukum Allah (al-hudud) ini diambil oleh Khalifah Umar dalam rangka pertimbangan menghindarkan mafsadah di balik itu. Potensi terjadinya ketidakpuasan oknum yang ditegakkan hudud terhadapnya serta kemungkinan terjadi pembelotan ke pihak musuh, jelas merupakan bahaya yang bisa mengancam soliditas dan kesatuan pasukan. Pertimbangan adanya ancaman mafsadah yang lebih besar inilah yang mendorong Khalifah memilih untuk menghindarkannya secara prioritas, ketimbang menegakkan hukum Allah dengan segera.

§ Kebijakan Khalifah Umar terkait larangan menikahi perempuan ahl al-kitab. Diriwayatkan oleh imam Al-Jashshash dalam tafsirnya, bahwasanya Sahabat Hudzaifah menikahi seorang gadis yahudi. Khalifah Umar mengiriminya surat yang menganjurkan untuk meninggalkan perempuan tersebut. Hudzaifah membalas surat khalifah mempertanyakan apakah hal itu haram? Khalifah membalas dengan jawaban:

" لا...! ولكن أخاف أن يقتدى بك المسلمون ، فيختارون نساء أهل الذمة لجمالهن ، وكفى
بذلك فتنة لنساء المسلمين... [3]

Sahabat Hudzaifah ketika menikahi wanita Yahudi secara hukum dibolehkan dalam Islam. Di samping itu, ada maslahat personal bagi Hudzaifah sendiri dari sisi realitas wanita Yahudi yang rata-rata berparas menarik (sebagaimana secara sarih dalam ungkapan Khalifah). Akan tetapi, ada kekhawatiran munculnya efek mafsadah yang bersifat sosial, terkait dengan status Hudzaifah sebagai sahabat panutan umat. Khalifah menyatakan kekhawatiran beliau jangan sampai umat akan mengikuti perbuatan Hudzaifah. Bila itu terjadi, ancaman mafsadah dan fitnah yang lebih besar lagi akan muncul dari perempuan muslim, baik dalam wujud ketidakpuasan, merasa adanya perlakuan diskriminasi jasadiah, dll.

§ Kebijakan Khalifah Umar tentang pergiliran masa tugas di medan perang bagi prajurit beristeri maksimal empat bulan. Kebijakan ini ditetapkan, bermula dari sebuah peristiwa pada suatu malam. Ketika Khalifah sedang melakukan ronda, beliau mendengar seorang perempuan mendendangkan sya’ir bernada nelangsa.

Setelah mengumpulkan informasi, Khalifah mengetahui bahwa perempuan tersebut adalah isteri dari salah seorang prajurit yang telah berbulan-bulan bertugas di medan perang. Khalifah pun bertanya kepada isteri beliau dan putri-putrinya yang telah bersuami, mengenai berapa lama normalnya seorang perempuan menikah dapat bersabar jauh dari suaminya. Mereka menjawab: “Normalnya dua bulan. Bulan ketiga kesabaran mulai berkurang. Bulan keempat kesabaran itu semakin menipis dan terancam habis.

Atas dasar keterangan ini, Khalifah mengirimkan edaran kepada para panglima di medan perang yang berisi maklumat:

لا تحبسوا رجلا عن امرأته أكثر من أرتعة أشهر[4]...!

b.      Prinsip Kontekstualisasi Illat Hukum

Prinsip yang cukup dominan dalam ijtihad sahabat yang berbasis maqashid adalah kontekstualisasi illat. Dalam artian, bahwa para sahabat melakukan perubahan dan modifikasi hukum suatu perkara dari ketetapan awalnya, berdasarkan perubahan illat hukum tersebut. Praktek ini dapat dilihat pada beberapa contoh berikut:

§ Kebijakan Khalifah Umar mengenai peniadaan bagian mu’allaf dalam zakat. Kebijakan Khalifah Umar meniadakan bagian zakat bagi muallaf (yang ditetapkan dalam nash Al-Qur’an, dipraktekkan oleh Rasulullah dan Khalifah Abu Bakar) tidak lepas dari pandangan beliau bahwa perkara ini merupakan perkara hukum yang mu’allalah (memiliki illat).

Status hukum bisa berubah sesuai dengan perubahan illat itu. Hal ini terungkap dari alasan Khalifah Umar ketika dua orang (muallaf) datang kepada beliau meminta hak bagian distribusi zakat, Khalifah menjawab:

إن الرسول صلى االله عليه وسلم كان يتألفكما والإسلام يومئذ ذليل ، وأن االله قد أعز الإسلام
فاذهبا واجهدا جهدكما.. [5]

§ Pendapat Bilal bin Abdullah bin Umar bin Khattab, terkait perempuan yang memakai perhiasan ke masjid. Bilal, dalam pendapatnya dengan tegas melarang kaum perempuan memakai perhiasan ketika hendak pergi ke dalam masjid. Padahal perintah di dalam Al-Qur’an untuk mengenakan perhiasan ketika hendak ke masjid berlaku umum (baik laki-laki maupun perempuan). Larangan Bilal ini dibangun berdasarkan “illat” bahwa hal itu bisa menimbulkan fitnah dan mafsadah, yang bukan hanya untuk perempuan itu sendiri tetapi juga untuk kaum laki-laki.[6]

c.       Prinsip Respon terhadap Realitas Sosial dan Kebutuhan Zaman.

§ Ijtihad Khalifah Utsman tentang adzan Jum’at

عن السائب بن يزيد قال كان النداء يوم الجمعة أوله إذا جلس الإمام على المنبر على عهد
النبى صلى االله عليه و سلم و أبى بكر و عمر رضى االله عنهما ، فلما كان عثمان و كثر
الناس زاد النداء الثالث على الزوراء [7]

Berdasarkan literal pernyataan ini, sangat jelas terlihat bahwa kebijakan penambahan jumlah adzan jum’at karena didasarkan pada tuntutan realitas sosial dan kebutuhan zaman.

§ Pernyataan Sayyidah Aisyah terkait kaum perempuan yang melaksanakan shalat di masjid.[8]

Dimaklumi dalam ketetapan Rasulullah, bahwa perempuan diperbolehkan datang ke masjid, sebagaimana hadits riwayat Abu Daud:

" لا تمنعوا إماء االله مساجد االله ، ولكن ليخرجن تفلات "

Pembolehan ini tentu tidak lepas dari setting sosial yang saat itu memungkinkan bagi kaum perempuan melaksanakan shalat di masjid dengan aman dan nyaman. Akan tetapi, seiring dengan perubahan realitas sosial sepeninggal Rasulullah, serta munculnya peristiwa-peristiwa yang menimbulkan fitnah dan dan hal-hal yang tidak diinginkan terhadap kaum perempuan itu sendiri, maka sayyidah Aisyah mengungkapkan statemen sebagaimana diriwayatkan Imam Abu Daud:

 لو أدرك رسول االله ما أحدث النساء لمنعهن المسجد

Sekalipun ungkapan Sayyidah Aisyah ini tidak serta-merta berimplikasi hukum, tapi sikap dan pandangan beliau sangat terkait dan dilatar belakangi oleh perubahan realitas sosial dan tuntutan zaman.

§ Pendapat Sa’id bin Musayyab terkait penetapan standar harga oleh Pemimpin. Sa’id bin Musayyab berpendapat boleh bagi seorang pemimpin untuk menetapkan standar harga (yang pada hakikatnya enggan untuk dilakukan oleh Rasulullah SAW), berdasarkan realita sosial dan tuntutan di zamannya. Ketika kaum muslimin mengalami persentuhan dan interaksi dengan umat lain dalam mekanisme perdagangan, ada semacam kecenderungan spekulatif dalam penetapan harga jual yang menyulitkan umat secara umum. Atas dasar ini, Sa’id bin Musayyab menyerukan pendapatnya, demi maslahat sosial (pembeli) yang lebih besar ketimbang keuntungan personal (penjual).[9]

2.      METODE MENGETAHUI (THURUQ AL-MA’RIFAH) MAQASHID ASY-SYARI’AH

Langkah pertama yang harus ditempuh serangkaian dengan penggunaan maqashid syari’ah sebagai aspek pertimbangan, landasan, dan pendekatan perumusan hukum, adalah mendeteksi dan mengetahui (al-ma’rifah) eksistensi maqashid syari’ah itu sendiri. Hal ini sangat penting untuk meminimalisir penetapan maqashid syari’ah secara liar berdasarkan klaim-klaim spekulatif dan tidak berdasar sebagai basis ijtihad.[10]

Secara umum, Imam Al-Ghazali menyatakan bahwa maqashid syari’ah dapat diketahui dari keterangan-keterangan Al-Qur’an, As-Sunnah, dan Al-Ijma’.[11]

Terkait dengan kajian Al-Qur’an, yang sangat dibutuhkan dalam mendeteksi dan memahami maqashid syari’ah adalah penghayatan hikmah-hikmah ayat-ayat suci (tadabbur) serta pendalaman melalui kitab-kitab tafsir Al-Qur’an yang mu’tabar. Demikian halnya untuk mengetahuinya lewat sunnah, dengan mengkaji lebih dalam kitab-kitab hadits sahih, kitab-kitab sunan, masanid, jawami’, dan syarah-syarah hadits yang diakui kualitasnya.[12]

Lebih lanjut, Imam Izzuddin membedakan pendekatan dalam mendeteksi dan memahami maqashid syari’ah berdasarkan objek kajiannya. Untuk mendeteksi dan memahami maqashid (maslahat dan mafsadat) yang bersifat diniyah, tidak ada jalan lain untuk mewujudkannya kecuali melalui keterangan-keterangan normatif (naqli) baik dari Al-Qur’an, As-Sunnah, Al-Ijma, Al-Qiyas Al-Mu’tabar, dan Al-Istidlal As-Sahih.[13]

Sementara untuk maslahat yang bersifat dunawiyah, pendekatannya boleh berdasarkan dalil logika (aqli) dan optimalisasi penggunaan nalar dan rasio yang benar lewat serangkaian eksperimen, kebiasaan empirik, kumpulan hipotesa, dll. Hal ini sebagaimana diisyaratkan beliau dalam kitabnya15: Berdasarkan rincian ini, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat dua cara untuk mendeteksi dan memahami maqashid syari’ah, yaitu pendekatan normatif (berdasarkan keterangan Al-Qur’an, As-Sunnah, dan Al-Ijma) dan pendekatan logis rasional (dengan memaksimalkan nalar berdasarkan kaidah berfikir yang benar).

3.      Metode Penetapan (Thuruq Al-Itsbat) Maqashid Syari’ah

Metode penetapan (thuruq al-itsbat) maqashid Syari’ah, pada hakikatnya merupakan penjelasan teknis dan opersionalisasi lanjutan dari cara menyingkap (thuruq al-ma’rifah) maqashid syari’ah. Para ulama berbeda-beda dalam rumusan metodologi penetapan maqashid. Perbedaan ini ada yang bersifat perbedaan substantsi kebahasaan, dan ada berupa perbedaan terminologi.

Beberapa rumusan mengenai thuruq al-itsbat li maqashid asy-ysari’ah Menurut Imam Izzuddin bin Abdissalam (w. 660 H) dengan menggunakan pendekatan yang berbeda dalam memahami maqashid syari’ah, sesuai dengan objeknya.

a.          Menetapkan maqashid (maslahat dan mafsadat) langsung
berdasarkan perintah dan larangan syari’at.

Dalam keterangannya, Izzuddin menyatakan bahwa setiap perintah dan larangan syari’at, secara otomatis mengandung maqashid. Di balik setiap perintah pasti ada dimensi kemaslahatan, baik duniawi, ukhrawi, atau keduanya sekaligus. Demikian pula, di balik setiap larangan pasti mengandung unsur mafsadat di dalamnya, baik mafsadat duniawi, ukhrawi, maupun keduanya sekaligus.[14]

b.          Memperhatikan urutan derajat maqashid dalam skala prioritas Maqashid syari’ah (maslahat dan mafsadat) baik duniawi maupun ukhrawi, memiliki tingkatan derajat yang berbeda (mutafawitat). Ada maslahat yang lebih tinggi nilainya dari maslahat lainnya, demikian pula mafsadat, ada yang lebih buruk dari mafsadat yang lainnya. Untuk menetapkan maslahat yang mu’tabar, maka dibutuhkan kemampuan untuk memilah dalam skala prioritas.

c.           Mendahulukan mi’yar syar’i daripada aqli.

Sebagaimana dinukil oleh Bin Zughaibah dari Imam Izzuddin, “Bahwasanya Al-Qur’an dan As-Sunnah mencakup perintah untuk mengambil maslahat serta larangan yang mengandung mudharrat. Ada yang ditunjukkan dengan redaksi perintah dan larangan secara lafadz, ada yang diisyaratkan oleh janji yang baik dan ancaman buruk.”[15]

Maka dipahami dari ungkapan ini, bahwa perintah dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, mutlak mengandung maslahat sekalipun secara akal tidak bisa dicerna. Demikian pula, bahwa larangan dalam Al-Qur’an mengandung mafsadat secara mutlak sekalipun secara akal tidak bisa dirasionalkan.[16]

Sedangkan menurut Nuruddin Al-Khadimi pemetaan mengenai metode penetapan maqashid syari’ah dalam pembagian yang lebih sederhana, yaitu melalui dua metode berikut[17]:

1.       Istinbath secara langsung dari nash-nash Al-Qur’an dan As-Sunnah

2.       Mensarikan (al-istikhraj) dari maqashid al-ashliyah dan maqashid attabi’ah.

C.      Penutup
Dari kajian sederhana dalam pembahasan ini, dapat ditarik beberapa simpulan berikut:

1.       Dalam praktek ijtihad sahabat dan tabi’in, prinsip-prinsip operasionalisasi maqashid syari’ah dapat dipetakan dalam tiga pendekatan: - Prinsip pertimbangan maslahat dan mafsadat dalam skala prioritas - Prinsip kontekstualisasi illat hukum - Prinsip respon terhadap realitas sosial dan tuntutan zaman

2.       Thuruq ma’rifat maqashid syari’ah, pendekatannya dibedakan berdasarkan objek kajiannya. Untuk maqashid diniyah, pendekatannya melalui sinkronisasi dalil-dali
naqli dan aqli. Sementara untuk maqashid diniyah-ukhrawiyah, pemahamannya mutlak hanya dengan pendekatan dalil naqli saja.

3.       Dari beragam rumusan thuruq itsbat maqashid syari’ah dalam kajian ulama, sistematisasi umum yang dianggap paling komprehensif adalah pemetaan berikut:

- Penetapan berdasarkan literal nash (dalalah alfadz an-nushush) : Penetapan berdasarkan pemahaman makna nash (mafhum an-nushush) 

- Penetapan berdasarkan konvergensi antara literal nash dan makna.

 

 Daftar Pustaka

Abdurrahman Salih Babakr, “Al-Maqashid fi Asy-Syari’at Al-Islamiyah,” Al Ma’had AlWathani Al-Ali Al-Jazairi, Aljazair: 2002.

Abu Hamid Al-Ghazali, “Al-Mustashfa min Ilmi Al-Ushul,” Al-Jami’ah Al Islamiyah AlMadinah Al-Munawarah, Madinah: 1413 H.

Ahmad Raisuni, “Al-Bahts fi Maqashid Asy-Syari’ah; Nassy’atuh wa Tathawwuruh wa Mustabaluh,” Makalah forum ilmiah internasional tentang Maqashid Syari’ah, London: Mei 2003.

Ali Al-Jurjani, “At-Ta’rifat,” Dar Al-Kutub Al-Islamiyah, Jakarta: 2012.

Bin Zughaibah Izzuddin, “Al-Maqashid Al-Ammah li Asy-Syari’at Al-Islamiyah,” Dar AshShafwah, Kairo: 1996.

Ibrahim Abu Ishaq Asy-Syathibi, “Al-Muwafaqat fi Ushul Asy-Syari’ah,” Maktabah AtTijariyah Al-Kubra, Mesir: tt.

Izzuddin bin Abdissalam, “Al-Qawa’id Al-Kubra,” Dar Al-Qalam, Damaskus: 2000.

Muhammad Bakr Ismail Habib, “Maqashid Asy-Syari’ah Ta’shilan wa Taf’ilan,” Rabithah Al-Alam Al-Islami, Makkah: 2003.

Muhammad Rawwas Qal’ahji, “Mausu’ah Fiqh Umar bin Khatthab,” Maktabah Al-Falah, Kuwait: 1981.

Muhammad Sa’id Al-Yubi, “Maqashid Asy-Syari’ah wa Alaqatuha bi Al-Adillah AsySyar’iyah,” Dar Al-Hijrah, Riyadh: 1998.

Nuruddin Al-Khadimi, “Ilmu Al-Maqashid Asy-Syar’iyah,” Maktabah Al-Ubaikan, Riyadh: 2001.

Yusuf Ahmad Muhammad Al-Badhawi, “Maqashid Asy-Syari’ah inda Ibn Thaimiyah,”



[1] Ahmad Raisuni, “Al-Bahts fi Maqashid Asy-Syari’ah; Nassy’atuh wa Tathawwuruh wa Mustabaluh,” Makalah forum ilmiah internasional tentang Maqashid Syari’ah, Muassasah Al-Furqan li At-Turats, London: Mei 2003, hlm. 5

[2] Muhammad Rawwas Qal’ahji, “Mausu’ah Fiqh Umar bin Khatthab,” Maktabah Al-Falah, Kuwait: 1981, hlm. 273.

[3] Abdurrahman Salih Babakr, “Al-Maqashid fi Asy-Syari’at Al-Islamiyah,” Al-Ma’had Al-Wathani Al-Ali AlJazairi, Aljazair: 2002, hlm. 19.

[4] Muhammad Rawwas Qal’ahji, “Mausu’ah Fiqh Umar bin Khatthab,” hlm. 236

[5] Muhammad Rawwas Qal’ahji, “Mausu’ah Fiqh Umar bin Khatthab,” hlm. 267

[6] Yusuf Ahmad Muhammad Al-Badhawi, “Maqashid Asy-Syari’ah inda Ibn Thaimiyah,” Dar An-Nafais, Yordania: 1999, hlm. 70-71.

[7] Imam Al-Bukhari, “Jami’ Ash-Shahih,” juz III, hadits no. 8

[8] Abdurrahman Salih Babakr, “Al-Maqashid fi Asy-Syari’at Al-Islamiyah,” hlm. 18.

[9] Yusuf Ahmad Muhammad Al-Badhawi, “Maqashid Asy-Syari’ah inda Ibn Thaimiyah,” hlm. 70-71

[10] Muhammad Bakr Ismail Habib, “Maqashid Asy-Syari’ah Ta’shilan wa Taf’ilan,” Rabithah Al-Alam Al-Islami, Makkah: 2003, hlm. 36 -37.

[11] Abu Hamid Al-Ghazali, “Al-Mustashfa min Ilmi Al-Ushul,” Al-Jami’ah Al-Islamiyah Al-Madinah Al Munawarah, Madinah: 1413 H, juz. 2, hlm. 502

[12] Muhammad Bakr Ismail Habib, “Maqashid Asy-Syari’ah Ta’shilan wa Taf’ilan,” hlm. 136.

[13] Izzuddin bin Abdissalam, “Al-Qawa’id Al-Kubra,” Dar Al-Qalam, Damaskus: 2000, hlm. 13.

[14] Izzuddin bin Abdissalam, “Al-Qawa’id Al-Kubra,” hlm. 11

[15] Bin Zughaibah Izzuddin, “Al-Maqashid Al-Ammah li Asy-Syari’at Al-Islamiyah,” hlm. 109

[16] Bin Zughaibah Izzuddin, “Al-Maqashid Al-Ammah li Asy-Syari’at Al-Islamiyah,” hlm. 109

[17] Nuruddin Al-Khadimi, “Ilmu Al-Maqashid Asy-Syar’iyah,” hlm. 67 – 69.


Editor: Sakinah F.

STAI ALMAARIF CIAMIS

STAI ALMAARIF CIAMIS

GALERI WISUDA KAMPUS