Oleh : Amin Muhtar, S.Hum., M.H.I.
A. Latar Belakang
Sesuai dengan karakteristiknya, Islam merupakan agama
yang komprehensif dan universal. Legitimasi tersebut lahir karena ajaran Islam mencakup
berbagai aspek, baik itu aspek ketuhanan (theology) maupun aspek
kemanusiaan (humanism). Islam bukan merupakan agama arogan/egosentris
yang hanya mengharuskan setiap pemeluknya untuk mengagung-agungkan
penciptanya saja, tetapi lebih jauh lagi justru Islam hadir untuk mengangkat
harkat dan martabat manusia. Sebagai studi kasus, bagaimana sosio-kultural pada
zaman jahiliyah yang memperlakukan orang-orang Islam dengan berbagai siksaan
karena tidak mau mengikuti ajaran mereka, memenjarakan hak-haknya dan tidak
memberikan sedikitpun ruang kepada mereka untuk melaksanakan keyakinannya serta
keadilan pada waktu itu merupakan harga yang sangat mahal. Maka setelah Allah
mengutus rosulullah sebagai pemberi kabar gembira dan peringatan terhadap
manusia, keadaanpun menjadi berbeda karena Islam memberikan solusi terhadap
realitas empirik pada waktu itu yang penuh dengan berbagai ketidak adilan.
Berbagai solusi itu bisa kita terjemahkan melalui
syari‟atnya yang sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan, karena agama Islam
merupakan agama yang mengakomodir pelbagai kebutuhan manusia serta tidak
memberikan kesulitan bagi semua pengikutnya dalam melarapkan hukum-hukmnya
sebagaimana disinyalir dalam Al-Qur‟an surat Al-Hajj: 78
“Dan
Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama
kesempitan”
Dengan kata lain, Islam menghendaki suatu upaya
pencegahan dan penghilangan segala apa yang membuat manusia merasa masyaqah,
kepayahan dan terciptanya kemaslahatan seluruh umat manusia, tak terkecuali
hanya yang membedakan mungkin dari sisi konsekuensi (balasan) dan perlakuan
terhadap orang-orang di luar Islam. Konsep penghilangan unsur kesempitan bagi
manusia dan maslahat ini menjadi menarik untuk dipetakan karena banyak
pemahaman yang liar tentang teori ini terkait dengan pemecahan suatu hukum yang
tidak diinterpretasikan oleh Al-Qur‟an secara tekstual sehingga banyak
menimbulkan pro dan kontra tidak hanya dikalangan para intelektual kontemporer
saja. Namun, ulama dulu pun tak lepas dari debatable seputar konsep maslahat
ini. Untuk memetakan konsep ini maka disini penulis hendak mengungkap
hakikat yang menjadi ukuran dalam aturan Raf‟u al-Haraj (menghilangkan
kesempitan) demi mencapai sebuah maslahat sebagai sebuah tinjauan Qawaid
alFiqhiyah.
B. Pembahasan Konseptual Raf’u
Al-Haraj dan Syariat Islam
1.
Makna al-Haraj
Kata al-Haraj, baik dibaca dengan baris fathah
(Haraj) maupun kasrah ro‟ (harij)- dalam
literatur-literatur yang sudah ada memiliki makna dasar yang beragam. Dalam
kamus Lisan al-„Arabi –misalnya- kata al-Haraj diartikan sebagai
suatu tempat yang sempit yang dipenuhi pohon yang serabutnya saling bersambung.[1]
Selain itu, ada
juga yang memaknai kata al-Haraj secara maknawiyah (abstaksi)
atau makna konotasi dengan makna dosa, sebagaimana yang terdapat dalam
al-Qur‟an;
Óltym ÇÙÌyJø9$# n?tã wur Óltym ÆltôãF{$# n?tã wur Óltym 4yJôãF{$# n?tã }§ø©9
“Tidak
ada dosa bagi orang buta, tidak (pula) bagi orang pincang, tidak (pula) bagi orang sakit, dan tidak (pula) bagi dirimu
sendiri”
Juga terkadang bermakna tahrim
(mengharamkan), ragu-ragu, dan bahkan bermakna sinonimnya.[2]
Secara sederhana al-Haraj dapat berarti kesempitan atau yang sempit,
tidak longgar. Sedangkan secara terminologi al-Haraj diartikan sebagai
segala sesuatu yang mencapai kondisi kepayahan, kesulitan berlebihan, baik pada
tubuh, jiwa, maupun harta, baik pada masa yang sedang berlangsung maupun masa
depan.[3]
Dalam arti, ketika seseorang melakukan sesuatu sampai
mencapai kepayahan dan kesulitan berlebihan maka disanalah ia akan merasal
sempit, tidak merasa longgar melakukan hal tersebut sehingga tidak mampu
melakukan sesuatu yang sedang dikerjakan. Kesempitan semacam ini lah yang
dimaksud dengan al-Haraj. Jika melihat kembali sedikit pada makna secara
bahasa akan ditemukan titik pertemuan dengan maksud yang dikehenaki secara
syar‟i. Ini gambaran mengenai makna al-Haraj, kesempitan yang
diformulasikan dalam literaturliteratur hukum Islam. Dalam pengertian ketika
seseorang mendapatkan satu kondisi yang sulit di luar batas kemampuannya
niscaya ia tidak leluasa melaksanakan kewajiban yang hendak ia perbuat.
Saat itu pula dirinya akan merasakan keraguan apakah dia mampu ataukah
tidak menunaikan kewajibanya.
Sehingga sebagai konsekuensinya ia akan mendapatkan dosa
tatkala tidak melaksanakannya. Dalam hal ini, sudah menjadi sebuah nilai
agama yang fundamental dan baku bahwa syariat Islam tidak pernah mendatangkan
dan menuntut sesuatu yang membuat manusia merasa berat untuk melaksanakannya.
Justru hukum-hukum yang didatangkan syariat berkesesuaian dengan perbuatan
mukallaf yang apabila muncul satu kesukaran dalam melaksanakan satu perintah
atau larangan selalu disertai keringanan dan kemurahan-kemurahan syar‟i.
2.
Korelasi antara al-Haraj, Dhoruroh, Hajah dalam
lingkup
Maslahah
Ada satu kesinambungan
dan korelasi yang erat antara al-Haraj, Dhorurah, Hajah, dan Maslahah.
Akan tetapi, untuk lebih dapat menghasilkan satu pemaparan yang mengena
alangkah baiknya jika dikontraskan terlebih dahulu pengertian dari
msaing-masing Dhorurah, Hajah, dan Maslahah. Menurut al-Syatibi, kemaslahatan
manusia akan dapat terealisasi jika kelima unsur pokok kehidupan manusia dapat
terealisasi dan dipelihara yakni agama atau keyakinan, jiwa, akal, keturunan
dan harta. Dalam kerangka inilah alSyatibi membagi urutan dan skala prioritas
maslahat menjadi tiga urutan peringkat, yaitu Daruriyat, hajiyat,
dan tahsiniyat.
Daruriyat adalah kemaslahatan primer bagi kehidupan manusia dan
karena itu wajib ada sebagai syarat mutlak terwujudnya kehidupan itu sendiri,
baik dunia maupun akhirat. Dengan kata lain jika Daruriyat ini tidak
terwujud, niscaya kehidupan manusia akan punah. Daruriyat ini mencakup
pemeliharaan lima unsur pokok dalam kehidupan, yakni yakni agama atau
keyakinan, jiwa, akal, keturunan dan harta. Contoh untuk penunaian aspek ini
misalnya menunaikan rukun Islam, pelaksanaan kehidupan manusiawi serta larangan
mencuri yang masing-masing merupakan salah satu bentuk pemeliharaan eksistensi
agama dan jiwa serta perlindungan terhadap eksistensi harta.
Dengan demikian, setiap
manusia meski pula menghargai keberagamaan orang lain, menghormati jiwa,
menghargai kebebasan berfikir dan berpendapat, menjaga keturunan (hak
reproduksi) serta menghargai kepemilikan harta tiap orang. Imam al-Syatibi
menegaskan bahwa kemaslahatan yang bersifat primer tersebut merupakan inti
semua agama dan ajaran.
Di sisi lain, hajiyat
merupakan segala hal yang menjadi kebutuhan skunder manusia agar hidup
manusia bahagian dan sejahtera dunia dan akhirat, serta terhindar dari berbagai
kesengsaraan. Dengan pernyataan lain bahwa jenis kemaslahatan ini adalah yang
tidak menyebabkan ambruknya tatanan sosial, ekonomi dan hukum, melainkan
sebagai upaya untuk meringankan bagi pelaksanaan tatanan sosial, ekonomi dan
hukum. Jika kebutuhan ini tidak tertunaikan, manusia akan mengalami kesulitan
(masyaqqah) meski tidak sampai menyebabkan kepunahan.
Contoh jenis maqasid ini
dalam bidang ekonomi Islam misalnya mencakup kebolehan melaksanakan akad
mudharabhah, muzara‟ah, musaqat dan bai‟ salam, serta berbagai aktivitas
ekonomi lainnya yang bertujuan untuk memudahkan kehidupan dan menghilangkan
kesulitan. Dalam hal ibadat misalnya, bahwa dalam praktek peribadatan diberikan
dispensasai (al-rukhash al-mukhaffafah) apabila dalam pelaksanaannya terdapat
kesulitan.[4]
Bagi mereka yang melakukan perjalanan jauh, sakit dan orang tua renta diberikan
keringanan yang diatur dalam fiqih. Kemaslahatan ini ingin memberikan pesan
bahwa dalam pelaksanaan peribadatan pun masih diberikan beberapa keringanan
dalam rangka memberikan kemaslahatan dan kenyamanan bagi pemeluknya, sehingga
beragama dan beribadah terhindar dari merasa keberatan dan keterpaksaan.
Tingkatan terakhir
adalah tahsiniyat yakni berupa kebutuhan hidup komplementer-sekunder
untuk menyempurnakan kesejahteraan hidup manusia. Jika kemaslahatan tahsiniyyat
ini tidak dipenuhi, maka kemaslahatan hidup manusia kurang sempurna dan kurang nikmat
meski tidak menyebabkan kesengsaraan dan kebinasaan hidup. Contoh jenis
al-maqasid ini adalah antara lain mencakup kehalusan dalam berbicara dan
bertindak serta pengembangan kualitas produksi dan hasil pekerjaan. Jenis
kemaslahatan ini lebih memberikan perhatian pada masalah estetika dan etiket,
masuk dalam katagori ini misalnya ajaran tentang kebersihan, berhias, shadaqah
dan bantuan kemanusiaan. Kemaslahatan ini juga penting dalam rangka
menyempurnakan kemaslahatan primer dan skunder.
Maka bisa dipastikan
kebutuhan dalam kelompok ketiga lebih bersifat komplementer.[5]
Dalam kerangka ini, dapat dikatakan bahwa kondisi dhoruroh dalam term syar‟i
merupakan satu kondisi yang lebih tinggi tingkat penghabatannya ketimbang al-Haraj.
Sehingga ada pengecualian-pengecualian hukum dalam kondisi dhorurat di atas
legalitas faktual hukum yang terjadi dalam al-Haraj. Namun yang pasti,
keduanya merupakan satu hal yang dianugrahkan Allah bagi umatnya dilihat dari
sisi kebijakan-kebijakan-Nya memahami kondisi demikian yang di alami manusia
dalam menjalankan ajaran-Nya.
3.
Landasan Normatif Konsep Raf’u al-Haraj
Manusia merupakan
makhluk sosial. Oleh karena itu, manusia akan selalu bersentuhan dengan
dinamika kehidupan yang melingkupinya. Lingkungan manusia sangat mempengaruhi
kondisi yang dihadapinya, sehingga adakalanya dia gembira, susah, senang,
sedih, aman, takut, tenang, khawatir, dan lain sebagainya. Sifat-sifat yang di
alami manusia ini merupkana tabi‟at dasar manusia yang merupakan Sunnatullah,
sehingga mau tidak mau manusia tidak bisa menghindari kondisi ini dalam
kesehariannya. Sebagai Agama yang menjadi pedoman umat manusia, Islam
memposisikan dirinya sebagai Rahmatan Lil‟alamin, Islam tidak melepaskan
perhatiannya pada unsur-unsur kesulitan yang di alami umatnya. Sebenarnya, jika
kita lihat legitimasi nash-nash al-Qur‟an dan al-Sunnah berikut disampaikan
dalam surat Al-Baqarah:185
u(ô£ãèø9$# ãNà6Î/ ßÌã wur tó¡ãø9$# ãNà6Î/ ª!$# ßÌã
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak
menghendaki kesukaran
bagimu”.
Al-Qurthubi menyatakan
bahwa latar belakang turunnya ayat ini dalam konteks pemberian keringanan hukum
berupa diperbolehkannya berbuka puasa bagi orang sakit atau orang yang sedang
melakukan perjalanan (musafir).[6]
Sebagian ahli tafsir, menyimpulkan bahwa ayat ini mengandung pesan mendasar
yang universal yang berlaku dalam skala sangat luas. Dalam arti, kemudahan yang
diberikan dalam ayat itu tidak hanya berlaku kepada orang sakit dan musafir,
melainkan bagi semua umat Islam yang mengalami kesulitan. Al-Hajj: 78
8ltym ô`ÏB ÈïûdÏ9$# Îû ö/ä3øn=tæ @yèy$ _اtBur
“dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam
agama suatu
kesempitan”.
Al-Maidah:
6
8ltym ô`iÏN Bà6øn=tæ @yèôfuÏ9 ª!$# ßÌã $tB
“Allah tidak hendak
menyulitkan kamu”.
Dalam ayat ini Allah Swt
kata al-Haraj yang ditafsirkan kondisi sulit, yang mencakup berbagai
macam kesulitan yang dalam segala bentuknya28. Apalagi jika ditelisik dalam
surat al-Hajj di atas mencantmkan kata ad-Din yang secara eksplisit
menunjukan bahwa kesulitan yang dimaksud adalah setiap kesulitan yang timbul
dalam kerangka keagamaan atau syariat. Dengan demikian, peniadaan kesulitan
dalam Islam merupakan apresiasi syar‟i terhadap dialektika kehidupan umat yang
tidak mungkin lepas dari beragam bentuk kesulitan. Dalam ayat yang ketiga juga menunjukan
satu konsep kemudahan yang ditunjukan al-Qur‟an sebagai konsep ajaran agama.
Syaikh Yasin ak-Fadaani mengaakan bahwa ini menunjukan upaya Islam untuk
memberi kebaikan, keringanan, dan keutamaan kepada umat. Selain itu, keringanan
tersebut menjadi titik pembeda antara syariat Islam dengan hukum kaum Bani
Isra‟il dan umatumat terdahulu.[7]
Dari sini dapat diambil
benang merah bahwa hukum Islam, baik ritual maupun sosial telah dimodif dengn
aspek kemudahan, pleksibel dan penuh toleransi.[8]
Selain nash-nash al-Qur‟an di atas dapat dilacak dari hadits-hadits Nabi
sebagai berikut:
إنما بعثــــــتم ميسرين ولم تبعـــثــوا معسرين
“Kalian semua diutus
untuk memberi kemudahan tidak untuk menyulitkan”
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم إ ّن دين الله يسر،
ثلاثا
Rasulullah Saw.
Bersabda: “sesungguhnya agama Allah adalah agama yang
mudah”.
بعثت
بالحنيفة السمحة
“Aku (Nabi) diutus untuk
meninggalkan yang tidak berhak dan dengan membawa ajaran yang mudah”.
Dapat ditelusuri dari
hadits yang terakhir misalnya ada istilah Samhah. Kata samhah diartikan
toleran, dengan kata lain bahwa agama menurut al-Munawi tidak membebani dosa
dan tidak memberakan umatnya yang dala keadaan kesulitan. dan dalam Islam hal
terebut justru tidak pernah terjadi.
4.
Raf’u al-Haraj Sebagai sebuah Metodologi Hukum
Islam
a.
Periode Nabi dan Sahabat
Sebenarnya di masa hidup
Rasulullah Saw., beragam persoalan yang dihadapi umat sudang banyak bermunculan
berkenaan dengan ajaran agama Islam, akan tetapi dapat diselesaikan dengan dengan
baik. Kondisi ini disebabkan oleh karena Rasulullah menjadi pusat rujukan
pemecahan atas semua masalah yang dihadapi umat Islam saat itu masih ada.
Adapun perkembangan selanjutnya tidaklah demikian, karena persoalan yang
dihadapi umat berkembang pesat dan kian kompleks seiring berkembangnya tatanan
kehidupan. Kondisi inilah yang kemudian menjadikan persoalan dikalangan umat
Islam dari masa ke masa kian rumit.
Sebagai kitab suci,
al-qur‟an tidak memuat secara terperinci setiap aspek hukum. Tujuan utama al-qur‟an
adalah meletakkan suatu way of life yang mengatur hubungan manusia dengan
manusia dan manusia dengan Allah Persoalan inilah yang dalam realitas
sejarahnya menimbulkan usaha serius di kalangan ulama untuk melakukan
ijtihad36. Bentuk ijtihad yang dilakukan oleh umat Islam setelah wafatnya Rasul
telah dimulai oleh para-sahabat-sahabatnya. Salah satu bentuk yang digunakan
sebagai metodologi ijtihad mereka dalam menyelesaikan masalah umat adalah
dengan menggunakan Raf‟u al-Haraj. Dengan menwarkan solusi melalui cara
yang arif dan bijaksana serta memberi pemahaman kepada umat bahwa sesungguhnya
agama yang dibawa Rasul dan diwariskan kepada mereka sebagai sahabat-sahabatnya
merupakan agama yang peduli akan kepentingan umat serta ajaran yang sangat
sesuai dengan fitrah manusia. Dalam artian bahwa kesulitankesulitan dalam
mengamalkan ajaran agama sebenarnya tidak hendak serta merta diacuhkan oleh
agama. Dalam hal ini, mereka membuka lebar-lebar bahwa kesulitan dalam
menjalankan kewajiban agama yang dapat menimbulkan kemadharan bagi diri manusia
harus segera dihilangkan (Raf‟u al-Haraj). Dapat dilacak apa yang
terjadi dalam fenomena masa itu beberapa kejadian- misalnya- Anas Ibn Malik
pernah mengatakan bahwa saat ia bersama
Umar ibn Khatab, sang Kahalifah berkata kepadanya: “kami melarang adanya
pembebanan (takalluf)”. Dalam kalimat yang dilontarkan Umar ini, para
ulama
36 Ijtihad merupakan usaha para ulama untuk menjelaskan kandungan al-qur’an dan
alsunnah agar sesuai dengan perkembangan zaman. Hadits mengatakan bahwa
menjauhkan Takalluf adalah metode pemecahan masalah yang diambil oleh
Umar.
Selain itu, Ibn Mas‟ud
pernah berkata pula: “Barang siapa ditanya satu
ilmu yang dimilikinya maka katakalah, jika tidak mengetahuinya maka katakan
saja bahwa Allah yang Maha Tahu, karena sesungguhnya Allah pun mengatakan
pada Nabi-Nya:
“Katakanlah (hai Muhammad): "Aku tidak meminta
upah sedikitpun padamu atas da'wahku
dan bukanlah aku Termasuk orang-orang yang memberikan
pembebanan”.
Dalam ungkapan ini jelas
sekala bagaimana metode yang digunakan oleh sahabat nabi. Mereka mengtamakan
satu kesejahteraan kepada umatnya sehingga mereka tidak merasa terbebani dengan
ajaran agama. Dalam kaitannya dengan
sikap dan perkataan ibn Mas‟ud diatas dapat dipahami bahwa kemampuan seseorang
dalam menjawab sesuatu tidak lah terlalu sibuk untuk memaksakan diri agar dapat
menjawab perkara yang ditanyakan. Jawab jika mampu dan tidak usah jawab apabila
tidak memiliki pengetahuan itu. Sebab, ketika orang melakukan hal - yang dalam
hal ini menjawab pertanyaan yang secara sadar bahwa dia sebenarnya tidak
memiliki pengetahuan tentang apa yang ditanyakan- yang tidak ia kuasai, ia
mampu justru akan mendatangkan penghalalan yang harusnya haram dan atau
sebaliknya.
Satu riwayat tentang
Abdullah Ibn „Abbas yang sedang berceramah
bersama jama‟ah sehabis „Ashar. Pengaj ian itu selesai saat matahari tenggelam
dan muncullah bintang-bintang dilngit hitam. Keika itu, jama‟ah langsung pada
berteriak “Shalat,,Shalat,”. Lalu datang seorang laki-laki dari Bani Tamim
menegur mereka supaya tidak usah melakukan teriakan dan ajakan-ajakan
tersebut. Hal tersebut membuat Ibn „Abbas bertanya kepada laki-laki tersebut:
apakah kamu belajar al-Sunnah atau tidak?. Ia pun menjawab: saya pernah
melihat Rasul menjama‟ Dhuhur dengan Ashar dan Maghrib dengan Isya. Mendengar
jawaban tersebut Ibn „Abbas pun teriam dan menghelas dadanya dan
membenarkannya.
Dari beberapa tinjauan
terhadapa sikap para sahabat dan tabi‟in dalam menyelesaikan masalah ternyata
banyak menitik beratkan pada pembatalan satu kesulitan dan kepayan umat dalam
melaksanakan sebuah kewajuban dan atau tuntutan ajaran agama. Sehingga dapat
dipahami bahwa konsep metodologi yang digunakan oleh mereka adalah Raf‟u
al-Haraj.
5.
Raf’u al-Haraj sebagai Problem Solving
Tidak dapat dipungkiri bahwa kehidupan manusia dimuka
bumi ini selalu berubah dan berkembang dari satu hal ke hal lain. Jika Prof.
Mulyadi Kartanegara
selalu mengutip ungkapan Heraklitus “ Kita tidak pernah menginjak air sungai
yang sama dua kali”.
Perkembangan yang dinamis ini, dipengaruhi oleh
beberapa faktor.
Pertama, dorongan keagamaan. Berkaitan dengan ini, karena Islam sebagai
sumber norma dan nilai normatif yang mengatur seluruh aspek kehidupan kaum
muslimin, maka kebutuhan untuk membumikan norma dan nilai tersebut ataupun
mengintegrasikan kehidupan kaum muslimin ke dalamnya, selalu muncul ke
permukaan. Demikian juga hukum Islam yang bersifat serba mencakup harus selalu
dapat memberikan pemecahan terhadap problem-problem baru yang dihadapi masyarakat.
Jadi, perubahan sosial memang merupakan sebab langsung terhadap perkembangan
hukum islam. Akan tetapi perkembangan itu tidak bisa dilepaskan dari dorongan
keagamaan yang ada dalam diri individu-individu yang terlibat di dalamnya.
Dorongan keagamaan ini selalu eksis disepanjang zaman sejarah Islam dan
mengambil bentuk dalam konsep “ijtihad”. Muhammad Iqbal menyebutnya sebagai
“Prinsip Gerak dalam Struktur Islam”.
Kedua,
dengan meluasnya domain politik Islam, pada masa Khalifah Umar bin Khattab
terjadi pergeseran-pergeseran sosial yang pada gilirannya menimbulkan sejumlah
problem baru sehubungan dengan hukum Islam. Pada masa Nabi muhammad Saw.,
kondisi masyarakat muslim masih sederhana. Setiap persoalan dapat dipecahkan
oleh al-Qur‟an dan Nabi Muhammad Saw. dan pada masa Abu Bakar tidak banyak
terjadi perubahan. Persoalan hukum yang muncul selalu dapat ditangani dan
diselesaikan dengan baik. namun pada masa Umar bin Khattab, problem hukum yang
muncul kian serius, seiring dengan perubahan.
Dengan
kondisi demikian, Umar tampil dengan sejumlah klebijakan radikal, yang
belakangan menjadi rujukan, bahkan alat legitimasi terhadap pembaharuan hukum
Islam.
Ketiga,
independensi para ahli hukum Islam terhadap kekuasaan politik. Kemandirian itu
membuat mereka mampu mengembangkan pemikiran hukumnya tanpa banyak mendapatkan
intervensi kekuasaan atau politik. Kondisi inilah yang memungkinkan para ahli
hukum Islam mampu menghasilkan produk pemikiran secara bebas dan mandiri.41
Keempat, fleksibilitas hukum Islam yang menjadikannya mampu berkembang untuk
mengatasi ruang dan waktu. Hasbi Ash Shidieqy menyatakan, setidaknya ada lima
prinsip yang memungkinkan Islam berkembang mengikuti zaman, yaitu : (a) prinsip
ijma‟, (b) prinsip qiyas, (c) prinsip maslahah mursalah, (d) prinsip memelihara
„urf, (e) prinsip berubahnya hukum dengan berubanya masa.
Sehingga, Persoalan yang sampai saat ini menjadi tema
besar dan masih ramai diperbincangkan dalam dunia akademik Islam adalah
mengenai metodologi penyelesaian fenomena-fenomana baru ditinjau dari hukum
Islam. Titik tolak pertama yang sering menjadi permasalahan bahwa bagaimana
memposisikan status hukum persoalan-persoalan yang dialami ummat tersebut tidak
secara implisit dan jelas nash hukumnya dalam al-Qur‟an atau pun al-Sunnah.
Dari problem ini para ulama terus berusaha mencari
metode yang cocok dalam pemecahan kasus-kasus semacam itu. Dapat disinggung
bagaimana misalnya kepelikan masalah yang dihadapi umat Islam saat ini, yang
mana sistem kehidupan sudah melaju mengikuti perkembangan diluar tradisi Islam
pada umumnya membuat mereka merasakan satu problem dalam melaksanakan
ajaran-ajaran agama Islam.
Kasus seorang Muslim yang hidup dilingkungan yang
secara mayoritas pendudukannya adalah non Muslim. Sehingga segala aktivitas
kesehariannya mau-tidak mau selalu bersentuhan dengan gaya, aturan, serta
tradisi yang berlaku menurut komunitas non Muslim. Banyak hal yang menjadi
kendala yang dialami Muslim di sana ketika hendak menlakukan kewajiban
agamanya. Ada yang tersendat oleh pelarangan membangun tempat Ibadah, atau
seorang pekerja misalnya tidak diberikan kelonggaran waktu untuk melaksanakan
shalat, bahkan lebih tragis mereka ada yang dilarang secara terang-terangan
dalam beribadah. Kasus lain yang menjadi problem umat juga adalah kaum muslimin
yang secara sosial selalu berinteraksi harmonis bersama lingkungan dan
masyarakatnya, tanpa terkecuali non Muslim.
Aktivitas non Muslim adakalanya membuat titiktitik
munculnya seorang Muslim hendak melaksanakan ibadah. Salah satu gambaran kongkrit
mereka yang selalu bersandingan, bertetangga dengan non muslim yang mata
pencahariannya adalah pengelola Babi, mencakup sebagai peternak, penjual, dan
lain halnya. Sehingga sehari-hari si Muslim akan terus bergaul dengan aroma dan
lingkungan yang serba Babi. Hal ini, membuat satu problem yang sering terjadi
di masyarakat Islam.
Dan ajaran Islam sebagaimana sudah maklum, sangat
mewanti-wanti akan status hukum hewan Najis tersebut. Sehingga, kondisi si
Muslim yang demikian selalu dihantui rasa kehwatiran dan bahwkan keraguan dalam
melaksankan ibadah yang sebenarnya. Kondisi-kondisi di atas, jika kita melihat
konsep yang dibangun dalam dua sumber agama tentnya dapat diselesaikan.
Bagaimana telah di singgung beberapa penjelasan sebelumnya, dari beberapa nash
yang ditawarkan oleh Allah dan Rasul-Nya memberi satu pemahaman bahwa syari‟at
Islam pada dasarnya tidak pernah membiarkan umatnya terkena kesulitan sebab
satu aturan dan ajaran agama yang ditawarkan.
Raf‟u al-Haraj dalam hal ini merupakan satu
problem sloving kekinian. Salah satu metode yang digunakan dalam konsep ini
melalui metodologi pemecahan fiqh secara induktif dengan mengacu pada
nilai-nilai fundamental dalam Islam. Metode ini disebut dengan Qawaid
al-Fiqhiyah. Rumusan-rumusan yang kaidah di dalamnya bersifat
universal-abstrak meniscayakan penggunaan metode induktif, berangkat dari
partikular-partikular hasil pemikiran fikih menuju kesimpulan general-universal
yang berbasis pada kesamaan atau padanan.
Qawaid al-Fiqhiyah menjadi satu tolok ukur yang digunakan oleh
kebanyakan para ulama Indonesia- khususnya Kiyai NU- dalam menyelasaikan
berbagai persoalan kekinian pada masyrakat.
Ada beberapa konsep yang dibangun dalam Qawaid
al-Fiqhiyah, diantaranya: Qawaid Fiqhiyah Mutafaqah dan Qawaid Fiqhiyah
Mukhtalafah. Berkaitan dengan konsep yang pertama para ulama menetapkan
lima kaidah utama yang menjadi formulasi fundamental dalam problem-problem
fiqh. Kaidah tersebut sering disebut Qawaid Kuliyah Khamsah.
Salah satu kaidah utama dari Qawaid Kuliyah Khamsah adalah
AlMasyaqah Tajlibu at-Taiysir, artinya kesukaran dapat mendatangkan
kemudahan. Kaidah ini menunjukan satu konseptual tentang metodologi Raf‟u al-Haraj
dalam menyelesaikan problem-probelm yang terjdai pada umat ini. Lebih jauh,
bahwa pada perkembangannya metode yang mengunakan kaidah tersebut memunculkan
beberapa kaidah bawahan yang dapat dijadiak sandaran ketika menyelesaikan
problem tersebut.
Diantaranya ialah:
1. `Apabila sesuatu itu sempit, hukumnya menjadi luas‟
2. `Apabila sesuatu itu longgar atau luas, hukum
menjadi sempit‟
3. `Kemudaratan-kemudaratan itu membolehkan
tegahan-tegahan‟
4. `Keadaan darurat ditentukan menurut kadarnya‟
5. `Apa yang diharuskan kerana uzur, batal dengan
sebab hilang uzur tersebut‟
6. `Keadaan terdesak tidak membatalkan hak orang lain‟
7. `Hukum itu mengikut kemaslahatan yang kukuh‟
8. `Hukum itu berkisar bersama illahnya atau sebabnya‟
C.
Penutup
Dari penjelasan diatas
dapat ditarik sebuah benang merah sebagai kesimpulan bahwa Qawaid
al-Fiqhiyah dapat menjadi satu tolok ukur yang digunakan dalam
menyelasaikan berbagai persoalan kekinian pada Umat. Sebagai mana terliaht
salah satu kaidah utama dari Qawaid Kuliyah Khamsah adalah AlMasyaqah
Tajlibu at-Taiysir, artinya kesukaran dapat mendatangkan kemudahan.
Dalam kaidah ini menunjukan satu konseptual tentang metodologi pemecahan satu
problematika umat dalam mengahdapi ajaran agama. Meode yang diacu dalam konsep Qawaid
al-Fiqhiyah tersebut adalah Raf‟u al-Haraj.
Dalam pengertian lain,
bahwa ternyata Raf‟u al-Haraj dalam tinjauan sosio-historis maupun
tinjauan teologis normatif telah menjadi satu metodologi dalam
menyelesaikan hukum yang sifatnya kekinian. Dengan demikian, agama yang telah
dikirimkan Allah Swt melalui utusan-Nya Muhammad Saw, selalu dinamis mengikuti
perkembangan umat. Demikian yang dapat disampaikan, sudi kiranya para pembaca
dapat menghadirkan saran dan kritikan psotif bagi karya sederhana ini demi
peengembanagn intelektual penulis di masa mendatang.
DAFTAR PUSTAKA
Amir Mu'allim dan Yusdani, Konfigurasi Pemikiran Hukum
Islam, (Yordania: UII Press, 2005)
Al-Qurthubi, Tafsir al-Jami‟ al-Ahkam, juz 2
Abu al-Faydl Muhammad Yain bin „Isa al-Fadani, al-Fawa‟id
al-Janiyah, Dar al-Fikr, Bairut, Libanon. 1997
Abu Ishaq Ibrahim as-Syathibi, al-Muwafaqat fi Ushul
al-Fiqh, Mesir. 1372 H.
Fahruddin ar-Razi, Mafatih al-Ghaib/ Tafsir ar-Razi,
Dar al-Kitab alIlmiyah, Theheran. Tt.
Shalih ibn Abdillah ibn Hamid, Raf‟u al-Haraj fi
Syari‟ah Islamiyah, Sebuah Desertasi.
Jalaluddin as-Suyuti, Asybah wa al-Nadzair, Dar
al-Kitab: 1998. Wahbah az-Zuhaili, al-Qawaid al-Fiqhiyah wa Tathbiqatiha fi
alMadzhab al-Arba‟ah, Dar al-Fikr, Damaskus: 1982
Saadan Man.1994. Doktrin Masyaqqah dan Hukum
Keringanan Menurut Prinsip Islam. Jilid II
Nurcholish Madjid, dkk. Fiqih Lintas Agama: Membangun
Masyarakat Inklusif Fluralis (Jakarta: Paramadina, 2004)
Ibrahim Hosen , Pembaharu Hukum Islam Di Indonesia,
sebuah tulisan dalam blog http://blog.sunanampel.ac.id/muhsholihuddin/2011/03/09.
Mulyadi Kartanegara dalam makalahnya yang berjudul
“kerangka membangun keilmuan IAIN perspektif Filosofis.
Baqir, Haidar. “Pengantar”. dalam Jalaluddin Rahmad.
(ed). Ijtihad dalam Sorotan. Bandung: Mizan, 1988.
Mun’im Sirry, Sejarah Fiqh Islam : Sebuah Pengantar.
Surabaya: Risalah Gusti, 1995
Muhammad Ibn Bahadur Al-Zarkashi, Al-Manthur fil
Qawaid : Fiqh Syafii, Beirut : Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 2000,
cetakan 1
Ibn Atsir, An-Nihayah li Ibn Atsur, Juz 2
Jamaluddin Ibn Mandzur, Lisan al-Arab, dar
Bairut, Libanon: 1388. juz 2
[1] an-Nihayah fi Gharib alHadits, Juz: 1, hlm. 362
[2] Jalaluddin as-Suyuti, Asybah wa al-Nadzair, Dar
al-Kitab: 1998, hlm. 42
[3] Jalaluddin as-Suyuti, Asybah wa al-Nadzair, Dar
al-Kitab: 1998, hlm. 47
[4] Nurcholish Madjid, dkk. Fiqih Lintas Agama: Membangun
Masyarakat Inklusif Fluralis (Jakarta: Paramadina, 2004), hal. 11
[5] Amir Mu'allim dan Yusdani, Konfigurasi Pemikiran Hukum
Islam, (Yordania: UII Press, 2005), hal. 55-56.
[6] Al-Qurthubi, Tafsir al-Jami‟ al-Ahkam, juz 2 hlm.
301
[7] Abu al-Faydl
Muhammad Yain bin „Isa al-Fadani, al-Fawa‟id al-Janiyah, Dar al-Fikr, Bairut,
Libanon. 1997, Hlm. 226. 19
[8] Formulasi Nalar Fiqh,
hlm. 174